konflik di Timur Tengah kembali memanas setelah Iran meluncurkan serangan balasan berupa rudal balistik dan drone ke wilayah Israel. Serangan ini terjadi hanya sehari setelah Israel menggempur fasilitas nuklir dan menewaskan beberapa tokoh militer penting Iran. Peristiwa ini menandai peningkatan tajam ketegangan antara kedua negara yang sudah lama berseteru, dan menarik perhatian negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Semua bermula pada 12 Juni, saat Israel memulai serangan militer besar yang mereka namai "Operasi Singa yang Bangkit." Targetnya mencakup fasilitas nuklir utama Iran di Natanz dan Fordow, serta peluncur rudal di sekitar Teheran.
Serangan ini juga menewaskan beberapa tokoh penting, termasuk Jenderal Hossein Salami dari Garda Revolusi dan Jenderal Mohammad Bagheri, serta beberapa ilmuwan nuklir.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan operasi ini akan berlangsung beberapa hari dan mengklaim punya bukti bahwa Iran sedang merencanakan serangan kejutan.
Serangan ini dilakukan dengan koordinasi bersama Amerika Serikat, yang menyatakan dukungan penuh melalui Presiden Donald Trump.
Sebagai balasan, pada malam harinya Iran meluncurkan lebih dari 100 drone Shahed ke arah Israel. Namun, sebagian besar berhasil ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Israel, dengan bantuan militer Yordania, Arab Saudi, dan juga operasi militer di atas wilayah Suriah.
Setelah itu, Iran melanjutkan serangan dengan rudal balistik yang menargetkan kota-kota besar seperti Tel Aviv dan Yerusalem. Ledakan terdengar dan asap mengepul di langit kota-kota tersebut.
Namun, sistem pertahanan udara Israel—yang diperkuat oleh pasukan Amerika—berhasil mencegat sebagian besar rudal tersebut. AS juga mengerahkan pesawat tempur dan kapal perang untuk membantu pertahanan.
Meski media pemerintah Iran mengklaim telah meluncurkan ratusan rudal, para analis menyebut jumlah sebenarnya jauh lebih sedikit. Hal ini kemungkinan akibat kerusakan besar pada peluncur rudal Iran akibat serangan Israel sehari sebelumnya.
Dampak langsung dari serangan Iran terbilang kecil. Beberapa orang di Tel Aviv mengalami luka ringan, namun tidak ada korban jiwa besar yang dilaporkan. Beberapa rudal juga jatuh di Suriah, meski belum jelas apakah itu rudal yang gagal atau hanya sisa-sisa dari rudal yang dicegat.
Sebaliknya, serangan Israel sehari sebelumnya memberikan pukulan telak bagi Iran, terutama dengan gugurnya tokoh militer dan ilmuwan yang berperan penting dalam program nuklir negara tersebut.
AS merespons cepat dengan memperkuat pertahanan Israel dan memperingatkan Iran agar segera kembali ke meja perundingan nuklir. Trump bahkan menyebut program nuklir Iran mungkin "sudah tak tersisa" pasca serangan.
Sementara itu, Irak mengecam tindakan Israel dan mengajukan keluhan ke Dewan Keamanan PBB. Pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamenei, juga mengirim surat resmi ke PBB, menyatakan bahwa Iran hanya membela diri.
Dewan Keamanan dijadwalkan menggelar pertemuan darurat membahas krisis ini. Di AS, langkah keamanan ditingkatkan, terutama di kota besar seperti New York.
Serangan Iran kali ini bisa dibandingkan dengan dua kejadian serupa tahun lalu. Pada April 2024, Iran juga menembakkan ratusan drone dan rudal ke Israel, namun nyaris semuanya berhasil diintersep.
Oktober 2024, Iran sempat berhasil mengenai beberapa target militer di Israel. Tapi serangan kali ini menunjukkan kemampuan Iran yang menurun akibat serangan Israel sebelumnya.
Situasi ini juga membuka peluang konflik yang lebih besar, terutama jika kelompok sekutu Iran seperti Hizbullah atau milisi di Irak dan Suriah ikut campur.
Di sisi lain, dukungan penuh AS terhadap Israel bisa menghambat jalan diplomasi. Iran pun mungkin mencari dukungan dari Rusia atau Tiongkok jika merasa semakin terisolasi.
Meskipun sebagian besar serangan Iran berhasil digagalkan, eskalasi ini menunjukkan betapa cepat konflik bisa meluas. Situasi masih tegang dan belum ada tanda-tanda mereda.
Dunia internasional kini dituntut untuk mencari jalan diplomatik agar krisis ini tidak berubah menjadi perang skala penuh.
0Komentar