Indonesian Audit Watch (IAW) menyebut praktik penghangusan kuota internet sebagai kejahatan ekonomi sistemik. Kerugian publik disebut mencapai Rp613 triliun sejak 2010.

Internet menjadi kebutuhan pokok bagi jutaan masyarakat Indonesia di era digital. Namun, di balik kemudahan akses data, muncul persoalan yang memicu perdebatan sengit: penghangusan kuota internet oleh operator seluler. Indonesian Audit Watch (IAW) menyebut praktik ini sebagai bentuk kejahatan ekonomi sistemik yang merugikan rakyat. 

Sementara itu, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) membela kebijakan ini sebagai bagian dari standar industri. Apa sebenarnya yang terjadi, dan bagaimana dampaknya bagi konsumen?

Menurut Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, kuota internet yang dibeli konsumen bukan sekadar data, melainkan aset digital yang menjadi hak milik sah. 

“Coba tanya siapa pun, saat beli paket internet, apa yang mereka beli? Kuota atau waktu? Jelas masyarakat membeli kapasitas data, bukan sewa jam atau hari,” ujarnya. 

Ia membandingkan kuota internet dengan membeli air galon: “Kita bayar untuk liternya, bukan untuk berapa lama kita minum.”

Namun, realitas di Indonesia berbeda. Kuota yang telah dibayar penuh bisa lenyap begitu masa aktif berakhir, meskipun belum digunakan. 

Iskandar menilai ini sebagai penghilangan nilai ekonomi secara sistemik, yang tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga melanggar prinsip keadilan dalam transaksi.


Dasar hukum dan perlindungan konsumen

IAW mengacu pada sejumlah regulasi untuk memperkuat argumennya. Dalam Pasal 1457 KUHPerdata, transaksi kuota internet dianggap sebagai jual-beli barang digital, sehingga konsumen berhak atas kepemilikan penuh. 

Selain itu, Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin hak konsumen untuk mendapatkan manfaat dari barang atau jasa yang dibeli. Penghangusan kuota, menurut IAW, jelas melanggar hak ini.

Lebih lanjut, Pasal 1338 KUHPerdata menekankan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. “Apa adil kalau operator menerima uang penuh, tapi kuota dihapus hanya karena lewat tanggal?” tanya Iskandar. 

Ia juga menyoroti Pasal 20 UU Perlindungan Konsumen, yang melarang klausul baku yang merugikan, seperti aturan “kuota hangus”. 

Bahkan, IAW menyebut praktik ini berpotensi melanggar Pasal 3 UU Tipikor jika operator tidak mencatat kuota hangus sebagai liabilitas, yang dapat mengarah pada pengakuan pendapatan palsu.


Skala kerugian yang mengkhawatirkan

Berdasarkan catatan IAW, dari 2010 hingga 2024, sekitar Rp613 triliun uang publik lenyap akibat kuota yang hangus tanpa kompensasi atau pencatatan dalam pembukuan operator. 

Namun, laporan lain menyebut angka kerugian Rp63 triliun, meskipun tidak jelas apakah ini total atau tahunan. Perbedaan angka ini menunjukkan perlunya verifikasi mendalam untuk memastikan skala kerugian sebenarnya.

Kerugian ini bukan hanya soal nominal, tetapi juga kepercayaan konsumen. Bagi masyarakat, kuota yang hangus terasa seperti kehilangan hak atas sesuatu yang telah mereka bayar. 

“Negara seolah membiarkan operator mengambil uang rakyat dan memusnahkannya,” tegas Iskandar.


Pembelaan dari operator seluler

Di sisi lain, ATSI membela praktik ini dengan merujuk Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2021 Pasal 74, yang mengatur masa aktif untuk deposit prabayar. 

Menurut mereka, kuota internet adalah barang konsumsi yang sifatnya habis, seperti tiket transportasi atau voucher diskon. Kebijakan ini, kata ATSI, transparan dan telah disampaikan kepada konsumen sejak awal. 

Mereka juga menegaskan bahwa kuota bergantung pada lisensi spektrum frekuensi, yang memiliki batas waktu penggunaan.

ATSI membandingkan praktik ini dengan standar global, menyebut operator seperti Kogan Mobile di Australia dan CelcomDigi di Malaysia juga menerapkan masa aktif. 

Namun, IAW membantah dengan menyatakan bahwa negara-negara tersebut memiliki opsi rollover atau konversi sisa kuota, yang jauh lebih ramah konsumen. 

Sebagai contoh, token listrik atau e-toll di Indonesia, yang juga berbasis frekuensi, tetap berlaku hingga digunakan, bukan berdasarkan waktu.


Regulasi dan solusi ke depan

Kontroversi ini menunjukkan adanya celah dalam regulasi yang perlu ditutup. IAW menyoroti bahwa Peraturan Menteri Kominfo No. 5/2021 tidak secara eksplisit membolehkan penghangusan kuota, tetapi juga tidak melarangnya. Hal ini menciptakan ambiguitas yang dimanfaatkan operator untuk mempertahankan praktik ini.

Untuk mengatasi masalah ini, IAW mengusulkan sejumlah langkah:

1. Class Action: Mengajukan gugatan kolektif berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata untuk menuntut operator atas kerugian konsumen.

2. Judicial Review: Menguji Peraturan Menteri Kominfo No. 5/2021 agar penghangusan kuota dilarang secara tegas.

3. Revisi UU: Memperbarui UU Telekomunikasi dan UU Perlindungan Konsumen untuk menetapkan kuota sebagai hak milik konsumen, dengan sistem rollover seperti di negara lain.

4. Audit Investigatif: Meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa laporan keuangan operator sejak 2010, serta pembentukan Satgas Tipikor Digital oleh KPK dan Kejagung untuk menelusuri aliran dana dari kuota hangus.

5. Perppu Perlindungan Konsumen Digital: Mendesak Presiden menerbitkan peraturan darurat untuk melindungi hak konsumen di ranah digital.

Anggota DPR RI, seperti Okta Kumala Dewi, juga mendukung audit menyeluruh oleh Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi serta Kementerian BUMN, menandakan bahwa isu ini telah menjadi perhatian nasional.


Jalan tengah untuk konsumen dan operator

Isu penghangusan kuota internet mencerminkan ketegangan antara hak konsumen dan kepentingan bisnis. Di satu sisi, konsumen berhak atas manfaat penuh dari apa yang telah mereka bayar. 

Di sisi lain, operator menghadapi tantangan teknis dan finansial dalam mengelola spektrum frekuensi yang terbatas. Solusi seperti sistem rollover atau pengembalian dana untuk kuota yang tidak terpakai bisa menjadi jalan tengah, seperti yang diterapkan di beberapa negara.

Namun, tanpa intervensi regulasi yang jelas dan tegas, praktik ini berpotensi terus merugikan konsumen. 

Dialog antara pemerintah, operator, dan organisasi konsumen seperti IAW menjadi krusial untuk menciptakan ekosistem telekomunikasi yang adil dan transparan.

Penghangusan kuota internet bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga soal keadilan ekonomi dan perlindungan konsumen. Dengan potensi kerugian mencapai ratusan triliun rupiah, isu ini menuntut tindakan segera dari semua pihak. 

Revisi regulasi, audit menyeluruh, dan kebijakan yang lebih ramah konsumen adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak masyarakat atas aset digital mereka terlindungi. 

Seperti yang dikatakan Iskandar, “Jika kuota terus dihapus tanpa konsekuensi, negara seolah membiarkan uang rakyat lenyap begitu saja.” Kini, saatnya Indonesia menentukan arah: apakah kuota adalah hak milik rakyat atau sekadar sewa waktu yang bisa hangus?