Menteri BUMN Erick Thohir enggan berkomentar soal isu Ray Dalio batal masuk sebagai Dewan Penasihat Danantara. (Foto: Tribunnews/Abdul Majid)


Kabar mengenai batalnya Ray Dalio, investor kawakan asal Amerika Serikat, dari jajaran Dewan Penasihat Danantara kembali menjadi sorotan setelah Menteri BUMN Erick Thohir enggan memberikan pernyataan tegas. Ketika dikonfirmasi media di lingkungan Istana Presiden pada 2 Juni 2025, Erick yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Danantara hanya melontarkan pernyataan singkat, “Nggak komentar,” sebelum memilih bungkam. 

Sikap diam ini memicu spekulasi lanjutan di tengah ketidakpastian informasi yang beredar. Sumber isu ini berasal dari laporan Bloomberg yang dirilis minggu lalu. Dalam laporannya, Bloomberg menyebutkan bahwa Dalio batal bergabung dengan lembaga pengelola investasi nasional tersebut, dengan alasan pribadi yang tidak dijelaskan secara rinci. 

Sumber yang dikutip Bloomberg menyatakan bahwa keputusan tersebut murni bersifat personal dan tidak berkaitan dengan dinamika internal Danantara.

Namun, bantahan tegas datang dari CEO Danantara, Rosan Roeslani. Dalam keterangannya kepada media, Rosan menepis isu tersebut. Ia menegaskan bahwa hubungan antara pihaknya dan Ray Dalio, termasuk dengan putra Dalio, Mark Dalio, masih berlangsung baik. 

“Kita pembicaraan berjalan lancar... Nggak ada itu (Ray batal jadi Dewan Penasihat),” ujar Rosan. Ia juga mengungkapkan bahwa komunikasi terakhir dengan tim Dalio, baik melalui pertemuan virtual maupun tatap muka pada 28 Mei 2025, berjalan tanpa kendala.

Danantara, sebagai Badan Pengelola Investasi yang berada di bawah Kementerian BUMN, dibentuk untuk mengelola dan memperkuat investasi strategis nasional. 

Keikutsertaan tokoh global seperti Ray Dalio dalam dewan penasihat tentu memberikan sinyal positif terhadap kredibilitas lembaga ini di mata investor internasional. 

Dalio sendiri merupakan pendiri Bridgewater Associates, salah satu hedge fund terbesar di dunia, dan memiliki rekam jejak panjang dalam proyek-proyek investasi di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bila benar kabar pembatalan itu terjadi, hal ini berpotensi menciptakan keresahan pasar serta menimbulkan persepsi negatif terhadap iklim investasi nasional. Sebaliknya, jika kabar tersebut keliru, klarifikasi publik menjadi penting demi menjaga stabilitas persepsi serta kepercayaan investor.

Sikap diam Erick Thohir juga menarik untuk dicermati. Dalam konteks komunikasi publik, "no comment" dari pejabat negara sering diartikan sebagai bentuk kehati-hatian, terutama ketika isu yang bersangkutan masih berada dalam proses internal atau melibatkan dinamika sensitif di level internasional. 

Meski demikian, ketiadaan informasi resmi bisa membuka ruang spekulasi yang pada akhirnya justru kontraproduktif terhadap transparansi lembaga negara.

Hingga kini, belum ada pernyataan langsung dari pihak Ray Dalio maupun dokumen resmi dari Danantara yang menegaskan status keterlibatannya. Di tengah kabar simpang siur ini, langkah klarifikasi yang terbuka dan faktual menjadi krusial. 

Bukan hanya untuk meredam spekulasi media, tetapi juga untuk menunjukkan komitmen Danantara dalam menjalankan mandatnya secara profesional dan transparan.

Apakah benar Ray Dalio telah menarik diri dari proyek strategis ini, atau justru masih menjadi bagian integral dari visi investasi Indonesia ke depan? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi penting, tidak hanya bagi Danantara, tetapi juga bagi arah kepercayaan publik terhadap pengelolaan investasi nasional di bawah kendali BUMN.