![]() |
Bendera Jepang Terlihat di Atas Bank of Japan di Tokyo, Jepang. (REUTERS/Toru Hanai) |
Jepang, meskipun dikenal sebagai negara dengan ekonomi maju, menyimpan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sangat tinggi. Bahkan, ada negara lain yang melampaui Jepang dalam hal ini, yakni Sudan.
Memasuki tahun 2025, utang publik tetap menjadi isu utama bagi banyak negara. Pemerintah di berbagai belahan dunia menghadapi tekanan fiskal akibat dampak pandemi, ketidakpastian geopolitik, serta perlambatan ekonomi global.
Secara umum, negara-negara maju memiliki beban utang lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang, dengan rasio utang terhadap PDB rata-rata sekitar 110%. Sementara itu, negara berkembang dan ekonomi baru mencatatkan rata-rata sekitar 74%.
Sudan saat ini menempati posisi tertinggi dengan rasio utang publik sebesar 252% dari PDB. Angka ini melonjak akibat konflik berkepanjangan dan tekanan ekonomi serius, terutama sejak pecahnya perang saudara pada 2023. Kondisi tersebut membuat Sudan menyalip Jepang sebagai negara dengan rasio utang tertinggi.
Jepang sendiri tetap menjadi negara dengan beban utang terbesar di antara negara maju, yakni mencapai 235% dari PDB. Hal ini dipicu oleh defisit anggaran yang berlangsung lama serta populasi lansia yang terus meningkat. Selain Jepang, negara seperti Singapura (175%), Bahrain (141%), dan Italia (137%) juga termasuk dalam jajaran negara dengan utang besar.
Amerika Serikat mencatat rasio utang terhadap PDB sebesar 123%. Ini merupakan cerminan dari pengeluaran defisit jangka panjang serta paket stimulus besar-besaran yang dikeluarkan untuk mengatasi krisis ekonomi, seperti selama pandemi COVID-19.
Pilihan Editor:
Di sisi lain, Jerman menunjukkan rasio utang terendah di antara negara G7, yakni 65% dari PDB. Bahkan, proyeksi menyebutkan angka ini akan turun menjadi 58% pada 2029.
Konsekuensi dari Utang Publik yang Tinggi
Tingginya rasio utang negara biasanya berasal dari berbagai faktor, antara lain kebijakan moneter longgar, pelonggaran kuantitatif, lambatnya pertumbuhan ekonomi, serta meningkatnya kebutuhan belanja negara.
Rasio utang terhadap PDB biasanya meningkat pasca krisis atau guncangan ekonomi seperti krisis keuangan global 2008 dan pandemi. Pada masa-masa tersebut, banyak pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal guna menstabilkan ekonomi.
Walaupun utang bisa menjadi alat penting untuk memulihkan ekonomi yang lesu, akumulasi utang yang berlebihan dapat menimbulkan risiko jangka panjang. Beberapa risiko yang mengintai meliputi perlambatan pertumbuhan, depresiasi nilai tukar, hingga potensi gagal bayar yang mungkin membutuhkan intervensi lembaga internasional seperti IMF.
Namun, negara seperti Jepang dan Amerika Serikat memiliki kelebihan karena mampu menerbitkan utang dalam mata uang domestik. Ini memberi mereka keleluasaan untuk mengelola utangnya, termasuk lewat pencetakan uang. Meski demikian, tetap saja mereka menghadapi tekanan dari kenaikan biaya bunga seiring meningkatnya utang nasional.
0Komentar