Investasi migas global ke Indonesia melonjak di 2025. Raksasa energi seperti ENI, BP, dan Mubadala fokus ke proyek gas dan teknologi hijau. (Foto: ANTARA)

Indonesia semakin menegaskan posisinya sebagai salah satu tujuan utama eksplorasi minyak dan gas bumi global. Momentum ini tercermin jelas dalam gelaran IPA Convex 2025, di mana sejumlah perusahaan energi raksasa seperti ENI, BP, Mubadala Energy, dan PETRONAS memusatkan strategi ekspansi mereka ke Indonesia.

Penemuan cadangan besar di Blok Geng North oleh ENI disebut sebagai salah satu penemuan gas terbesar dalam dekade terakhir. Tak heran jika ENI menempatkan Indonesia sebagai prioritas global dengan rencana pengeboran tiga sumur tambahan pada 2025. 

Sementara itu, Mubadala Energy dan BP memperkuat komitmennya melalui percepatan proyek LNG dan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

Menurut data SKK Migas, realisasi investasi hulu migas Indonesia mencapai USD 13,8 miliar pada 2024, naik 17% dari tahun sebelumnya. Proyeksi 2025 bahkan lebih optimistis, menyentuh angka USD 16 miliar, didorong oleh proyek-proyek strategis seperti Tangguh Train 3, pengembangan Blok Andaman, dan proyek CCS-Ubadari oleh BP.

IEA dalam laporannya menempatkan Indonesia sebagai “emerging exploration frontier” di Asia Tenggara, berkat kombinasi potensi cadangan, posisi geografis strategis, serta komitmen pemerintah dalam menjaga iklim investasi.

Namun di balik geliat tersebut, tantangan regulasi masih menjadi ganjalan. Meski pemerintah telah memangkas jumlah perizinan dari 347 menjadi 127 tahapan sejak 2022, menurut analisis Wood Mackenzie, proses Plan of Development (POD) di Indonesia tetap memakan waktu rata-rata 18 bulan, lebih lama dibanding Malaysia (9 bulan) atau Vietnam (12 bulan).

Para pelaku industri menyampaikan harapan kuat terhadap konsistensi kebijakan. Seperti disampaikan oleh Kathy Wu (BP Indonesia), “Kepastian kontrak dan stabilitas fiskal adalah kunci untuk menarik investasi jangka panjang.”

Hal senada diungkapkan PETRONAS, yang mengusulkan sistem kontrak jangka panjang (hingga 35 tahun) untuk memastikan keekonomian proyek di wilayah frontier atau laut dalam.

Yuzaini Md Yusof (PETRONAS) menekankan pentingnya “flexible terms and profit-sharing incentives”, terutama untuk proyek yang berisiko tinggi namun potensial, seperti eksplorasi gas di perairan dalam Andaman dan Seram.

Meski dunia bergerak ke arah transisi energi, realitas kebutuhan energi nasional membuat gas tetap memegang peran penting dalam bauran energi Indonesia. Proyek CCUS BP senilai USD 7 miliar di Tangguh merupakan langkah strategis dalam menjembatani kebutuhan energi dan target Net Zero Emission (NZE) 2060.

Murray Auchincloss (CEO BP) bahkan menyebut proyek tersebut sebagai “terobosan teknologi hijau yang akan mengubah wajah industri migas Indonesia.”

Tak kalah penting, PGN dan Pertamina Hulu Energi memperkuat kolaborasi dengan menandatangani sejumlah kesepakatan pasokan gas, termasuk dengan ExxonMobil dalam proyek Carbon Capture and Storage (CCS).

Secara prospektif, posisi Indonesia saat ini sangat menguntungkan: memiliki potensi cadangan besar, permintaan domestik yang terus tumbuh, dan posisi geopolitik yang strategis di jalur energi Asia-Pasifik.

Namun kesiapan infrastruktur, kecepatan birokrasi, dan konsistensi regulasi masih menjadi variabel penentu. Jika Indonesia berhasil menyederhanakan birokrasi dan memperkuat insentif fiskal, maka tak hanya akan menarik investasi eksplorasi, tetapi juga dapat menjadi pusat produksi dan ekspor LNG regional.

Dengan semangat reformasi regulasi dan investasi teknologi hijau, Indonesia berpeluang besar merebut posisi penting dalam lanskap energi global. 

Namun, peluang itu hanya akan menjadi kenyataan jika didukung oleh kebijakan yang progresif, kepastian kontrak, dan kemitraan strategis lintas sektor. Seperti dikatakan Roberto Daniele (ENI), “Indonesia berada di urutan teratas dalam peta eksplorasi kami – kini tinggal bagaimana pemerintah menjaga momentum ini agar berkelanjutan.”