Praktisi migas Hadi Ismoyo mendorong pemerintah untuk mengalihkan konsumsi BBM bersubsidi ke energi gas. Langkah ini dinilai akan mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat ketahanan energi nasional. (Rennah Services)

Pakar sektor minyak dan gas bumi (migas), Hadi Ismoyo, mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan strategi jangka menengah hingga panjang dengan mengalihkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ke energi berbasis gas. Langkah ini dinilai penting dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM, terutama dari Singapura, dan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.

Menurut Hadi, Indonesia memiliki cadangan gas alam yang sangat besar dan belum termanfaatkan secara optimal. Konversi ke energi gas, menurutnya, tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi impor BBM, tetapi juga sebagai upaya efisiensi penggunaan anggaran negara, khususnya dalam subsidi energi yang terus membengkak.

advertisements
Ad
“Kalau untuk jangka pendek mungkin impor BBM masih bisa dipertimbangkan. Namun dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah sebaiknya mulai serius mencanangkan konversi energi dari BBM ke gas,” ujar Hadi saat dihubungi pada Minggu (11/5/2025).

Ia menegaskan bahwa potensi cadangan gas di dalam negeri sangat besar, dan seharusnya bisa menjadi sumber energi utama. Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur gas menjadi sangat krusial.

Hadi menyoroti besarnya anggaran negara yang dikeluarkan untuk subsidi energi, yang saat ini mendekati angka Rp 300 triliun per tahun. Menurutnya, angka sebesar itu sangat tidak efisien jika terus-menerus dialokasikan untuk subsidi BBM, apalagi sebagian besar BBM tersebut merupakan hasil impor.

“Anggaran subsidi sebesar itu seharusnya bisa dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif dan berdampak langsung ke masyarakat, seperti layanan kesehatan, pendidikan, serta pembangunan infrastruktur dasar,” tambah Hadi.

Ia juga menyampaikan bahwa ketergantungan terhadap BBM impor membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan dinamika geopolitik internasional. Oleh sebab itu, memperkuat sektor energi domestik berbasis gas dapat menjadi solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, mengungkapkan rencana untuk mengurangi bahkan menghentikan impor BBM dari Singapura. Langkah ini diambil setelah dilakukan evaluasi harga dan ditemukan bahwa harga beli BBM dari Singapura setara dengan harga dari Timur Tengah.
“Impor BBM kita saat ini 54-59% berasal dari Singapura. Tapi setelah dicek, ternyata harganya sama dengan beli dari kawasan Timur Tengah. Jadi kita mulai berpikir untuk diversifikasi sumber impor,” ujar Bahlil saat konferensi pers di Jakarta Pusat pada Jumat (9/5/2025).

Ia menambahkan, rencana penyetopan impor BBM dari Singapura akan dilakukan secara bertahap. Dalam enam bulan ke depan, pemerintah menargetkan pengurangan impor hingga 50-60 persen, sebelum akhirnya berupaya menghentikan sepenuhnya.

Untuk menunjang rencana tersebut, pemerintah melalui Pertamina kini tengah membangun fasilitas pelabuhan dan dermaga yang dapat menampung kapal-kapal tanker besar. Hal ini menjadi penting karena kapal pengangkut dari Timur Tengah dan Amerika Serikat biasanya berukuran lebih besar dibanding kapal dari Singapura.

“Kalau dari Singapura itu kan kapalnya kecil-kecil. Sekarang kita bangun infrastruktur untuk kapal besar agar efisiensi lebih tinggi dan tidak ada hambatan logistik,” jelas Bahlil.

Langkah ini juga disebut sebagai bagian dari strategi menghadapi dinamika geopolitik global. Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini menerapkan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap produk Indonesia, sehingga pemerintah merasa perlu menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan dan energi dengan negara-negara besar seperti AS dan negara-negara di Timur Tengah.

Dari sudut pandang kebijakan energi nasional, dorongan untuk konversi ke gas sebenarnya sudah lama digaungkan. Namun implementasinya masih menghadapi sejumlah kendala, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur, distribusi, dan kesiapan masyarakat dalam beradaptasi terhadap sumber energi baru.

Jika pemerintah mampu bergerak cepat dalam menyiapkan sarana dan regulasi pendukung, maka konversi BBM ke gas bukan hanya menjadi solusi atas defisit neraca perdagangan energi, tetapi juga menjadi lompatan besar menuju transisi energi bersih dan berkelanjutan.

Indonesia tidak boleh terus-menerus berada dalam posisi sebagai importir energi utama, padahal memiliki sumber daya yang melimpah. Kebijakan konversi energi, jika dilakukan dengan tepat, bisa menjadi tonggak sejarah dalam membangun kemandirian energi nasional.