Meski isu Kashmir ramai dibicarakan, Indonesia tetap percaya pada Rafale dan menambah 18 unit jet tempur untuk memperkuat pertahanan udara nasional. (Foto: Venderwolf Image/Shutterstock)

Pada 28 Mei 2025, Indonesia menegaskan komitmennya untuk memperkuat pertahanan udara dengan menandatangani surat pernyataan minat (Letter of Intent/LOI) untuk membeli 18 jet tempur Rafale tambahan dari Dassault Aviation, Prancis. 

Keputusan ini diumumkan selama kunjungan resmi Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia, menandai langkah baru dalam kemitraan strategis antara kedua negara. 

Dengan tambahan ini, Indonesia diproyeksikan akan mengoperasikan total 60 jet Rafale, menjadikan Angkatan Udara Indonesia (TNI AU) salah satu operator terbesar jet tempur canggih ini di kawasan Indo-Pasifik.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah udara dan laut yang luas, terus berupaya memodernisasi angkatan bersenjatanya untuk menjaga kedaulatan dan stabilitas regional. 

Pada 2022, Indonesia menandatangani kontrak senilai USD 8,1 miliar untuk 42 jet Rafale, dengan pengiriman pertama dijadwalkan pada awal 2026. Armada ini akan menggantikan pesawat tempur lama seperti F-16, Sukhoi Su-27/30, Hawk, dan KAI T-50, yang sudah menua dan kurang mampu menghadapi tantangan geopolitik modern, terutama di kawasan strategis seperti Laut Cina Selatan.

Keputusan untuk menambah 18 unit Rafale menunjukkan kepercayaan Indonesia terhadap kemampuan tempur jet ini, yang dikenal sebagai salah satu pesawat tempur multiperan generasi 4.5 terbaik di dunia. 

Rafale menawarkan kemampuan serang udara-ke-udara dan udara-ke-darat yang unggul, dilengkapi dengan teknologi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan sistem senjata canggih seperti rudal Meteor dan SCALP. Selain itu, perjanjian ini mencakup pelatihan pilot, dukungan logistik, dan transfer teknologi, yang akan meningkatkan kapasitas industri pertahanan dalam negeri.

Menepis Isu Kashmir dan Disinformasi

Keputusan ini diambil di tengah guncangan informasi global, terutama terkait konflik India-Pakistan di Kashmir. Pada Mei 2025, muncul klaim bahwa Pakistan berhasil menjatuhkan tiga jet Rafale milik India dalam pertempuran udara. 

Klaim ini, yang menyebar luas di media sosial dan diduga didukung oleh narasi dari Tiongkok dan Pakistan, memicu kekhawatiran sementara di Indonesia. Kementerian Pertahanan sempat melakukan tinjauan internal untuk mengevaluasi performa Rafale berdasarkan laporan tersebut.

Namun, investigasi mendalam, termasuk laporan dari France24 dan The Economic Times, membuktikan bahwa klaim tersebut adalah bagian dari kampanye disinformasi. Tidak ada bukti kredibel yang mendukung klaim bahwa Rafale ditembak jatuh, dan gambar-gambar yang beredar ternyata merupakan manipulasi atau cuplikan dari video game. 

Dave Laksono, anggota Komisi I DPR, menegaskan bahwa performa sebuah sistem senjata tidak dapat dinilai hanya dari satu insiden yang belum terverifikasi. Ia mencatat bahwa bahkan jet canggih seperti F-16 atau F-22 AS pernah mengalami kerugian dalam situasi tempur, sehingga Indonesia tetap yakin pada Rafale sebagai tulang punggung pertahanan udara.

Kemitraan Strategis dengan Prancis

Kunjungan Presiden Macron tidak hanya menghasilkan kesepakatan untuk Rafale, tetapi juga membuka peluang kerja sama pertahanan yang lebih luas. Indonesia menyatakan minat untuk mengakuisisi dua kapal selam Scorpène dan fregat FDI (Belharra class) dari Naval Group, serta sistem artileri CAESAR. 

Kemitraan ini menekankan pada transfer teknologi dan produksi bersama, yang diharapkan dapat memperkuat industri pertahanan Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Prancis adalah mitra strategis dalam membangun kemampuan pertahanan yang mandiri, terutama untuk menghadapi dinamika geopolitik di Indo-Pasifik.

Langkah ini juga mencerminkan strategi Indonesia untuk menyeimbangkan hubungan dengan berbagai kekuatan global. Meskipun menjalin kerja sama erat dengan Prancis, Indonesia tetap menjaga opsi untuk memperoleh platform lain, seperti jet Chengdu J-10C dari Tiongkok dan Sukhoi Su-35 dari Rusia. 



Namun, diversifikasi ini menuai perhatian karena potensi tantangan logistik dan biaya operasional yang tinggi, serta kompleksitas dalam menguasai berbagai sistem senjata.

Tantangan dan Pertimbangan ke Depan

Meskipun keputusan untuk menambah pesanan Rafale menunjukkan ambisi besar Indonesia, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, diversifikasi armada tempur dengan platform dari negara yang berbeda dapat meningkatkan biaya pemeliharaan dan pelatihan. 

Rafale, J-10C, dan Su-35 memiliki sistem teknologi dan persenjataan yang berbeda, yang membutuhkan investasi signifikan dalam infrastruktur dan keahlian teknis. Kedua, ketergantungan pada pemasok asing untuk suku cadang dan amunisi dapat menjadi kendala, terutama jika terjadi gangguan rantai pasok global.

Namun, kemitraan dengan Prancis memberikan keuntungan strategis. Selain transfer teknologi, Indonesia akan mendapatkan pelatihan pilot di Prancis mulai Juli 2025, serta fasilitas pendukung seperti simulator dan hangar pintar di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, dan Pangkalan Udara Supadio, Pontianak. 

Lokasi ini dipilih karena posisinya yang strategis untuk memantau wilayah udara di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, dua jalur penting dalam dinamika regional.


Penambahan 18 jet Rafale menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan regional yang semakin diperhitungkan. Dengan total 60 unit Rafale, TNI AU akan memiliki armada tempur modern yang mampu menghadapi ancaman udara dan mendukung operasi lintas matra. 

Keputusan ini juga mengirimkan sinyal kuat bahwa Indonesia tidak mudah terpengaruh oleh narasi disinformasi dan tetap fokus pada kepentingan nasionalnya.

Di tengah ketegangan geopolitik di Indo-Pasifik, termasuk sengketa di Laut Cina Selatan, Rafale akan memperkuat kemampuan Indonesia untuk menjaga kedaulatan udara dan mendukung diplomasi pertahanan. 

Kemitraan dengan Prancis, yang mencakup aspek teknologi dan pelatihan, juga membuka peluang untuk membangun industri pertahanan yang lebih mandiri.

Keputusan Indonesia untuk menambah 18 jet Rafale adalah langkah strategis yang mencerminkan visi jangka panjang untuk modernisasi militer dan penguatan posisi di kawasan. 

Meskipun menghadapi tantangan seperti disinformasi dan potensi kompleksitas logistik, Indonesia menunjukkan keberanian dalam mengambil keputusan berdasarkan analisis mendalam dan kepentingan nasional. 

Dengan kemitraan strategis bersama Prancis, Indonesia tidak hanya memperkuat pertahanan udara, tetapi juga membangun fondasi untuk otonomi strategis di masa depan. Langkah ini menegaskan bahwa Indonesia siap menghadapi dinamika global dengan percaya diri dan kesiapan tempur yang mumpuni.