Presiden Rusia Vladimir Putin menetapkan syarat utama untuk perdamaian dengan Ukraina, yakni menghentikan ambisi bergabung dengan NATO dan menarik pasukan dari wilayah sengketa. (Foto: AFP/Sputnik/Alexei Druzhinin)

Perang antara Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung sejak 2022 terus menarik perhatian dunia. Baru-baru ini, Rusia kembali menyuarakan syarat-syarat yang menurut mereka harus dipenuhi agar konflik ini bisa berakhir. Fokus utama mereka? NATO. 

Dalam pernyataan terbaru, para pejabat tinggi Rusia menyebut bahwa perdamaian tidak akan tercapai tanpa langkah nyata dari NATO untuk mengurangi kehadiran militernya di Eropa Timur. 

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, menyampaikan bahwa akar konflik ada pada ekspansi NATO ke arah timur. 

Ia menegaskan bahwa selama NATO terus memperkuat militernya di negara-negara seperti Polandia, Rumania, dan kawasan Baltik, perdamaian sulit diwujudkan.

"Tanpa upaya nyata untuk mengatasi penyebab ketegangan keamanan, termasuk perluasan NATO, penyelesaian konflik di kawasan Euro-Atlantik tidak mungkin tercapai," kata Ryabkov dalam sebuah wawancara dengan media Rusia.

Pernyataan ini sempat memicu kehebohan karena ada laporan awal yang menyebut Rusia menuntut pasukan NATO mundur dari negara-negara Baltik—Estonia, Latvia, dan Lithuania. 

Namun, laporan itu segera dikoreksi. Klarifikasi menyebut bahwa Ryabkov bicara soal pengurangan kehadiran militer NATO di Eropa Timur secara keseluruhan, bukan hanya wilayah Baltik. 

Hal ini penting, mengingat negara-negara Baltik sangat waspada terhadap potensi ancaman dari Rusia, terutama setelah Swedia dan Finlandia resmi bergabung dengan NATO pasca-invasi Ukraina.

Presiden Vladimir Putin juga menyampaikan syarat tambahan. Dalam pernyataan pada 14 Juni 2025, ia menuntut Ukraina menghentikan keinginannya untuk bergabung dengan NATO serta menarik pasukan dari empat wilayah yang masih menjadi sengketa dan kini sebagian besar dikuasai Rusia. Menurut Putin, tanpa dua hal ini, gencatan senjata tidak akan terjadi.


Mengapa Rusia soroti NATO?

Sikap Rusia terhadap NATO tidak lepas dari dinamika geopolitik yang sudah berlangsung lama. Setelah invasi Rusia ke Ukraina, NATO memperkuat kehadirannya di Eropa Timur dengan menempatkan delapan kelompok tempur multinasional di Bulgaria, Estonia, Hongaria, 

Latvia, Lithuania, Polandia, Rumania, dan Slovakia. Keberadaan pasukan ini disebut sebagai bentuk solidaritas sekaligus penegasan bahwa aliansi siap menghadapi ancaman.

Langkah besar lainnya adalah masuknya Swedia dan Finlandia ke NATO. Kedua negara ini sebelumnya netral, namun memutuskan bergabung usai invasi Rusia ke Ukraina. 

Mereka berbatasan langsung dengan Rusia di wilayah Laut Baltik dan Arktik, sehingga keanggotaan mereka dinilai Rusia sebagai provokasi tambahan.


Tanggapan NATO

Sekretaris Jenderal NATO yang baru, Mark Rutte, memberikan respons tegas. Ia menyebut bahwa Rusia bisa saja menyerang negara-negara NATO dalam lima tahun ke depan. 

Karena itu, ia mendesak seluruh anggota NATO untuk menaikkan anggaran pertahanan hingga 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), di mana 3,5% dialokasikan khusus untuk pengeluaran militer.

“Bahaya tidak akan hilang meskipun perang di Ukraina berakhir,” ujar Rutte. 

Ia menyerukan apa yang disebutnya sebagai "lompatan kuantum" dalam penguatan pertahanan kolektif, termasuk memperbarui sistem persenjataan demi menghadapi Rusia yang menurutnya semakin agresif dan termiliterisasi.

Peningkatan ini mencerminkan sikap NATO yang melihat ketegangan dengan Rusia tidak akan cepat reda. Kehadiran militer NATO di Eropa Timur tetap dianggap penting untuk mencegah agresi lebih lanjut dari Moskow.


Tantangan menuju perdamaian

Syarat-syarat yang diajukan Rusia menghadirkan dilema besar. Di satu sisi, Rusia menganggap ekspansi NATO sebagai ancaman langsung bagi keamanan nasionalnya. 

Di sisi lain, NATO dan negara-negara Barat melihat keberadaan mereka di Eropa Timur sebagai bentuk pertahanan terhadap agresi Rusia yang sudah terbukti melalui invasi ke Ukraina.

Klarifikasi pernyataan Ryabkov terkait wilayah Baltik menunjukkan betapa sensitifnya isu ini. Meski Rusia menyatakan tidak berniat menyerang negara-negara Baltik, kekhawatiran tetap tinggi di kawasan tersebut. 

Sementara itu, bagi Ukraina, permintaan Rusia agar mereka menarik pasukan dari wilayah-wilayah yang masih diakui sebagai bagian dari negaranya sendiri jelas sulit diterima.

Konflik Rusia-Ukraina masih berada di persimpangan jalan, dengan masing-masing pihak bertahan pada posisi mereka. 

Rusia menuntut NATO mengurangi kehadiran militernya dan Ukraina membatalkan niatnya bergabung dengan aliansi tersebut. 

Sebaliknya, NATO justru makin memperkuat diri dan memandang Rusia sebagai ancaman jangka panjang.

Dengan eskalasi yang terus berlanjut, perdamaian tampaknya masih jauh dari jangkauan. Dibutuhkan upaya diplomatik yang cermat, dialog yang terbuka, dan kesediaan semua pihak untuk mencari titik temu agar perang ini bisa diakhiri tanpa memperburuk ketegangan global yang sudah tinggi.