![]() |
Pusat bantuan kemanusiaan di Gaza diduga berubah menjadi perangkap kematian massal. Laporan menyebut lebih dari 100 warga tewas dan ratusan luka saat antre bantuan. (Foto: REUTERS) |
Tuduhan serius terhadap Israel kembali menggema dari Jalur Gaza. Pemerintah Media Gaza (GMO) menuding bahwa pusat-pusat distribusi bantuan kemanusiaan yang didirikan atas kerja sama Israel dan Amerika Serikat telah berubah menjadi "perangkap maut massal" bagi warga sipil Palestina. Dalam delapan hari terakhir saja, lebih dari 100 orang tewas dan hampir 500 lainnya terluka saat mencoba mengakses bantuan pangan dan medis yang sangat dibutuhkan.
Tuduhan ini menimbulkan gelombang kecaman internasional, memperdalam krisis kemanusiaan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan, serta membuka kembali diskusi hukum tentang potensi pelanggaran terhadap Konvensi Genosida 1948 dan hukum humaniter internasional.
Menurut GMO, pusat-pusat bantuan yang didirikan sejak 27 Mei 2025 di Rafah dan Wadi Gaza, bukanlah zona aman sebagaimana dideklarasikan, melainkan area militer yang berbahaya dan mematikan.
Dikelola oleh pasukan Israel dan perusahaan keamanan asal AS, fasilitas ini diklaim beroperasi tanpa pengawasan independen dari badan-badan kemanusiaan.
Dua insiden besar yang terjadi di dekat Rafah menyoroti eskalasi ini. Pada 1 Juni 2025, dilaporkan 31 warga sipil tewas dan lebih dari 100 lainnya terluka ketika pasukan Israel diduga menembaki antrean warga yang menunggu bantuan.
Beberapa hari sebelumnya, 27 orang terbunuh dalam peristiwa serupa. Laporan medis dari Rumah Sakit Nasser dan organisasi kesehatan internasional menyebutkan luka tembak dan pecahan peluru sebagai penyebab utama korban.
Israel menolak tuduhan tersebut. Melalui pernyataan resminya, militer Israel menyatakan tidak mengetahui adanya korban sipil akibat aksi mereka dan menyebut laporan tersebut sebagai "tidak benar." Yayasan Kemanusiaan Gaza, salah satu entitas yang terlibat dalam distribusi bantuan, bahkan menyebut klaim itu sebagai "rekayasa."
Penolakan terhadap model distribusi bantuan ini tidak hanya datang dari aktor lokal. Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti UNICEF, UNRWA, dan WHO mengecam skema bantuan tersebut yang mereka nilai melanggar prinsip kemanusiaan.
UNICEF menggambarkan kondisi saat ini sebagai "pilihan mustahil antara pengungsian atau kematian," dengan tudingan bahwa bantuan digunakan sebagai umpan yang mengancam keselamatan warga sipil.
Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, juga mengkritik keras penggunaan teknologi pengenalan wajah dan jalur-jalur distribusi yang memaksa warga berjalan jauh ke wilayah yang telah hancur akibat bombardir.
Sementara itu, lebih dari 3.000 truk bantuan dilaporkan tertahan di luar Gaza, memperparah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
GMO dan faksi-faksi politik di Gaza, termasuk Hamas, mengklaim bahwa penggunaan bantuan sebagai alat pemusnahan dapat dikategorikan sebagai genosida.
Merujuk pada Pasal 2 Konvensi Genosida 1948, mereka menyatakan bahwa tindakan seperti kelaparan yang disengaja, pembunuhan massal, dan pemindahan paksa memenuhi kriteria kejahatan paling berat dalam hukum internasional.
Tudingan ini diperkuat oleh fakta lapangan berupa penutupan dapur komunitas, peningkatan kelaparan anak-anak, dan wabah penyakit karena terhambatnya suplai vaksin dan obat-obatan sejak pengetatan blokade pasca 18 Maret 2025.
Kondisi kemanusiaan di Gaza telah mencapai titik kritis. Data dari klasifikasi ketahanan pangan IPC menyebutkan bahwa lebih dari 70.000 anak-anak berusia di bawah lima tahun menghadapi risiko kelaparan akut. Wabah penyakit seperti diare dan meningitis menyebar cepat akibat ketiadaan akses terhadap layanan kesehatan dasar dan vaksinasi.
Selama masa jeda tembak-menembak antara Januari dan Maret 2025, laporan PBB menunjukkan peningkatan drastis dalam distribusi bantuan dan penurunan angka kekurangan gizi.
Hal ini menjadi bukti bahwa kelaparan di Gaza bukanlah konsekuensi alami konflik, tetapi dampak dari kebijakan blokade dan pembatasan bantuan.
Tanggal | Lokasi | Korban (Tewas/Luka) | Deskripsi Kejadian | Respons |
---|---|---|---|---|
1 Juni 2025 | Rafah, Gaza Selatan | 31 / >100 | Tank Israel diduga menembaki antrean warga di pusat bantuan | IDF membantah, menyebut laporan "palsu"; Lembaga bantuan menepis tuduhan |
Tidak disebutkan | Rafah | 27 / >90 | Penembakan massal terhadap warga yang menunggu bantuan kemanusiaan | GMO mengecam, menuduh Israel dan AS sebagai pihak bertanggung jawab |
Sejak 27 Mei 2025 | Rafah & Wadi Gaza | 102 / 490 | Serangkaian serangan terhadap pusat distribusi bantuan | GMO menyerukan intervensi PBB, menyebut pola sistematis pembantaian |
Kondisi di Gaza mencerminkan krisis kemanusiaan yang dipenuhi oleh tuduhan kejahatan perang, konflik narasi, dan ketegangan geopolitik. Ketika bantuan—seharusnya simbol harapan dan penyelamatan—menjadi sumber ketakutan dan kematian, maka sistem internasional dihadapkan pada tantangan moral dan hukum yang mendesak.
Panggilan untuk intervensi internasional dan pencabutan blokade semakin menguat, dengan PBB dan organisasi kemanusiaan mendesak distribusi bantuan melalui jalur netral dan aman.
Di tengah kabut propaganda dan kekerasan, nyawa warga sipil tetap menjadi taruhan utama, menunggu keadilan dan kepedulian nyata dari komunitas global.
0Komentar