Lanskap ketenagakerjaan Indonesia sedang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut laporan terbaru dari Center of Economic and Law Studies (Celios), sebanyak 84% pekerja Indonesia kini menerima upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR)—melonjak drastis dari 63% pada 2021.
"Angka pekerja di bawah UMR naik tajam dari 63% (2021) menjadi 84% (2024), atau 109 juta orang," ungkap Celios dalam laporannya. Ini bukan hanya statistik, melainkan cerminan krisis struktural yang menghantui dunia kerja nasional.
Lebih mencemaskan lagi, dari angka tersebut, terdapat sekitar 25 juta pekerja yang bekerja lebih dari 48 jam per minggu—melampaui batas kerja maksimal yang ditetapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan—namun tetap menerima upah di bawah standar minimum.
Celios menyoroti bahwa "industri transportasi, pertambangan, dan akomodasi overworked (48 jam/minggu), tapi upah di bawah UMR." Artinya, banyak pekerja harus membayar mahal dengan waktu dan kesehatannya, tanpa imbalan yang sepadan.
Masalah ini bukan hanya soal upah, tetapi juga distribusi jam kerja yang timpang. Sektor-sektor seperti real estat dan pertanian justru mengalami kondisi "underworked", dengan jam kerja rata-rata hanya 30–31 jam per minggu.
Kontras yang mencolok ini mencerminkan buruknya perencanaan tenaga kerja dan ketidakseimbangan produktivitas lintas sektor. Laporan ILO menegaskan bahwa jam kerja berlebih (overwork) berisiko tinggi menurunkan kualitas hidup dan kesehatan pekerja, sementara jam kerja pendek (underemployment) sering kali berarti pendapatan tak mencukupi untuk kebutuhan dasar.
Di balik angka ketenagakerjaan yang terlihat tinggi, realitasnya adalah dominasi pekerjaan informal dan upah rendah. BPS mencatat bahwa sejak 2021 hingga 2024, lebih dari 58% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, tanpa perlindungan ketenagakerjaan formal.
Celios menegaskan bahwa "pekerjaan informal dan upah rendah memperburuk kesejahteraan tenaga kerja." Di sektor seperti pertanian, perdagangan, dan akomodasi, bahkan terjadi peningkatan jumlah pekerja tidak dibayar, termasuk buruh keluarga atau pekerja musiman.
Ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini tidak serta merta menciptakan pekerjaan layak, tetapi justru memperluas lapisan pekerja rentan.
Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan turut memperparah situasi. Statistik dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pengaduan terkait pelanggaran UMR terus meningkat tiap tahun, namun jumlah inspektur dan efektivitas penegakan hukum masih jauh dari memadai.
Dalam konteks ini, Celios menilai bahwa "tren ini mencerminkan kegagalan struktural dalam menciptakan lapangan kerja layak." Sektor padat karya seperti manufaktur dan konstruksi menjadi tempat yang paling rentan terhadap praktik pelanggaran upah minimum.
Di sisi lain, pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional justru kerap berada dalam dilema. Dengan margin keuntungan yang sangat tipis, banyak usaha kecil yang kesulitan memenuhi kewajiban membayar UMR.
Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah UMR masih realistis dalam konteks ekonomi riil, terutama bagi sektor informal dan UMKM? Di banyak kasus, UMR tidak sejalan dengan konsep living wage—yakni upah layak hidup—yang di kota besar bisa jauh melebihi UMR yang berlaku.
Sementara itu, di pedesaan, kebutuhan hidup dan struktur biaya berbeda, sehingga satu standar nasional tidak lagi relevan bagi semua wilayah.
Digitalisasi ekonomi juga membawa tantangan baru. Munculnya platform ojek online, pengantar makanan, hingga pekerjaan freelance berbasis aplikasi, melahirkan model hubungan kerja baru yang tidak tunduk pada struktur upah konvensional.
Pekerja digital ini cenderung tidak memiliki kontrak tetap, tanpa batas jam kerja, dan tanpa jaminan sosial. Laporan Bank Dunia 2024 mencatat bahwa sektor ini—meski fleksibel—berkontribusi memperbesar kelompok “underprotected and underpaid”, yaitu pekerja yang rentan tanpa kepastian pendapatan maupun perlindungan hukum.
Akibat dari semua ini sangat terasa secara sosial dan ekonomi. Ketika sebagian besar pekerja dibayar di bawah UMR, daya beli rumah tangga menurun drastis. Harga kebutuhan pokok seperti beras, BBM, dan listrik terus naik, sementara upah stagnan.
Ketimpangan pun memburuk; data Gini Ratio Indonesia dari Bank Dunia menunjukkan bahwa angka ketimpangan pendapatan stagnan di atas 0,38 selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi tidak inklusif dan hanya dinikmati segelintir kelompok.
Menghadapi krisis ini, solusi struktural menjadi keharusan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat sistem inspeksi ketenagakerjaan, termasuk digitalisasi pelaporan pelanggaran.
Kedua, investasi dalam pelatihan vokasi dan peningkatan keterampilan harus menjadi prioritas, agar pekerja bisa beralih ke sektor dengan produktivitas dan upah lebih tinggi.
Ketiga, perluasan jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal, perlu diperluas dengan skema subsidi atau insentif. Tanpa langkah-langkah sistemik ini, mayoritas pekerja akan tetap terjebak dalam siklus kerja keras, upah murah, dan masa depan yang tak pasti.
0Komentar