Menaker kritik sistem outsourcing yang dinilai sebabkan stagnasi karier dan upah minimum bagi pekerja senior. (Dok. Humas Kemenaker)

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli kembali menyoroti sejumlah persoalan dalam praktik alih daya (outsourcing), seperti ketidakpastian karier dan ketidaksesuaian upah. Ia menyampaikan bahwa praktik ini banyak menimbulkan keresahan, terutama bagi pekerja yang telah lama bekerja namun tidak memiliki kepastian jenjang karier.

“Kalau kita lihat, praktik outsourcing memang menyimpan berbagai masalah. Ada pekerja berusia 40 hingga 50 tahun yang masih berada dalam status outsourcing tanpa prospek karier yang jelas, dengan penghasilan yang stagnan di tingkat Upah Minimum Provinsi (UMP),” ujar Yassierli di Jakarta, Senin (5/5/2025).

Ia menambahkan bahwa meskipun kontrak mencantumkan UMP, realisasi di lapangan sering kali tidak mencerminkan hal tersebut. “Bahkan kontraknya UMP, tapi realitasnya (gaji) dibayarnya seperti apa—ini banyak kasus,” tambahnya.

advertisements
Ad
Merespon hal tersebut, Presiden Prabowo Subianto meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk mengkaji ulang sistem outsourcing. Saat ini, Kemenaker tengah menyusun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden. 

Meski demikian, Yassierli menyatakan bahwa proses penyusunan aturan ini masih berlangsung dan akan melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pengusaha, serikat pekerja, dan lembaga terkait lainnya.

“Saya belum bisa menjanjikan waktunya, karena kami ingin menyusun secara komprehensif. Pak Presiden juga ingin melihat usulan dari kami secara utuh,” jelasnya.

Menurut Yassierli, praktik outsourcing yang tidak diatur secara ketat berisiko mengalihkan pekerjaan inti (core business), menciptakan ketidakpastian kerja, menekan upah, mempermudah pemutusan hubungan kerja (PHK), melemahkan perlindungan jaminan sosial, dan menghambat pembentukan serikat pekerja. 

Ia menekankan bahwa kebijakan ketenagakerjaan harus selaras dengan konstitusi, terutama Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak warga negara atas pekerjaan yang layak dan perlakuan yang adil.

Sorotan terhadap sistem outsourcing kembali menguat setelah Presiden Prabowo menyampaikan komitmennya dalam peringatan Hari Buruh di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Dalam pidatonya, Presiden menyatakan keinginannya untuk membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang melibatkan perwakilan organisasi buruh.
“Saya akan meminta Dewan Kesejahteraan Nasional mempelajari bagaimana caranya, kalau bisa tidak segera, tapi secepat-cepatnya menghapus outsourcing,” kata Presiden Prabowo. 

Ia juga menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kesejahteraan buruh dan keberlanjutan investasi. 

“Kita harus juga realistis. Kita juga harus menjaga kepentingan para investor. Kalau mereka tidak investasi, tidak ada pabrik, kalian tidak bekerja. Jadi kita harus bekerja sama dengan mereka,” ujarnya.

Sebagai bentuk komitmen dialog sosial, Presiden juga berencana mempertemukan 150 perwakilan buruh dan 150 pemimpin perusahaan untuk membahas isu tersebut. Presiden menekankan bahwa pengusaha tetap dapat meraih keuntungan, namun tidak boleh mengabaikan kesejahteraan para pekerja.

Langkah pemerintah untuk mengkaji ulang praktik outsourcing patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan dan kepastian kerja di Indonesia. 

Dalam sistem ketenagakerjaan yang sehat, hubungan industrial harus dibangun atas dasar saling menghormati hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Praktik outsourcing yang tidak diawasi ketat berpotensi merugikan tenaga kerja dan menciptakan ketimpangan sosial. 

Namun, upaya reformasi ini juga harus mempertimbangkan dinamika dunia usaha agar tetap kompetitif dan berkelanjutan. Dengan pendekatan dialog dan kolaboratif, diharapkan solusi yang adil bagi semua pihak dapat segera terwujud.