Kopi Indonesia memiliki cita rasa khas yang dicari negara-negara seperti Amerika, Jepang, dan Korea. Namun, produktivitas yang rendah masih menjadi tantangan utama dibanding Brasil dan Vietnam. (Istimewa)

Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia. Namun sayangnya, posisi ini belum diiringi dengan tingkat produktivitas yang kompetitif dibanding negara-negara lain seperti Brasil dan Vietnam. Menurut Daryanto Witarsa, Ketua Umum Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI), Indonesia saat ini menempati posisi keempat sebagai penghasil kopi terbesar di dunia. Untuk jenis kopi robusta, Indonesia bahkan berada di posisi kedua setelah Vietnam.

Kendati demikian, tantangan utama yang dihadapi industri kopi nasional bukan pada permintaan pasar, melainkan pada sisi produksi. Permintaan akan kopi Indonesia sebenarnya cukup tinggi, terutama dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan.

“Negara-negara itu secara konsisten mencari kopi Indonesia. Ini karena rasa kopi kita punya karakteristik unik yang tidak ditemukan di tempat lain,” ujar Daryanto dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.

Rasa khas yang dimiliki kopi Indonesia memang menjadi nilai jual tersendiri. Karakteristik ini lahir dari keanekaragaman iklim, tanah, serta metode pengolahan tradisional yang berbeda-beda di setiap daerah.

Namun di balik potensi besar ini, produktivitas tetap menjadi pekerjaan rumah yang mendesak. “Isu utamanya memang produktivitas kita,” jelas Daryanto. 

Dibandingkan negara pesaing seperti Brasil, yang mampu menghasilkan hingga tiga ton kopi per hektare, Indonesia masih tertinggal jauh. Rata-rata produksi di dalam negeri hanya mencapai sekitar satu ton per hektare, bahkan bisa lebih rendah.

Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah pohon kopi yang sudah tua dan kurang produktif. Selain itu, metode pemupukan dan pembibitan juga masih perlu ditingkatkan agar lebih efisien dan berkelanjutan.

Upaya untuk meningkatkan produktivitas sebenarnya sudah mulai dilakukan. Beberapa wilayah seperti Aceh Gayo menunjukkan tren positif dengan hasil panen yang meningkat hingga 1,5 ton per hektare. Hal serupa mulai digerakkan di daerah lain seperti Lampung, Jawa, dan Sulawesi.

Langkah revitalisasi ini memang tidak bisa dilakukan secara instan. Diperlukan sinergi antara petani, pemerintah, pelaku industri, dan komunitas kopi agar transformasi ini bisa berjalan menyeluruh. Modernisasi alat pertanian, akses pembiayaan, serta pelatihan teknis bagi petani harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang.

Di sisi lain, industri kopi global saat ini sedang berada dalam momentum yang sangat baik. Daryanto menyebutnya sebagai golden era, di mana permintaan terus meningkat dan konsumen semakin peduli terhadap kualitas serta asal usul kopi yang mereka konsumsi.

Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi pemain utama di era ini. Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas di tingkat hulu. Tanpa perbaikan di sektor ini, peluang besar bisa dengan mudah direbut oleh negara lain yang lebih siap.

Jika pemerintah dan pelaku industri mampu mengoptimalkan peluang ini, bukan tidak mungkin kopi Indonesia akan menjadi raja baru di panggung kopi dunia. Namun, semua itu harus dimulai dari akar masalah: produktivitas.