![]() |
Ray Dalio, penasihat Danantara, rilis buku terbaru tentang utang negara dan risiko krisis kebangkrutan. (Foto: Istimewa) |
Ray Dalio, miliarder dan pendiri firma investasi Bridgewater Associates, kembali menjadi sorotan pada 2025. Setelah cukup lama tak muncul di pemberitaan utama, ia kini hadir dengan peluncuran buku terbaru berjudul How Countries Go Broke: The Big Cycle.
Buku ini membahas risiko besar yang mengintai ekonomi negara-negara di dunia akibat utang yang terus menumpuk, dan dirilis di tengah situasi politik serta ekonomi global yang semakin dinamis.
Namun bukan hanya isi bukunya yang jadi perbincangan. Keterkaitannya dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), lembaga pengelola kekayaan negara milik Indonesia, juga ikut menarik perhatian—terutama setelah muncul kabar bahwa Dalio batal menjadi bagian dari Dewan Penasihat lembaga tersebut.
Lewat akun pribadinya di media sosial X (dulu Twitter), Dalio membagikan kabar bahwa ia baru saja menerbitkan buku barunya. Di dalamnya, ia mengangkat tema krusial, bagaimana negara bisa terjebak dalam siklus utang besar yang pada akhirnya membuat mereka bangkrut.
Our government debt problem is probably our biggest problem. I wrote How Countries Go Broke: The Big Cycle to convey the mechanics and indicators of it, to make clear what can be done to prevent it, and to tell people what they should do to protect themselves against it. The… pic.twitter.com/Htm4KFtask— Ray Dalio (@RayDalio) May 15, 2025
Ia menekankan bahwa persoalan utang bukan sekadar soal angka, tapi bisa menjadi ancaman terbesar bagi stabilitas suatu negara jika tidak dikelola dengan benar.
"Masalah utang pemerintah kita mungkin merupakan masalah terbesar kita," tulis Dalio dalam unggahan tersebut. Ia juga menyebut bahwa buku ini ditujukan untuk membantu publik memahami mekanisme dan indikator kebangkrutan negara, serta langkah-langkah untuk mengantisipasinya—baik di level kebijakan maupun individu.
Buku ini tak hanya mengulas persoalan ekonomi makro, tapi juga membahas dinamika kekuasaan, gejolak politik, dan perubahan struktural yang mempercepat laju krisis di sejumlah negara.
Ia menggambarkan bagaimana perpaduan antara utang yang tak terkendali, instabilitas politik, dan pergeseran kekuatan global bisa memicu krisis multidimensi.
Salah satu bagian paling kontroversial dari buku ini adalah kritik Dalio terhadap mantan Presiden AS, Donald Trump. Ia menyamakan gaya kepemimpinan Trump dengan pemimpin berhaluan kanan garis keras pada era 1930-an.
Menurutnya, upaya Trump untuk memperluas kekuasaan presiden dengan mengesampingkan cabang pemerintahan lainnya memiliki kemiripan dengan pendekatan yang diambil tokoh-tokoh kuat seperti Andrew Jackson dan bahkan Franklin D. Roosevelt, meskipun Trump dinilainya lebih agresif.
Dalio juga mengangkat konsep “demagog”—pemimpin yang meraih dukungan lewat permainan emosi, ketakutan, dan prasangka publik—dan mempertanyakan secara terbuka apakah Trump masuk dalam kategori ini.
Pernyataan tersebut langsung menimbulkan debat di ranah publik Amerika Serikat, mengingat tahun-tahun politik yang semakin memanas menjelang pemilu berikutnya.
Sementara buku Dalio ramai diperbincangkan, kabar lain muncul dari Indonesia: namanya tiba-tiba tidak lagi tercantum dalam dokumen resmi Danantara sebagai penasihat global.
Padahal, pada Maret 2025 lalu, Dalio diumumkan akan duduk di Dewan Penasihat bersama tokoh-tokoh internasional lainnya. Kehadirannya disebut-sebut akan memberi dorongan besar terhadap kredibilitas lembaga yang baru berdiri ini.
Namun, pada Mei 2025, laporan internasional menyebut bahwa Dalio tidak jadi mengemban peran tersebut. Dalam dokumen presentasi yang disampaikan kepada investor asing, nama Dalio tak lagi muncul.
Belum ada keterangan resmi dari pihak Dalio, namun langkah ini memunculkan pertanyaan tentang transparansi dan arah strategi Danantara.
Menanggapi isu tersebut, CEO Danantara Rosan Roeslani menegaskan bahwa hubungan dengan tim Ray Dalio masih berjalan baik.
“Saya minggu lalu baru ketemu timnya, anaknya juga, Mark Dalio. Pembicaraan masih berjalan lancar. Kami juga baru Zoom,” ujar Rosan saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan pada 28 Mei 2025. Ia membantah adanya kabar pengunduran diri atau pembatalan peran.
Meski belum ada kejelasan pasti, sejumlah pengamat menilai bahwa dinamika semacam ini cukup umum dalam dunia investasi. Namun tetap, komunikasi yang jelas dan terbuka sangat diperlukan, terutama untuk lembaga baru seperti Danantara yang tengah membangun reputasi global.
Sebagai dana kekayaan negara, Danantara punya tugas besar untuk mengelola aset BUMN dan menarik investasi asing dalam jumlah besar. Ketidakjelasan terkait tokoh besar seperti Dalio bisa memunculkan persepsi negatif jika tidak ditangani dengan komunikasi yang matang.
Ray Dalio kembali tampil dengan analisis tajam lewat buku barunya, memperingatkan dunia soal ancaman utang dan ketidakstabilan ekonomi. Di saat yang sama, kabar soal perannya di Danantara yang masih simpang siur memperlihatkan pentingnya konsistensi informasi dan transparansi dalam membangun kepercayaan publik dan investor.
Indonesia punya momentum besar lewat Danantara, tapi langkah ke depan harus dikawal dengan komunikasi strategis agar tidak kehilangan arah—atau kehilangan kepercayaan.
0Komentar