![]() |
Yen Jepang memimpin penguatan mata uang Asia saat pasar menanti hasil pertemuan dagang AS–Tiongkok di London. Dolar AS melemah, rupiah tetap stabil. (Foto: iStockphoto/Biscut) |
Pasar keuangan Asia menunjukkan dinamika yang menarik pada Senin, 9 Juni 2025, ditandai dengan pergerakan mata uang yang bervariasi di tengah libur Hari Raya Idul Adha di Indonesia dan antisipasi global terhadap pertemuan dagang penting antara Tiongkok dan Amerika Serikat di London.
Yen Jepang memimpin penguatan mata uang di kawasan dengan kenaikan 0,42 persen, mencerminkan daya tahan terhadap pelemahan indeks dolar AS, yang turun 0,3 persen ke level 98,90.
Di sisi lain, peso Filipina menjadi yang terlemah, merosot 0,25 persen, diikuti oleh ringgit Malaysia dan baht Thailand yang masing-masing melemah 0,14 persen dan 0,13 persen.
Pergerakan ini mencerminkan sentimen pasar yang dipengaruhi oleh ketidakpastian perdagangan global dan data ekonomi terbaru, terutama dari Tiongkok, yang menunjukkan tekanan deflasi yang berkepanjangan.
Meskipun pasar spot domestik Indonesia tutup untuk libur Idul Adha, aktivitas di pasar forward offshore menunjukkan ketahanan rupiah, yang sedikit menguat ke kisaran Rp16.310 per dolar AS.
Stabilitas ini menarik perhatian pelaku pasar, terutama di tengah volatilitas mata uang Asia lainnya seperti dolar Singapura, yang naik 0,31 persen, dan yuan Tiongkok, yang menguat tipis 0,10 persen.
Pergerakan rupiah ini juga sejalan dengan prediksi nilai tukar USD/IDR yang menunjukkan stabilitas relatif di kisaran Rp16.200 hingga Rp16.300, didukung oleh pelemahan dolar AS secara global.
Faktor ini memberikan gambaran bahwa meskipun pasar domestik tidak aktif, permintaan terhadap rupiah di pasar internasional tetap terjaga, kemungkinan didorong oleh kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Fokus pasar pada hari ini tidak hanya tertuju pada pergerakan mata uang, tetapi juga pada perkembangan pertemuan dagang di London antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Pertemuan ini menjadi lanjutan dari pembicaraan telepon antara Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump pada pekan sebelumnya, dengan agenda utama mencakup isu-isu sensitif seperti komoditas tanah jarang dan teknologi canggih.
Ketegangan perdagangan yang kembali memanas antara kedua negara ini menciptakan ketidakpastian, yang tercermin dalam pergerakan mata uang seperti yuan Tiongkok dan ringgit Malaysia.
Pasar tampaknya berada dalam mode wait-and-see, menantikan sinyal apakah negosiasi ini akan meredakan ketegangan atau justru memperdalam ketidakpastian perdagangan global.
Data ekonomi terbaru dari Tiongkok turut mewarnai dinamika pasar. Biro Pusat Statistik Tiongkok melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat deflasi sebesar 0,1 persen pada Mei 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, menandai bulan keempat berturut-turut deflasi.
Kondisi ini mencerminkan dampak perang tarif yang berkepanjangan, yang gagal diimbangi oleh dua hari libur nasional di Tiongkok yang diharapkan dapat menggenjot konsumsi masyarakat. Deflasi ini tidak hanya memengaruhi nilai tukar yuan, tetapi juga berdampak pada pasar obligasi.
Thu Ha Chow, analis dari Robeco Group, dalam wawancara di Bloomberg TV menyoroti bahwa deflasi Tiongkok membuat obligasi panda—obligasi berdenominasi yuan—kehilangan daya tarik karena selisih imbal hasil dengan US Treasury yang semakin lebar.
Sebaliknya, kondisi ini justru membuka peluang bagi obligasi pemerintah dari pasar berkembang seperti Indonesia dan Thailand, yang dinilai lebih menarik bagi investor yang mencari imbal hasil stabil di tengah ketidakpastian global.
Rekomendasi untuk membeli obligasi pemerintah Indonesia dan Thailand mencerminkan pandangan optimistis terhadap stabilitas ekonomi di kedua negara ini. Indonesia, dengan fundamental ekonomi yang relatif kuat dan kebijakan moneter yang hati-hati, menjadi salah satu destinasi investasi yang menonjol.
Obligasi Thailand juga mendapat sorotan karena ketahanan ekonominya terhadap guncangan eksternal. Pilihan ini menjadi semakin relevan di tengah dinamika perdagangan global yang tidak menentu, di mana investor mencari aset yang menawarkan keseimbangan antara risiko dan imbal hasil.
Pergerakan mata uang dan obligasi ini menunjukkan bahwa pasar Asia tetap menjadi pusat perhatian investor global, terutama di tengah pelemahan dolar AS dan ketegangan perdagangan yang terus berlangsung.
Secara keseluruhan, pergerakan pasar keuangan Asia pada 9 Juni 2025 mencerminkan keseimbangan antara peluang dan tantangan. Penguatan yen dan dolar Singapura menunjukkan adanya permintaan terhadap mata uang safe-haven, sementara pelemahan peso Filipina dan ringgit Malaysia mencerminkan kerentanan terhadap faktor eksternal seperti perdagangan dan data ekonomi domestik.
Rupiah, meskipun tidak aktif di pasar domestik, menunjukkan ketahanan di pasar offshore, memberikan sinyal positif bagi investor. Sementara itu, pertemuan dagang di London dan deflasi di Tiongkok menjadi pengingat bahwa dinamika global tetap menjadi pendorong utama sentimen pasar.
Bagi investor, fokus pada aset seperti obligasi Indonesia dan Thailand dapat menjadi strategi yang bijaksana untuk menavigasi ketidakpastian, sembari memanfaatkan peluang yang muncul dari pergeseran ekonomi global.
0Komentar