Indonesia mengekspor minyak mentah ke luar negeri namun kembali mengimpor BBM dengan nilai jauh lebih tinggi. (Foto: Ist)

Indonesia tengah menghadapi paradoks dalam sektor energinya. Di satu sisi, negara ini merupakan eksportir minyak mentah ke berbagai negara, termasuk pusat pengolahan energi di kawasan Asia Tenggara. Namun di sisi lain, Indonesia justru harus mengimpor kembali hasil olahan minyak tersebut dalam bentuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan nilai yang jauh lebih tinggi.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan dagang biasa, melainkan potret nyata dari ketergantungan struktural terhadap fasilitas pengolahan luar negeri serta rendahnya nilai tambah energi yang dinikmati di dalam negeri. 

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa volume ekspor minyak mentah Indonesia mencapai ratusan juta kilogram, namun nilai impor BBM melambung hingga puluhan miliar dolar per tahun—mayoritas berasal dari satu pusat pengilangan utama di kawasan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat bahwa Indonesia mengekspor sekitar 334 juta kilogram minyak mentah ke Singapura dengan nilai US$ 219 juta. Namun dalam periode yang sama, Indonesia justru mengimpor lebih dari 15 miliar kilogram BBM dari Singapura dengan nilai fantastis mencapai US$ 11,4 miliar. 

Artinya, nilai impor BBM dari Singapura hampir 52 kali lipat lebih besar dari nilai ekspor minyak mentah ke negara tersebut. Ini menjadi salah satu penyumbang defisit perdagangan energi yang signifikan bagi Indonesia.

Kondisi ini bukan tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri. Saat ini, total kapasitas pengolahan minyak kilang Pertamina hanya berkisar 1,1 juta barel per hari, jauh di bawah kebutuhan konsumsi BBM nasional yang mencapai sekitar 1,4 juta barel per hari. 

Sementara itu, Singapura—yang bahkan tidak memiliki sumber minyak mentah sendiri—memiliki kapasitas kilang hingga 1,5 juta barel per hari, lengkap dengan teknologi pengolahan termutakhir dan efisiensi tinggi.

Kelebihan ini menjadikan Singapura sebagai hub energi regional, dengan tiga kilang besar milik perusahaan raksasa seperti ExxonMobil, Shell, dan Singapore Refining Company (SRC), yang mampu menyuplai BBM tidak hanya ke Indonesia, tetapi juga ke negara-negara lain di kawasan.

Warisan Regulasi dan Turunnya Produksi

Di balik persoalan infrastruktur, Indonesia juga masih dibayangi oleh dampak kebijakan pasca-krisis 1998 yang merombak tata kelola industri migas secara besar-besaran. 

Produksi minyak Indonesia mengalami penurunan tajam dari puncaknya di kisaran 1,5 juta barel per hari (1996-1997) menjadi hanya sekitar 580 ribu barel per hari pada 2024. Di sisi lain, permintaan BBM terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan jumlah kendaraan bermotor.

Ketimpangan antara produksi, kapasitas pengolahan, dan konsumsi ini menjadi celah bagi negara lain seperti Singapura untuk mengambil peran sebagai pemasok utama BBM bagi Indonesia.

Dampak Ekonomi dan Ketergantungan Strategis

Konsekuensi dari ketergantungan ini sangat luas. Dari sisi ekonomi, Indonesia mengalami kerugian devisa yang besar. Bahkan, berdasarkan data 2021, defisit perdagangan dengan Singapura mencapai hampir US$ 4 miliar. 

Ketergantungan pada satu negara dalam hal pasokan BBM juga membuat Indonesia rentan terhadap dinamika geopolitik dan fluktuasi harga minyak global. Ironisnya, sebagian dari BBM yang diimpor kemungkinan besar berasal dari minyak mentah Indonesia yang sebelumnya diekspor ke Singapura.

Hal ini disinggung oleh Menteri Investasi/ Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang menyatakan, "Lucu negara ini, kita impor BBM dari negara yang nggak ada minyaknya... Harganya sama kalau kita impor dari Middle East." Pernyataan ini mencerminkan keresahan sekaligus urgensi untuk melakukan perbaikan struktural dalam sistem energi nasional.

Jalan Menuju Swasembada Energi

Sebagai respons terhadap ketergantungan tersebut, pemerintah mulai menyiapkan sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah rencana diversifikasi sumber impor BBM dari Timur Tengah dan Amerika Serikat, yang disebut akan dilakukan secara bertahap. Namun langkah ini hanya bersifat jangka pendek.

Untuk jangka panjang, pemerintah tengah menggenjot pembangunan dan modernisasi kilang melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR). Targetnya adalah mencapai swasembada BBM dalam lima tahun ke depan. 

Selain itu, reformasi kebijakan migas juga terus didorong, termasuk evaluasi kontrak kerja sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan pemberian insentif untuk meningkatkan produksi minyak domestik.

Ironi ekspor-impor minyak ini seharusnya menjadi momentum introspeksi sekaligus peluang reformasi menyeluruh dalam kebijakan energi Indonesia. 

Transformasi ini tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik seperti kilang, tetapi juga keberanian politik untuk merevisi kebijakan lama, membenahi sistem insentif, dan menciptakan iklim investasi yang kompetitif seperti yang dimiliki Singapura.

Dengan potensi sumber daya yang besar dan kebutuhan domestik yang tinggi, Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi negara mandiri secara energi. 

Namun untuk mewujudkannya, diperlukan sinergi kuat antara pemerintah, BUMN, swasta, dan masyarakat dalam membangun kedaulatan energi yang sejati—bukan sekadar mengelola sumber daya, tetapi juga mengolah dan menguasainya sendiri.