Rusia menawarkan suaka politik kepada Elon Musk di tengah perseteruannya dengan Donald Trump.  (Foto: AFP).                                 

Rusia membuat gebrakan mengejutkan di awal Juni 2025 dengan menawarkan suaka politik kepada Elon Musk, pendiri Tesla dan SpaceX. Tawaran ini muncul di tengah memanasnya hubungan antara Musk dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan langsung menjadi sorotan pasar global dan analis politik internasional.

Ketegangan ini bermula ketika Stephen Bannon, mantan penasihat strategis Trump, menyerukan agar pemerintah AS “mendeportasi” Musk dan menyita aset SpaceX. 

Bannon bahkan menyebut Musk sebagai "imigran ilegal", sebuah klaim yang secara hukum tidak berdasar mengingat status kewarganegaraan Musk telah sah sejak 2002. Namun, tudingan ini cukup untuk memicu reaksi dari sejumlah pihak, termasuk dari Rusia.

Beberapa pejabat tinggi Rusia kemudian memanfaatkan momen tersebut untuk mengeluarkan pernyataan yang menawarkan suaka politik kepada Musk. 

Dmitry Rogozin, mantan Kepala Roscosmos, mengunggah ajakan kepada Musk untuk “melarikan diri” ke Rusia dan bergabung dengan unit militer “Bars-Sarmat”. 

Sementara itu, Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, menyatakan kesiapan menjadi mediator antara Musk dan Trump, namun dengan syarat sarkastik: sebagian saham Starlink sebagai “biaya perdamaian”. 

Kremlin sendiri bersikap hati-hati, menyebut pernyataan para pejabat tersebut sebagai opini pribadi, bukan posisi resmi pemerintah.

Manuver ini langsung mengundang spekulasi. Sejumlah analis menilai bahwa langkah Rusia tidak dimaksudkan secara serius, melainkan bagian dari permainan narasi untuk mengejek konflik internal Amerika Serikat. 

Situasi ini mengingatkan pada kasus Edward Snowden, di mana Rusia menggunakan status buronan AS sebagai alat tekanan diplomatik dan propaganda terhadap Barat.

Dampaknya langsung terasa di pasar. Saham Tesla (TSLA) dilaporkan turun 1,5% pada sesi perdagangan harian setelah kabar ini mencuat, menurut Bloomberg. 

Investor menilai meningkatnya ketegangan politik ini berpotensi mengganggu kelangsungan kontrak SpaceX dengan pemerintah AS, termasuk proyek misi bulan senilai USD 2,9 miliar bersama NASA. 

Di sisi lain, proyek Starlink—yang memiliki kontribusi besar dalam mendukung jaringan komunikasi di Ukraina—berpotensi terseret dalam tarik-ulur geopolitik, mengingat keterlibatan Rusia dalam konflik yang masih berlangsung.

Sejumlah pengamat juga menilai langkah Rusia ini sebagai ujian terhadap kesatuan politik dalam negeri AS. Dalam laporan yang dirilis Center for Strategic and International Studies (CSIS), disebutkan bahwa Moskow kerap menggunakan momen-momen krisis politik di Barat untuk menguji respons Washington. 

Jika ketegangan ini terus berkembang, bukan tidak mungkin sanksi baru atau pembatasan akses terhadap aset teknologi AS di luar negeri akan diberlakukan. Hal ini juga membuka ruang bagi negara lain untuk ikut dalam narasi yang dikembangkan Rusia, terutama yang memiliki hubungan kurang harmonis dengan Amerika.

Hingga artikel ini dirilis, Elon Musk belum memberikan tanggapan publik terkait tawaran suaka tersebut. Namun, para ahli percaya ia tidak akan menanggapinya secara serius. Anders Åslund dari Atlantic Council mengatakan bahwa ini murni permainan simbolik Rusia. 

“Musk tak akan pergi ke Rusia, tapi manuver ini berhasil mengalihkan perhatian dunia dari isu-isu lain seperti sanksi ekonomi atau kekalahan Rusia di Ukraina,” ujarnya.

Dengan eskalasi konflik antara Musk dan Trump yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, dan Rusia yang terus memainkan narasi global, dampak jangka panjang dari drama ini masih belum bisa diprediksi. 

Namun satu hal yang jelas, dalam dunia yang semakin terhubung antara politik, teknologi, dan pasar, kisruh ini adalah pengingat bahwa konflik pribadi pun bisa memiliki resonansi geopolitik dan ekonomi global yang luas.