![]() |
Indonesia kini menjadi sorotan dunia karena hilirisasi nikel yang ambisius. (Foto: duniatambang.co.id) |
Program hilirisasi nikel Indonesia yang dimulai sejak 2014 dengan pelarangan ekspor bijih mentah telah mengubah lanskap ekonomi nasional secara signifikan, menjadikan Indonesia pemimpin global dalam produksi nikel. Dengan mengutamakan pengolahan di dalam negeri, Indonesia kini memasok 65% kebutuhan nikel dunia, memanfaatkan 43% cadangan global yang dimilikinya, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Program ini telah mendorong lonjakan pendapatan sepuluh kali lipat, dari US$3,3 miliar pada 2017–2018 menjadi US$34 miliar pada 2024, sebagaimana disampaikan Menteri Bahlil Lahadalia di Human Capital Summit 2025.
Namun, kesuksesan ekonomi ini dibayangi oleh kerusakan lingkungan, tantangan sosial, dan tekanan geopolitik yang memunculkan pertanyaan penting mengenai keberlanjutan jangka panjang program ini.
Kebijakan hilirisasi yang mewajibkan pemurnian nikel menjadi produk bernilai tambah seperti baja tahan karat dan komponen baterai telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Menurut ASEAN Briefing, Indonesia diproyeksikan mengoperasikan lebih dari 30 smelter pada 2025, meningkat tajam dari hanya dua smelter pada 2014. Pembangunan infrastruktur ini menarik banyak investasi asing, khususnya dari Tiongkok, yang turut menggerakkan perekonomian daerah.
Provinsi Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 20,1% selama 2021–2023, sementara Sulawesi Tengah juga menikmati manfaat ekonomi yang besar, menurut laporan Natural Resource Governance Institute (NRGI) pada Januari 2025.
Pemerintah tidak hanya berfokus pada nikel, tapi juga membangun ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) yang terintegrasi. Pada Mei 2025, disetujui 18 proyek hilirisasi baru senilai US$45 miliar, termasuk kerja sama dengan CATL dari Tiongkok untuk memproduksi baterai yang mulai dibangun pada Juni 2025.
Inisiatif ini sejalan dengan visi Indonesia untuk menjadi pusat energi hijau dunia, di mana nikel menjadi mineral kunci dalam produksi baterai EV. Menteri Bahlil menekankan bahwa hilirisasi tidak hanya meningkatkan pendapatan, tapi juga menciptakan lapangan kerja, dengan pelatihan vokasional yang dipaparkan di Human Capital Summit 2025 guna menyiapkan tenaga kerja industri hijau.
Fokus pada 28 komoditas prioritas, termasuk nikel, menunjukkan peran strategis hilirisasi dalam pengentasan kemiskinan dan memperkuat ketahanan ekonomi.
Biaya Lingkungan dan Sosial
Di balik pencapaian ekonominya, program hilirisasi ini juga menuai kritik tajam karena dampak lingkungan dan sosialnya. Ekspansi cepat smelter dan tambang menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta masalah kesehatan di wilayah penghasil nikel.
Laporan Climate Rights International pada Januari 2024 mencatat kerusakan hutan dan penggusuran lahan di Halmahera, Maluku Utara, serta pelanggaran hak asasi manusia seperti pengusiran paksa.
Di Morowali, studi tahun 2024 menunjukkan bahwa 54% penduduk menderita gangguan pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut akibat emisi smelter.
Menteri Bahlil mengakui kekurangan ini dalam disertasinya Oktober 2024, menyebut bahwa perencanaan yang belum matang menyebabkan degradasi lingkungan dan penurunan kualitas hidup di daerah seperti Morowali dan Weda Bay.
Ketergantungan pada smelter berbahan bakar batu bara juga melemahkan ambisi energi hijau Indonesia, karena batu bara merusak citra keberlanjutan nikel untuk baterai EV.
Dari sisi sosial, masyarakat lokal kerap tidak merasakan manfaat langsung, karena banyak pekerjaan diisi oleh tenaga kerja asing, terutama dari Tiongkok, yang menimbulkan gesekan sosial.
Sebagai respons, pemerintah dan industri mulai mengambil langkah perbaikan. Perusahaan seperti Harita Nickel dan Vale Indonesia tengah mengupayakan sertifikasi dari Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebagai komitmen terhadap standar keberlanjutan global.
Pemerintah juga memperketat regulasi di kawasan industri seperti Weda Bay dan meningkatkan fasilitas di Morowali. Meski begitu, upaya ini masih bersifat awal dan sejumlah pihak menilai perlu perubahan sistemik agar dampak lingkungan dapat ditekan dan manfaat sosial lebih merata.
Tekanan Geopolitik dan Dinamika Perdagangan Global
Dominasi Indonesia dalam pasar nikel global tidak lepas dari tekanan geopolitik. Uni Eropa pada 2019 menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menyatakan bahwa larangan ekspor bijih mentah melanggar aturan perdagangan internasional.
Pada November 2022, panel WTO memutuskan mendukung UE karena menilai kebijakan tersebut melanggar General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Hingga Juni 2025, banding Indonesia masih berproses, memperpanjang ketidakpastian. Sementara itu, Amerika Serikat memberlakukan tarif tambahan atas produk nikel Indonesia, mencerminkan ketegangan dagang yang lebih luas.
Ketua Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdanakusumah, menyebut gugatan dan kampanye seperti label "nikel kotor" sebagai bagian dari perang dagang global untuk menekan dominasi Indonesia.
Guru besar hukum internasional UI, Hikmahanto Juwana, menggambarkan posisi Indonesia sebagai “medan pertempuran” dalam perebutan kendali atas mineral kritis, dengan negara besar seperti AS dan UE memberi tekanan agar Indonesia melonggarkan kebijakan hilirisasinya.
Dalam negosiasi tarif tahun 2024, misalnya, AS disebut meminta Indonesia menghentikan hilirisasi sebagai syarat penurunan tarif yang saat itu mencapai 32%.
Tekanan-tekanan ini menegaskan peran penting Indonesia dalam rantai pasok nikel dunia, terutama untuk baterai EV—sektor kunci dalam transisi energi hijau global.
Narasi “nikel kotor” di satu sisi dinilai sebagai upaya strategis untuk melemahkan daya saing Indonesia, namun juga mencerminkan kekhawatiran nyata atas keberlanjutan industri nikel nasional.
Prospek dan Strategi ke Depan
Ke depan, hilirisasi nikel Indonesia menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Pergeseran global menuju kendaraan listrik membuka peluang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok baterai, namun tren berkembang seperti penggunaan baterai lithium-iron-phosphate (LFP) yang tidak memerlukan nikel menjadi ancaman potensial, sebagaimana diungkap East Asia Forum pada Oktober 2023.
Untuk tetap kompetitif, Indonesia perlu memperluas hilirisasi ke mineral kritis lain dan berinvestasi pada teknologi yang lebih bersih agar sejalan dengan tuntutan keberlanjutan global.
Secara geopolitik, Indonesia harus memainkan peran diplomatik yang hati-hati. Sengketa di WTO dan tarif ekspor menandakan pentingnya strategi yang tepat agar kepentingan nasional terlindungi sekaligus menjaga akses ke pasar global.
Di dalam negeri, penanganan masalah lingkungan dan sosial menjadi kunci untuk menjaga dukungan publik dan keberlanjutan program ini. Inisiatif seperti sertifikasi IRMA dan pelatihan vokasional adalah langkah awal yang baik, tetapi masih dibutuhkan skala yang lebih besar dan kebijakan yang konsisten untuk memastikan keberhasilan jangka panjang.
Program hilirisasi nikel Indonesia merupakan strategi ekonomi yang ambisius dan telah memberikan manfaat besar secara finansial, menjadikan Indonesia sebagai kekuatan utama nikel dunia.
Namun, dampak lingkungan, tantangan sosial, dan tekanan geopolitik yang menyertainya menunjukkan perlunya penyesuaian arah kebijakan. Dengan memperkuat regulasi, menerapkan praktik berkelanjutan, dan mendiversifikasi fokus industri, Indonesia dapat meredam kritik dan mengukuhkan perannya dalam ekonomi hijau global.
Tantangannya adalah menyeimbangkan ambisi ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan dan strategi geopolitik—sebuah ujian penting yang akan menentukan masa depan Indonesia di panggung dunia.
0Komentar