![]() |
KLH ungkap 60% sampah Indonesia belum terkelola, 12 juta ton masuk laut tiap tahun. Indonesia terancam krisis lingkungan besar. (Marco Verch/ CC by 2.0) |
Masalah sampah kini menjadi isu krusial dalam krisis lingkungan global yang dikenal sebagai triple planetary crisis, yang meliputi perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, serta meningkatnya polusi dan limbah. Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, menyampaikan bahwa saat ini sekitar 38% sampah di tingkat global belum terkelola secara memadai.
Kondisi ini memperparah ketiga krisis tersebut dan menimbulkan risiko jangka panjang terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan aktivitas ekonomi yang dinamis, menyumbang sekitar 56,63 juta ton timbulan sampah setiap tahunnya. Sayangnya, lebih dari 60% dari jumlah tersebut tidak dikelola dengan baik.
Sampah-sampah ini sebagian besar berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA) yang masih menerapkan sistem open dumping, terbakar di ruang terbuka (open burning), atau bahkan mencemari badan air seperti sungai, danau, dan laut.
Dari total timbulan sampah tahunan tersebut, sekitar 12,37 juta ton masih dikirim ke TPA tanpa pengolahan yang optimal, sedangkan 22,7 juta ton lainnya terbuang langsung ke lingkungan. Data ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia belum mencapai titik yang efektif dalam menanggulangi krisis lingkungan.
Dalam forum 'Sustainability Recognition Forum 2025' yang diadakan oleh Endress+Hauser Indonesia, Rosa menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam mempercepat transisi menuju sistem ekonomi sirkular.
Menurutnya, ekonomi sirkular merupakan pendekatan yang mampu menjaga nilai produk, material, dan sumber daya selama mungkin dalam siklus ekonomi, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap ekstraksi sumber daya alam baru dan menekan volume limbah yang dihasilkan.
“Ini bukan hanya soal manajemen sampah, tapi perubahan paradigma. Kita harus beralih dari sistem ekonomi linier—yang didasarkan pada produksi, konsumsi, dan pembuangan—menuju ekonomi sirkular yang menekankan pada pengurangan limbah, penggunaan ulang, daur ulang, dan inovasi dalam desain produk,” ujarnya.
Pilihan Editor:
Arah Solusi
Transformasi menuju ekonomi sirkular bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak. Di tengah ancaman perubahan iklim dan pencemaran yang semakin mengkhawatirkan, pendekatan tradisional dalam pengelolaan sampah tidak lagi memadai.
Pemerintah daerah perlu diberdayakan dan didorong untuk mengadopsi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Di sisi lain, edukasi masyarakat tentang pentingnya memilah dan mengurangi sampah dari sumbernya juga harus menjadi prioritas.
Selain itu, pelaku industri harus berkomitmen untuk merancang produk yang dapat didaur ulang dan mengurangi ketergantungan pada bahan baku baru. Peraturan yang mendorong produsen bertanggung jawab atas limbah produknya (extended producer responsibility) perlu ditegakkan secara konsisten.
Ke depan, harapannya adalah lahirnya ekosistem sirkular yang solid—dimana sektor publik, swasta, komunitas, dan individu terlibat aktif dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Dengan begitu, Indonesia tidak hanya akan mampu mengatasi persoalan sampah dalam negeri, tetapi juga turut berkontribusi pada penyelamatan bumi secara global.
0Komentar