Raja Ampat, Papua Barat Daya, dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari terindah di dunia, dengan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa. Namun, keberadaan tambang nikel di wilayah ini telah memicu perhatian serius, baik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun masyarakat luas.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, mengungkapkan keterkejutannya atas maraknya aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, yang pertama kali ia soroti dalam laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dua tahun lalu.
Isu ini tidak hanya menyangkut potensi pelanggaran hukum, tetapi juga dampak lingkungan yang mengancam ekosistem unik Raja Ampat serta tantangan pengawasan di sektor pertambangan.
Dalam diskusi yang digelar Greenpeace Indonesia di Jakarta pada 12 Juni 2025, Dian Patria memaparkan bahwa sektor pertambangan, khususnya nikel, menghadapi sejumlah masalah struktural. Ia menyebutkan 10 isu utama, di antaranya:
1. Resentralisasi Kewenangan: Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk nikel mayoritas dikeluarkan dari Jakarta, menyulitkan koordinasi dan pengawasan di daerah.
2. Ketidakpatuhan Perizinan: Dari sekitar 11.000 IUP nasional, sebanyak 1.850 di antaranya tidak memiliki Mine Planning and Production (MPP), dokumen penting yang menunjukkan rencana produksi dan kepatuhan operasional.
3. Tumpang Tindih Regulasi: Undang-Undang Cipta Kerja memberikan kemudahan investasi, tetapi menciptakan kesulitan dalam pengawasan karena bertentangan dengan regulasi lain. Dian menegaskan, “Kemudahan investasi ada, tetapi pengawasan justru terhambat.”
4. Kepatuhan Pajak: Kewenangan perpajakan kini terpusat di pemerintah pusat, menghilangkan peran Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lokal, yang mempersulit pengawasan pajak perusahaan tambang.
5. Praktik Reaktivasi IUP via PTUN: KPK mencatat adanya tren baru di mana perusahaan tambang mengaktifkan kembali IUP melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang berpotensi menjadi modus korupsi. Dian menyatakan kekhawatirannya, “Ada laporan perusahaan tiba-tiba menang di PTUN tanpa proses yang jelas.”
KPK juga menyoroti fenomena “reinkarnasi IUP,” di mana izin baru diterbitkan untuk entitas yang sama dengan skema berbeda. Salah satu contohnya adalah aktivitas tambang di Pulau Manuran, Raja Ampat, yang sebelumnya tidak tercatat tetapi kini beroperasi.
PT Gag Nikel dan Kontroversi Pengecualian
Di antara perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat, PT Gag Nikel menjadi sorotan khusus. Perusahaan ini memiliki IUP seluas 13.136 hektare, dua kali lipat luas Pulau Gag (6.000 hektare), dan mencakup wilayah laut.
Meskipun pemerintah telah mencabut IUP empat perusahaan lain—PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham—pada 10 Juni 2025, PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi.
Dian Patria mempertanyakan keputusan ini, mengingat luas wilayah operasi yang mencakup laut memerlukan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang sering kali diabaikan dalam proses penerbitan IUP oleh Kementerian ESDM.
“Ego sektoral antar kementerian menjadi salah satu hambatan. IUP diterbitkan tanpa mempertimbangkan regulasi lain, seperti KKPRL,” ujar Dian.
Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antarinstansi, yang memperparah masalah pengawasan.
Langkah Tegas Pemerintah
Pemerintah pusat, di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, merespons isu ini dengan cepat. Pada 4 Juni 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memerintahkan penyelidikan mendalam terhadap IUP di Raja Ampat.
Inspeksi lapangan dilakukan pada 6 Juni, melibatkan Gubernur Papua Barat Daya dan Bupati Raja Ampat. Hasilnya, pada 9 Juni, Presiden Prabowo memutuskan untuk mencabut IUP empat perusahaan tambang karena terbukti melanggar regulasi lingkungan, termasuk deforestasi hutan lindung dan sedimentasi yang mencemari perairan.
Pencabutan IUP ini resmi diumumkan pada 10 Juni 2025, sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk melindungi ekosistem Raja Ampat. Namun, keputusan untuk mempertahankan operasi PT Gag Nikel memicu perdebatan.
Menteri ESDM menyatakan bahwa inspeksi tidak menemukan pelanggaran signifikan di wilayah operasi perusahaan tersebut, tetapi laporan independen menunjukkan adanya dampak lingkungan, seperti kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melaporkan deforestasi hutan lindung dan sedimentasi berat, terutama di Pulau Manuran, yang berukuran kecil (743 hektare).
“Kerusakan di Manuran sulit dipulihkan karena luas pulaunya terbatas,” ungkap seorang pejabat LHK.
Ancaman terhadap terumbu karang, yang menjadi daya tarik utama pariwisata Raja Ampat, juga menjadi perhatian serius.
Di sisi sosial, tambang nikel memicu ketegangan. Retribusi pariwisata, yang mencapai Rp1,4 juta per wisatawan asing, tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal, memicu potensi konflik. Namun, sebagian warga, khususnya di Pulau Gag, mendukung keberlanjutan tambang karena menyediakan lapangan kerja.
Bupati Raja Ampat, Oriedenko Burdam, menyatakan bahwa mayoritas penduduk Pulau Gag menolak penutupan tambang, menunjukkan dilema antara pelestarian lingkungan dan kebutuhan ekonomi lokal.
Peran KPK
KPK telah menerima banyak laporan dugaan korupsi terkait tambang di Raja Ampat dan sedang menyusun kajian untuk diserahkan ke Kementerian ESDM.
Kajian ini mencakup isu seperti penggunaan tenaga kerja asing, kontribusi minim terhadap ekonomi lokal, dan aktivitas penambangan ilegal.
KPK juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LHK untuk menyelidiki pelanggaran administrasi yang berpotensi menjadi pintu masuk korupsi.
Namun, Dian Patria mengakui bahwa tindak lanjut terkendala oleh pembagian wewenang antara pusat dan daerah. Resentralisasi kewenangan, yang diperkuat oleh UU Cipta Kerja, membuat pengawasan lokal semakin sulit.
Selain itu, praktik reaktivasi IUP melalui PTUN menambah kompleksitas, karena berpotensi digunakan sebagai celah untuk menghindari sanksi.
Jalan Keluar dari Masalah Tambang
Isu tambang nikel di Raja Ampat mencerminkan tantangan besar dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan tata kelola yang bersih.
Langkah pemerintah untuk mencabut IUP empat perusahaan adalah sinyal positif, tetapi keberlanjutan operasi PT Gag Nikel menunjukkan perlunya evaluasi yang lebih menyeluruh.
Koordinasi antar kementerian harus diperkuat untuk memastikan IUP tidak diterbitkan tanpa mempertimbangkan regulasi lintas sektor, seperti perlindungan lingkungan dan ruang laut.
Di sisi lain, KPK perlu terus mendorong transparansi dalam pengelolaan IUP dan pajak pertambangan, serta menindak praktik korupsi seperti reaktivasi IUP melalui PTUN.
Untuk masyarakat lokal, distribusi manfaat dari sektor pariwisata dan tambang harus lebih adil, agar konflik sosial dapat dicegah.
Raja Ampat bukan hanya warisan Indonesia, tetapi juga dunia. Melindungi keindahan dan keanekaragaman hayatinya memerlukan komitmen bersama dari pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat.
Dengan pengawasan yang lebih ketat dan tata kelola yang transparan, Raja Ampat dapat tetap menjadi “surga terakhir di bumi” tanpa dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.
0Komentar