Putusan bersejarah Pengadilan Perdagangan Internasional AS pada 28 Mei 2025 memblokir sebagian besar tarif impor Presiden Trump. (Steven Hirsch/New York Post via AP,Pool,File)


Pengadilan Perdagangan Internasional AS mengeluarkan putusan bersejarah yang memblokir kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump. Putusan ini menegaskan bahwa presiden telah melampaui wewenang konstitusionalnya dengan memberlakukan tarif menyeluruh berdasarkan defisit perdagangan—sebuah kewenangan yang secara eksklusif dipegang oleh Kongres menurut Konstitusi AS. 

Keputusan ini tidak hanya mengguncang strategi ekonomi Trump yang mengandalkan tarif sebagai senjata utama dalam perang dagang global, tetapi juga memicu respons positif dari pasar dan kontroversi politik yang mendalam.

Kebijakan tarif Trump, yang mulai diterapkan pada 2 April 2025, mencakup tarif universal sebesar 10% atas seluruh impor ke AS, serta tarif tambahan yang lebih tinggi terhadap negara-negara dengan defisit perdagangan besar—terutama China, yang menghadapi tarif hingga 30%. Tarif tersebut terdiri dari 20% yang diklaim sebagai respons terhadap praktik perdagangan ilegal (trafficking) dan 10% sebagai tindakan balasan.

Gedung Putih menyatakan bahwa defisit perdagangan merupakan "darurat nasional" yang mengancam industri domestik dan keamanan nasional. 

Namun, pengadilan menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan konstitusional. Berdasarkan 28 U.S.C. § 1581(i), pengadilan memiliki yurisdiksi eksklusif terhadap tantangan kebijakan tarif, dan dalam putusan ini, dinyatakan bahwa hanya Kongres yang memiliki wewenang mengatur perdagangan internasional.

Selain itu, tarif global dan balasan dinyatakan melanggar 50 U.S.C. § 1702 karena tidak memiliki batasan yang jelas. Sementara itu, tarif terkait trafficking dinilai melanggar 50 U.S.C. § 1701 karena tidak secara spesifik menangani ancaman yang diklaim. 

Pengadilan merujuk pada preseden hukum seperti Head Money Cases dan Siemens Am., Inc. v. United States, yang menegaskan bahwa kekuasaan eksekutif dalam urusan perdagangan memiliki batas yang tegas.

Putusan ini langsung berdampak pada pasar keuangan global. Pada 29 Mei 2025, dolar AS menguat terhadap euro, yen, dan franc Swiss, sementara bursa saham Asia serta kontrak berjangka Wall Street mengalami lonjakan. 

Reaksi pasar mencerminkan optimisme bahwa pencabutan tarif akan mengurangi ketidakpastian ekonomi dan menurunkan tekanan inflasi akibat kebijakan proteksionis.

Para penggugat—terdiri dari lima bisnis kecil AS, seperti importir anggur dari New York dan pembuat kit pendidikan dari Virginia, serta 12–13 negara bagian termasuk Oregon—berhasil menunjukkan bahwa tarif tersebut menimbulkan kerugian nyata, seperti kenaikan biaya impor dan gangguan rantai pasok.

Gedung Putih segera mengajukan banding, menyebut defisit perdagangan sebagai "darurat nasional" yang menghancurkan komunitas Amerika, melemahkan basis industri pertahanan, dan meninggalkan para pekerja. 

Juru bicara Gedung Putih, Kush Desai, menyatakan bahwa "bukan tugas hakim yang tidak terpilih untuk memutuskan bagaimana menangani darurat nasional."

Departemen Kehakiman juga membantah validitas gugatan tersebut, dengan argumen bahwa para penggugat belum membayar tarif yang mereka tantang dan bahwa hanya Kongres yang berwenang menolak deklarasi darurat nasional di bawah International Emergency Economic Powers Act (IEEPA).

Sementara itu, Jaksa Agung Oregon, Dan Rayfield, menyebut kebijakan tarif tersebut "melanggar hukum, sembrono, dan merusak ekonomi," sambil menegaskan bahwa keputusan besar terkait perdagangan harus melalui proses legislatif, bukan tindakan sepihak presiden.

Banding ini diperkirakan akan berlanjut ke Pengadilan Banding Federal AS di Washington, D.C., bahkan mungkin berakhir di Mahkamah Agung AS, memperpanjang ketidakpastian hukum dan politik seputar kebijakan ini.

Sejak diberlakukan, kebijakan tarif Trump telah menjadi pusat kontroversi. Tarif universal 10% dimulai pada 2 April 2025, disusul tarif balasan antara 11–50% terhadap 57 negara dengan defisit perdagangan besar. 

Tarif khusus terhadap China, termasuk 20% karena isu trafficking, diterapkan mulai 4 Februari 2025 dan diperkuat pada 3 Maret 2025. Kanada dan Meksiko juga dikenai tarif 25%, dengan pengecualian sebesar 10% untuk ekspor energi dan potash dari Kanada.

Meskipun beberapa tarif ditangguhkan pada April 2025 dan negosiasi dengan China menghasilkan pengurangan tarif sementara selama 90 hari sejak 12 Mei 2025, putusan pengadilan ini mengguncang fondasi strategi proteksionis yang telah menjadi ciri khas pemerintahan Trump.

Ketegangan ini mencerminkan pertarungan mendasar antara cabang eksekutif dan yudikatif, serta antara kebijakan proteksionis dan prinsip perdagangan bebas. 

Sementara Gedung Putih menekankan perlunya perlindungan terhadap industri dan keamanan nasional, pengadilan dan penggugat menekankan pentingnya supremasi hukum dan proses demokratis.

Putusan Pengadilan Perdagangan Internasional AS pada 28 Mei 2025 menandai titik balik dalam arah kebijakan ekonomi pemerintahan Trump. Dengan memblokir tarif impor yang dinilai inkonstitusional, pengadilan mempertegas batas kekuasaan presiden dalam mengatur perdagangan global.

Meskipun pasar menyambut putusan ini dengan antusiasme, proses banding yang sedang berlangsung dan respons politik yang tajam menunjukkan bahwa pertarungan hukum dan ideologis mengenai arah ekonomi AS masih jauh dari selesai. Putusan ini tidak hanya mengoreksi pelanggaran konstitusional, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa kebijakan ekonomi strategis harus tetap berpijak pada aturan hukum dan prinsip demokrasi.


Catatan Penulis: Artikel ini disusun berdasarkan informasi yang tersedia hingga 29 Mei 2025, dengan merujuk pada sumber terpercaya seperti Reuters, USA Today, Washington Post, dan dokumen pengadilan resmi.