Bank Dunia merevisi garis kemiskinan global menggunakan PPP 2021, menaikkan angka kemiskinan Indonesia secara signifikan. Namun, pemerintah tetap mengacu pada data BPS dengan standar nasional yang jauh lebih rendah. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa)

Angka kemiskinan Indonesia tiba-tiba melonjak jadi 68,25%? Ya, setidaknya menurut versi terbaru Bank Dunia. Tapi tunggu dulu—angka ini jauh berbeda dari data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat kemiskinan nasional hanya 8,57% pada September 2024. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

Pada Juni 2025, Bank Dunia memperbarui garis kemiskinan global menggunakan data Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP) 2021. Ini adalah langkah rutin yang dilakukan untuk mencerminkan perubahan harga dan standar hidup global. 

Namun, revisi kali ini memicu kejutan besar: angka kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia naik dari 60,25% menjadi 68,25%, atau sekitar 194,67 juta jiwa yang dianggap hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024.

Mengapa bisa begitu tinggi? Karena standar baru menetapkan bahwa untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, garis kemiskinan adalah US$8,30 per hari. 

Jika dikonversi menggunakan PPP (kurs PPP US$1 = Rp 5.993), itu berarti seseorang dianggap miskin jika hidup dengan kurang dari Rp 49.741 per hari, atau hampir Rp 1,5 juta per bulan.

“Kami memperbarui garis kemiskinan secara berkala untuk mencerminkan kenyataan biaya hidup global,” tulis Bank Dunia dalam pernyataan resminya, menegaskan bahwa revisi ini tidak menunjukkan kemunduran, melainkan penyesuaian standar yang lebih realistis.

Beda Standar, Beda Cerita

Sementara itu, BPS punya cara sendiri dalam menghitung kemiskinan. Berdasarkan pendekatan cost of basic needs (CBN), garis kemiskinan nasional pada September 2024 adalah Rp 595.242 per bulan (sekitar Rp 19.841 per hari). 

Dengan standar ini, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya 8,57%, atau sekitar 24,06 juta jiwa—angka terendah sejak 1960.

Jadi, tidak mengherankan jika angka dari Bank Dunia dan BPS tampak seperti dua dunia yang berbeda. Perbedaannya terletak pada:

Garis kemiskinan: Rp 1,5 juta vs Rp 595 ribu per bulan.

Metodologi: PPP global vs kebutuhan dasar lokal.

Tujuan: Perbandingan internasional vs kebijakan domestik.

Ilustrasi Nyata: Hidup dengan Dua Standar

Untuk memahami perbedaan ini, bayangkan dua keluarga:

Keluarga A hidup dengan Rp 595.000 per bulan. Mereka hanya bisa memenuhi kebutuhan makan seadanya, mungkin tanpa listrik stabil, air bersih terbatas, dan akses terbatas ke layanan kesehatan.

Keluarga B hidup dengan Rp 1,5 juta per bulan. Mereka mungkin masih kesulitan menabung atau membayar biaya sekolah, tapi bisa dikatakan “tidak miskin ekstrem” dalam konteks nasional.

Bagi Bank Dunia, keluarga B tetap tergolong miskin jika dibandingkan dengan rata-rata global di negara menengah atas.

Tabel Perbandingan Singkat

Aspek Bank Dunia (PPP 2021) BPS (Nasional, September 2024)
Garis Kemiskinan US$8,30 per hari (±Rp 49.741) Rp 595.242 per bulan (±Rp 19.841 per hari)
Tingkat Kemiskinan 2024 68,25% (194,67 juta jiwa) 8,57% (24,06 juta jiwa)
Metodologi PPP internasional (standar global) Cost of Basic Needs (CBN), berbasis lokal
Sumber Data Poverty and Inequality Platform (World Bank) Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Tujuan Perbandingan antarnegara Pemantauan domestik & kebijakan nasional


Bagaimana Respons Pemerintah?

Menanggapi perbedaan angka ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah masih mengacu pada data BPS sebagai dasar kebijakan.

“Selama ini pemerintah tetap mengacu pada data BPS untuk membuat kebijakan yang relevan dengan kondisi di lapangan,” ujarnya pada 10 Juni 2025.

Namun, ia juga mengakui bahwa BPS dan kementerian terkait sedang mengkaji ulang standar garis kemiskinan nasional agar lebih sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.

Di sisi lain, strategi pemerintah tetap fokus pada:

• Meningkatkan daya beli masyarakat.

• Memperluas dan menajamkan bantuan sosial.

• Memperkuat data dan akurasi targeting program kesejahteraan.

Apakah Ini Buruk Bagi Citra Indonesia?

Munculnya angka 68% bisa berdampak pada persepsi luar negeri terhadap Indonesia. Investor atau lembaga internasional bisa menganggap tingkat kesejahteraan masih rendah, meski kenyataannya tidak seburuk itu menurut standar lokal.

Namun, angka ini juga bisa dibaca sebagai cermin yang menantang pemerintah untuk mengevaluasi ulang definisi "kemiskinan" dan memastikan bahwa standar minimum kesejahteraan benar-benar mencerminkan kebutuhan hidup layak hari ini.

Revisi garis kemiskinan Bank Dunia membuka mata bahwa pengentasan kemiskinan tidak cukup dilihat dari satu angka. Angka 68,25% menyoroti tantangan tersembunyi yang mungkin luput dari data nasional. Sementara angka BPS 8,57% menunjukkan kemajuan yang patut diapresiasi.

Yang paling penting bukan angka mana yang dipilih, melainkan bagaimana data ini diterjemahkan menjadi kebijakan yang efektif dan menyentuh langsung kehidupan rakyat.

Data hanyalah alat—yang utama adalah memastikan setiap warga negara bisa hidup layak dan bermartabat.