Utang luar negeri Indonesia naik menjadi US$ 430,35 miliar per Maret 2025. (REUTERS / Fatima El-Kareem)

Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan data terbaru mengenai posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia untuk periode Maret 2025. Berdasarkan laporan tersebut, total ULN Indonesia tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,63% dibandingkan bulan sebelumnya. Jika pada Februari 2025 posisi ULN tercatat sebesar US$ 427,63 miliar, maka pada Maret 2025 jumlahnya naik menjadi US$ 430,35 miliar. 

Kenaikan ini mengindikasikan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap pembiayaan eksternal masih cukup tinggi, dan perlu dicermati secara saksama terutama dari sisi keberlanjutan dan risiko jangka panjang.

Jika dikonversi ke dalam rupiah dengan asumsi kurs Rp 16.500 per dolar AS, maka total ULN tersebut setara dengan Rp 7.100,77 triliun. Angka ini tidak hanya mencerminkan peningkatan nilai nominal, tetapi juga memperlihatkan eksposur yang signifikan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. 

Dalam rincian komposisinya, sebagian besar dari total utang luar negeri ini berasal dari negara-negara pemberi pinjaman bilateral dengan jumlah mencapai US$ 205,60 miliar. Nilai ini juga mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar US$ 203,98 miliar.

Selain dari negara-negara mitra, utang luar negeri Indonesia juga diperoleh dari organisasi-organisasi internasional sebesar US$ 45,55 miliar, meningkat tipis dari posisi Februari 2025 yang sebesar US$ 45,52 miliar. 

Sementara itu, sisanya—yang berasal dari pihak lain seperti lembaga keuangan non-pemerintah atau sektor swasta luar negeri—mencapai US$ 179,09 miliar, turut naik dibandingkan dengan US$ 178,11 miliar pada bulan sebelumnya. Lonjakan-lonjakan kecil ini secara akumulatif mencerminkan tren peningkatan pembiayaan eksternal yang konsisten sepanjang awal tahun.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa secara tahunan, pertumbuhan utang luar negeri Indonesia pada kuartal pertama 2025 tercatat sebesar 6,4%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya (kuartal IV 2024) yang sebesar 4,3%. 

Ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan pembiayaan dari luar negeri yang mungkin disebabkan oleh kebutuhan pembangunan nasional atau pembiayaan defisit fiskal. Namun, tren ini juga menimbulkan kekhawatiran jika tidak dibarengi dengan strategi pengelolaan utang yang hati-hati dan berbasis pada prinsip kehati-hatian fiskal.

Dari sisi asal negara kreditur, Singapura masih menjadi pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia, dengan total pinjaman mencapai US$ 56,22 miliar pada Maret 2025. Angka ini naik dari posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 55,45 miliar. Dominasi Singapura sebagai kreditur utama menunjukkan peran penting negara tersebut dalam jaringan pembiayaan regional. 

Di posisi kedua, Amerika Serikat tercatat memberikan pinjaman sebesar US$ 27,82 miliar, naik tipis dari US$ 27,81 miliar pada Februari 2025. Meski kenaikannya sangat kecil, hal ini tetap mencerminkan konsistensi Amerika Serikat sebagai salah satu mitra keuangan utama Indonesia.

Posisi ketiga ditempati oleh Tiongkok (China), yang menyumbang ULN sebesar US$ 23,03 miliar. Berbeda dengan Singapura dan AS, utang dari Tiongkok justru mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 23,33 miliar. Penurunan ini bisa jadi mencerminkan perlambatan proyek kerja sama bilateral atau kebijakan pengetatan pembiayaan luar negeri dari pihak Tiongkok sendiri. 

Sementara itu, Jepang menduduki posisi keempat dengan nilai utang sebesar US$ 20,79 miliar, yang juga mengalami penurunan dari sebelumnya US$ 21,06 miliar. Penurunan ini menunjukkan kemungkinan adanya perubahan strategi investasi Jepang di Indonesia atau pelunasan utang yang jatuh tempo.

Hongkong berada di posisi kelima, dengan nilai ULN sebesar US$ 19,07 miliar pada Februari 2025. Sama seperti Jepang dan Tiongkok, angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan posisi sebelumnya sebesar US$ 19,26 miliar. 

Meski tergolong kecil, penurunan ini menunjukkan adanya dinamika yang menarik dari segi geografis terkait sumber utang luar negeri Indonesia—di mana beberapa negara Asia Timur tampak mulai mengurangi eksposurnya terhadap pembiayaan ke Indonesia.

Secara keseluruhan, peningkatan ULN Indonesia di awal 2025 perlu menjadi perhatian semua pemangku kebijakan. Meskipun pinjaman luar negeri dapat memberikan sokongan terhadap pembangunan dan stabilitas fiskal jangka pendek, ketergantungan yang berlebihan juga dapat menimbulkan risiko struktural, terutama jika utang tersebut tidak dikelola secara produktif dan berkelanjutan. 

Transparansi dalam penggunaan utang, efisiensi dalam pengelolaan proyek yang dibiayai, serta upaya peningkatan penerimaan domestik akan menjadi kunci agar Indonesia tidak terjebak dalam lingkaran utang yang membebani generasi mendatang.