![]() |
Ilustrasi: Kapal tanker (Foto: Bloomberg) |
Pemerintah Indonesia melalui Pertamina tengah menimbang rencana strategis untuk meningkatkan impor migas dari Amerika Serikat. Langkah ini bertujuan untuk menyeimbangkan neraca dagang Indonesia-AS sekaligus mengatasi tekanan tarif ekspor yang diberlakukan oleh pemerintah Donald Trump. Namun, strategi ini menghadirkan tantangan besar dari sisi logistik, efisiensi biaya, hingga ketahanan pasokan nasional.
Saat ini, Indonesia mengimpor sekitar 4% minyak mentah dan 57% LPG dari AS dengan nilai tahunan sekitar US$3 miliar. Dalam skenario kerja sama baru, nilai impor bisa melonjak hingga US$10 miliar atau sekitar Rp168,6 triliun.
Salah satu risiko terbesar dari rencana ini adalah jarak dan durasi pengiriman. Pengangkutan migas dari AS membutuhkan waktu rata-rata 40 hari, jauh lebih lama dibandingkan pengiriman dari Timur Tengah (15–20 hari) atau Australia (5–7 hari).
“Risiko utama adalah jarak dan waktu pengiriman dari AS yang jauh lebih panjang,” ungkap Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri. Cuaca ekstrem seperti badai Atlantik atau kabut tebal dapat memperburuk kondisi logistik ini, meningkatkan potensi keterlambatan distribusi dan gangguan pasokan nasional.
Kenapa Tidak dari Timur Tengah atau Australia?
Timur Tengah, yang selama ini menjadi sumber utama pasokan minyak Indonesia, menawarkan keunggulan jarak dan volume.
Namun, kawasan ini rentan terhadap instabilitas geopolitik. Sementara itu, Australia memiliki jalur laut yang lebih pendek dan stabil, namun kapasitas ekspor mereka terbatas dan lebih mahal.
Impor dari AS dianggap sebagai diversifikasi sumber pasokan, bukan pengganti mutlak. Ini memberi Indonesia opsi jika terjadi guncangan pasokan global. Namun, diversifikasi itu tetap harus memperhitungkan biaya logistik dan kesiapan infrastruktur domestik.
Apakah Harga BBM Akan Terpengaruh?
Meskipun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan kebijakan ini tidak membebani APBN, publik tetap mempertanyakan dampaknya terhadap harga BBM dan LPG di dalam negeri.
Jika biaya logistik dari AS lebih tinggi dan tidak disubsidi, ada kemungkinan harga jual migas ke konsumen ikut terdorong naik. Namun, selama skema subsidi energi tetap diberlakukan, masyarakat tidak akan langsung terdampak dalam jangka pendek. Pertamina sendiri menegaskan bahwa mereka sedang mengevaluasi seluruh aspek keekonomian agar tetap kompetitif.
Pertamina menekankan bahwa rencana ini bukanlah peningkatan volume, tetapi pengalihan sumber. Artinya, volume impor tidak akan bertambah, hanya asal negaranya yang dialihkan. Kajian komprehensif tengah dilakukan untuk memastikan kualitas migas AS sesuai standar kilang, serta kesiapan penyimpanan dan distribusi dalam negeri.
“Kami tetap berkomitmen menjaga efisiensi dan ketahanan energi nasional,” tegas Simon.
Diplomasi Energi: Kunci Negosiasi G2G Indonesia-AS
Kerja sama ini membutuhkan dukungan kebijakan yang solid. Pertamina menyatakan perlunya payung hukum dalam bentuk Perpres atau Permen, serta komitmen government-to-government (G2G) agar kerja sama jangka panjang ini bisa berjalan lancar dan terlindungi secara hukum.
“Komitmen G2G akan memberikan kepastian politik dan regulasi, yang kemudian diturunkan ke level B2B,” ujarnya.
Namun, sejauh ini belum ada kesepakatan resmi terkait tarif resiprokal 32% yang dibebankan AS terhadap beberapa produk ekspor Indonesia. Hal ini menandakan bahwa diplomasi energi Indonesia belum sepenuhnya membuahkan hasil konkret.
Menimbang Manfaat Jangka Panjang
Impor migas dari AS membawa potensi manfaat strategis dalam diplomasi dan diversifikasi energi, namun juga menyimpan risiko biaya dan logistik yang signifikan.
Tanpa kesiapan infrastruktur dan jaminan regulasi, strategi ini bisa menjadi bumerang bagi stabilitas energi nasional.Kebijakan ini akan menjadi ujian penting bagi sinergi antara BUMN energi dan kebijakan luar negeri Indonesia.
Apakah strategi ini akan memperkuat posisi Indonesia di panggung energi global, atau justru menambah beban logistik nasional?
0Komentar