Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, dunia telah menyaksikan gelombang sanksi ekonomi dari negara-negara Barat yang bertujuan melemahkan Moskow. Namun di balik retorika tegas dan dukungan terhadap Ukraina, tersimpan fakta yang cukup menggelitik: negara-negara yang menjatuhkan sanksi justru menjadi salah satu sumber pendanaan utama perang Rusia melalui pembelian minyak dan gas. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mari kita telusuri.
Berdasarkan analisis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Rusia telah memperoleh lebih dari 883 miliar euro (sekitar Rp 16.318 triliun) dari ekspor bahan bakar fosil sejak invasi dimulai hingga akhir Mei 2025.
Yang menarik perhatian, sekitar 228 miliar euro di antaranya berasal dari negara-negara yang menerapkan sanksi terhadap Rusia, termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris. Uni Eropa sendiri menjadi pembeli terbesar dengan kontribusi sebesar 209 miliar euro.
Minyak dan gas bukan sekadar komoditas bagi Rusia; sektor ini adalah tulang punggung perekonomian negara tersebut. Sekitar sepertiga pendapatan negara dan lebih dari 60% dari total ekspor Rusia berasal dari energi fosil.
Artinya, setiap barel minyak atau meter kubik gas yang dibeli dunia secara langsung memperkuat kas negara Rusia — yang sebagian digunakan untuk mendanai operasi militer di Ukraina.
Amerika Serikat dan Inggris melarang impor energi dari Rusia segera setelah invasi dimulai. Uni Eropa pun menghentikan impor minyak mentah Rusia melalui jalur laut. Namun, gas yang dikirim melalui pipa masih terus mengalir ke Eropa, khususnya ke negara-negara seperti Hongaria dan Slovakia.
Bahkan setelah jalur pipa melalui Ukraina ditutup pada Januari 2025, Rusia meningkatkan ekspor gas melalui Turkiye. Volume pengiriman melalui jalur ini naik sebesar 26,77% pada dua bulan pertama tahun 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Meskipun ada tekanan internasional, pendapatan Rusia dari sektor energi pada 2024 hanya turun 5% dibandingkan tahun 2023. Bahkan, ekspor minyak mentah meningkat sebesar 6%, sementara ekspor gas melalui pipa naik 9%.
Salah satu alasan mengapa sanksi tidak sepenuhnya efektif adalah kekhawatiran negara-negara Barat akan lonjakan harga energi jika impor dari Rusia dihentikan total.
“Banyak pemerintah khawatir harga energi akan melonjak jika mereka benar-benar menghentikan impor dari Rusia,” ujar Mai Rosner, juru kampanye senior dari Global Witness.
Selain ekspor langsung, Rusia juga memanfaatkan celah hukum yang dikenal sebagai refining loophole. Dalam skema ini, minyak mentah Rusia dikirim ke negara ketiga seperti India dan Turkiye, diolah menjadi produk bahan bakar, lalu dijual kembali ke negara-negara Barat yang sejatinya telah menerapkan sanksi terhadap Rusia.
CREA mencatat bahwa setidaknya enam kilang di kedua negara tersebut membeli minyak Rusia senilai 6,1 miliar euro untuk diproses dan kemudian dipasarkan ke Barat.
“Semua orang tahu soal celah ini. Ini legal, tapi tidak ada yang benar-benar bertindak,” kata Vaibhav Raghunandan, analis dari CREA. Skema ini menggambarkan betapa kompleksnya rantai pasok energi global.
Negara-negara Barat, meskipun secara resmi menolak perdagangan langsung dengan Rusia, tetap menerima produk turunan energi Rusia melalui jalur tidak langsung. Ibarat membeli barang yang asal-usulnya tidak ditelusuri, situasi ini mencerminkan inkonsistensi dalam pelaksanaan sanksi.
Kondisi ini menciptakan dilema moral yang tidak mudah dijawab. Di satu sisi, negara-negara Barat memberikan dukungan finansial dan militer dalam jumlah besar untuk Ukraina, termasuk pengiriman senjata dan bantuan kemanusiaan.
Namun di sisi lain, mereka secara tidak langsung juga menyumbang pemasukan bagi Rusia melalui pembelian energi. “Kita mendanai pihak yang kita kecam, sekaligus mendanai pihak yang kita dukung,” ujar Mai Rosner.
Ketergantungan global terhadap bahan bakar fosil telah menjebak dunia dalam permainan geopolitik yang rumit, di mana kepentingan ekonomi sering kali menenggelamkan prinsip moral.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kontradiksi ini? Sejumlah pakar menyarankan percepatan transisi menuju energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, khususnya dari Rusia.
Uni Eropa, misalnya, telah menetapkan target untuk menghentikan semua impor gas Rusia pada 2027. Namun, tantangan politik dan logistik masih menjadi hambatan besar.
Selain itu, menutup celah hukum seperti refining loophole membutuhkan koordinasi dan komitmen internasional yang lebih kuat — sesuatu yang sulit dicapai di tengah kepentingan nasional masing-masing negara yang berbeda-beda.
Sampai saat itu tiba, dunia tetap berada dalam posisi yang serba salah. Setiap liter bahan bakar yang dibeli dari Rusia — baik secara langsung maupun tidak langsung — berpotensi memperpanjang konflik di Ukraina.
Pertanyaannya, apakah komunitas internasional memiliki keberanian dan konsistensi untuk benar-benar memutus ketergantungan pada energi Rusia? Waktu akan menjadi saksi jawabannya.
Catatan Penulis: Artikel ini ditulis berdasarkan data dan laporan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA)
0Komentar