Kapal induk China Liaoning memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang di dekat Pulau Iwo Jima untuk pertama kalinya, memicu kekhawatiran Tokyo. China menyebut operasi ini sah secara hukum internasional. (news.kbs.co.kr)


Kawasan timur Jepang dikejutkan oleh manuver strategis Angkatan Laut China pada awal Juni 2025. Kapal induk Liaoning, didampingi dua kapal perusak rudal dan satu kapal pendukung, berlayar melalui perairan internasional di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang, tepatnya di dekat Pulau Minamitorishima, sekitar 300 kilometer dari titik terluar timur wilayah Jepang.

Ini menandai pertama kalinya kapal induk China beroperasi di wilayah tersebut, menandai eskalasi baru dalam strategi proyeksi kekuatan maritim Beijing di kawasan Indo-Pasifik.

Keberadaan Liaoning di wilayah ZEE Jepang bukan sekadar latihan rutin. Pada 8 Juni 2025, pesawat tempur dan helikopter dilaporkan melakukan latihan lepas landas dan pendaratan dari dek kapal tersebut, mempertegas kesiapan operasional dan fleksibilitas unit angkatan laut China di perairan terbuka jauh dari daratan utama mereka. 

Fakta bahwa operasi ini terjadi di dalam ZEE Jepang memperkuat persepsi bahwa China sedang menguji batas-batas hukum laut internasional sekaligus mengirim sinyal strategis kepada negara-negara tetangganya.

Secara geografis dan geopolitik, wilayah sekitar Minamitorishima merupakan salah satu titik terluar Jepang yang memiliki nilai strategis tinggi. 

Selain sebagai bagian dari rantai pulau kedua—konsep geostrategis penting dalam strategi maritim regional—wilayah ini juga dikenal memiliki cadangan mineral tanah jarang seperti mangan yang menjadi incaran banyak negara.

Pemerintah Jepang merespons peristiwa ini dengan kombinasi diplomasi hati-hati dan langkah-langkah pengawasan militer yang konkrit. Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi menegaskan bahwa Jepang telah mengintensifkan upaya pengumpulan informasi dan pengawasan maritim terhadap aktivitas kapal-kapal China. 

Kapal perusak JS Haguro, yang berbasis di Sasebo, ditugaskan untuk memantau langsung pergerakan Liaoning dan kapal pengiringnya. Pernyataan resmi dari Tokyo menyebutkan bahwa pesan diplomatik telah disampaikan ke Beijing, meskipun isinya tidak diungkapkan. 

Pendekatan ini mencerminkan upaya Jepang untuk menjaga stabilitas regional tanpa memprovokasi eskalasi langsung, namun tetap menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam terhadap aktivitas militer asing di wilayah ZEE mereka.

Sebaliknya, China melalui Kementerian Luar Negeri-nya menegaskan bahwa operasi Liaoning sepenuhnya sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). 

Juru bicara Lin Jian menyatakan bahwa China berkomitmen terhadap kebijakan pertahanan nasional yang bersifat defensif dan menyerukan agar Jepang tidak melebih-lebihkan situasi atau melihatnya secara emosional.

Retorika semacam ini sudah menjadi pola dalam setiap respons China terhadap kekhawatiran dari negara-negara tetangga. Dalam pandangan Beijing, keberadaan Liaoning di ZEE Jepang tetap sah selama kapal tidak memasuki wilayah laut teritorial Jepang sejauh 12 mil laut dari garis pantai.

Manuver Liaoning ke arah timur Iwo Jima memiliki arti strategis yang melampaui sekadar pelayaran. Ini merupakan bukti nyata bahwa kemampuan proyeksi kekuatan Angkatan Laut China kini melampaui rantai pulau pertama (first island chain) dan mulai menyentuh rantai kedua, yang mencakup wilayah vital seperti Kepulauan Ogasawara dan Guam.

Kehadiran Liaoning juga terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran akan ambisi maritim Beijing yang semakin luas, terutama di sekitar wilayah yang disengketakan seperti Kepulauan Senkaku/Diaoyu. 

Sebelumnya, pada Mei 2025, kapal induk yang sama dilaporkan beroperasi dekat dengan wilayah tersebut, memperkuat dugaan bahwa Beijing tengah menyusun pola keterlibatan maritim yang sistematis dan progresif di perairan strategis Asia Timur.

Meskipun belum ada pernyataan resmi dari Komando Indo-Pasifik Amerika Serikat mengenai pelayaran Liaoning, Washington tidak absen dari dinamika kawasan. 

Dua kapal induk AS, USS Nimitz dan USS George Washington, diketahui aktif di Laut China Selatan dan Samudra Pasifik Barat dalam periode yang hampir bersamaan.

Keberadaan kapal-kapal tersebut bukan hanya menunjukkan kesiapsiagaan militer, melainkan juga menjadi simbol komitmen Washington terhadap sekutu-sekutunya, terutama Jepang, dalam menghadapi tekanan regional dari China. 

AS, yang secara historis memandang kebebasan navigasi di kawasan ini sebagai kepentingan vital, kemungkinan besar akan terus memantau dan mempertimbangkan respons strategis apabila Beijing memperluas operasi serupa di masa mendatang.

Apa yang dilakukan oleh China melalui Liaoning merupakan bagian dari tren yang lebih besar dalam reposisi kekuatan global. Beijing tampaknya semakin percaya diri memanfaatkan kekuatan maritimnya untuk menantang status quo regional, meskipun tetap berhati-hati agar tidak melewati batas-batas yang dapat memicu konflik terbuka.

Bagi Jepang, tantangannya kini adalah menjaga keseimbangan antara menunjukkan ketegasan dan menghindari konfrontasi langsung. 

Sementara itu, Amerika Serikat dan negara-negara sekutu lainnya di kawasan dihadapkan pada tugas untuk memperkuat kerja sama keamanan maritim sekaligus meredam potensi eskalasi yang tidak diinginkan.

Insiden Liaoning di dekat Iwo Jima mencerminkan babak baru dalam dinamika keamanan maritim Asia Timur. Di tengah pertarungan geopolitik yang kian kompleks, setiap manuver militer di laut terbuka membawa dampak diplomatik dan strategis yang luas. 

Jepang, China, dan Amerika Serikat kini berada dalam satu kontinum yang tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga kecermatan diplomasi dan kejelian dalam membaca pesan yang disampaikan melalui kapal perang yang melintasi cakrawala.