![]() |
Donald Trump membantah keras tuduhan pernah ditolak masuk Harvard. Ia menegaskan tidak pernah mendaftar dan mengkritik jurnalis yang menyebarkan isu tersebut. (Foto: REUTERS/Nathan Howard) |
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membantah keras tudingan bahwa dirinya pernah ditolak masuk Universitas Harvard. Ia menegaskan bahwa kabar tersebut tidak benar dan menyatakan secara eksplisit bahwa dirinya tidak pernah mendaftar ke universitas bergengsi tersebut.
Pernyataan itu disampaikan Trump melalui unggahan di platform Truth Social pada 2 Juni 2025, sebagai tanggapan terhadap klaim kontroversial yang dilontarkan oleh jurnalis Michael Wolff.
Dalam unggahannya, Trump menulis bahwa tuduhan tersebut adalah "benar-benar SALAH", sambil menekankan bahwa dirinya merupakan lulusan Wharton School of Finance, University of Pennsylvania.
“Saya tidak pernah mendaftar ke Harvard,” tulis Trump, dikutip dari Newsweek. Ia juga mengecam Wolff, menyebutnya sebagai “reporter kelas tiga” yang menyebarkan cerita bohong karena bukunya tentang Trump gagal di pasaran.
“Dia kesal karena bukunya tentang saya benar-benar gagal total. Tidak ada yang membelinya karena reputasinya sangat buruk!” tambah Trump.
Klaim soal penolakan Harvard pertama kali mencuat dalam podcast The Daily Beast, di mana Michael Wolff menyebut bahwa permusuhan Trump terhadap Harvard berasal dari dendam pribadi karena ia tidak diterima masuk ke kampus tersebut.
Joanna Coles, pembawa acara podcast, menyoroti bahwa banyak tokoh di lingkaran dekat Trump merupakan lulusan universitas Ivy League, seperti JD Vance dari Yale. Wolff juga menambahkan bahwa Trump dikenal menyimpan dendam terhadap lembaga-lembaga elit seperti Harvard.
Namun hingga kini, tidak ditemukan bukti resmi bahwa Trump pernah mendaftar atau ditolak oleh Harvard. Catatan pendidikannya menunjukkan bahwa ia sempat menempuh studi di Fordham University, sebelum akhirnya pindah dan lulus dari Wharton School di University of Pennsylvania. Tidak ada arsip atau dokumen yang menunjukkan pernah adanya aplikasi ke Harvard.
Meski rumor soal Harvard kembali mencuat, tindakan Trump terhadap universitas tersebut tampaknya lebih berkaitan dengan isu kebijakan dan keamanan kampus.
Trump sempat mengancam mencabut pendanaan federal, status bebas pajak, hingga melarang penerimaan mahasiswa internasional karena menilai kampus tersebut mendukung gerakan yang ia anggap antisemit.
Dalam pernyataannya pada April 2025, Trump menyebut Harvard “mengajarkan kebencian dan kebodohan”, dan mengancam akan menghentikan dana federal sebesar $2 miliar, seperti dilaporkan BBC. Ia juga menyoroti keberadaan kelompok pro-Palestina di kampus tersebut yang dianggap menciptakan suasana tidak aman.
Namun, kebijakan pembatasan mahasiswa asing tersebut dihentikan setelah pihak Harvard mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada Mei 2025, pengadilan mengeluarkan putusan sementara yang mengizinkan Harvard melanjutkan proses penerimaan mahasiswa internasional.
Presiden Harvard, Alan Garber, menyebut keputusan ini penting demi menjaga misi kampus dalam mendukung keberagaman dan kualitas pendidikan global.
Juru bicara Gedung Putih, Taylor Rodgers, turut memberikan klarifikasi dengan menyebut klaim Wolff sebagai “berita palsu” yang dibuat semata-mata untuk menarik perhatian publik.
“Presiden tidak perlu kuliah di Harvard untuk menjadi pengusaha sukses dan Presiden paling transformatif dalam sejarah Amerika,” ujar Rodgers.
Pernyataan ini memperkuat narasi bahwa sikap Trump terhadap Harvard dilandasi alasan kebijakan, bukan dendam pribadi sebagaimana yang disampaikan oleh Wolff.
Hingga 4 Juni 2025, tidak ada catatan resmi yang membuktikan bahwa Donald Trump pernah mengajukan lamaran ke Universitas Harvard. Klaim Michael Wolff tampaknya lebih bersifat spekulatif, terlebih mengingat rekam jejaknya sebagai penulis yang kerap menuai kontroversi.
Sementara itu, langkah-langkah yang diambil Trump terhadap Harvard tampak lebih sesuai jika dilihat dari perspektif politik dan kebijakan, terutama yang menyangkut isu antisemitisme dan pengelolaan lembaga pendidikan elit.
Perseteruan hukum antara pihak Trump dan Harvard menunjukkan bahwa konflik ini masih terus bergulir dan berpotensi membawa dampak besar terhadap arah kebijakan pendidikan tinggi di Amerika Serikat.
0Komentar