Kementerian ESDM menyebut tambang nikel di Pulau Gag tidak bermasalah, sementara KLHK akan meninjau ulang izin lingkungan karena berada di pulau kecil dan dekat ekosistem sensitif Raja Ampat. (Foto: Ist)

Raja Ampat, kawasan kepulauan di Papua Barat Daya yang dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati laut dunia, kini berada dalam sorotan akibat polemik tambang nikel di sejumlah pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele. Kawasan ini tidak hanya menjadi rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang global dan lebih dari 1.400 jenis ikan, tetapi juga merupakan bagian dari UNESCO Global Geopark yang menyokong perekonomian lokal melalui sektor ekowisata. 

Namun, potensi cadangan nikel yang tinggi memicu masuknya investasi tambang, menghadapkan nilai ekologis pada tekanan industri.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan perbedaan pendekatan dalam menyikapi situasi ini. 

ESDM, dalam kunjungan lapangan yang dilakukan Menteri Bahlil Lahadalia pada 7 Juni 2025, menyatakan bahwa operasional PT Gag Nikel (PT GN) di Pulau Gag secara teknis telah sesuai dengan standar. 

Tidak ditemukan sedimentasi pesisir, dan perusahaan telah mereklamasi 135,45 hektare dari total 187,87 hektare yang digunakan hingga April 2025. Bahkan, nelayan setempat menyebut bahwa mereka menerima dukungan ekonomi dari perusahaan dan tidak merasakan penurunan hasil tangkapan.

Meski demikian, ESDM tetap mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara operasi PT GN sejak 5 Juni 2025, sambil menunggu hasil evaluasi tim Inspektur Tambang atas seluruh izin pertambangan di Raja Ampat. Keputusan ini diambil sebagai langkah kehati-hatian, mengingat sensitivitas wilayah yang bersangkutan.

Di sisi lain, KLHK menyoroti aspek legal dan ekologis dari kegiatan tambang tersebut. Meskipun mengakui bahwa PT GN memiliki izin formal dan mengikuti kaidah teknis, KLHK menilai keberadaan tambang di pulau kecil tetap bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yang melarang pertambangan terbuka di pulau kecil dan pesisir. 

KLHK juga tengah meninjau ulang dokumen AMDAL PT GN dan tidak menutup kemungkinan akan mencabut izin lingkungannya. Mereka juga menyoroti pelanggaran serius oleh beberapa perusahaan lain, seperti PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) yang menyebabkan keruhnya laut akibat kolam endap limbah yang bocor, serta PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) yang menambang di luar batas izin hingga menyebabkan sedimentasi.

KLHK telah menyegel beberapa lokasi, menghentikan penerbitan izin baru, dan menyatakan bahwa kegiatan tambang telah merusak hutan, mengancam habitat pari manta dan burung cenderawasih, serta merugikan ekowisata. 

PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), yang tidak memiliki dokumen lingkungan memadai, juga telah dihentikan aktivitasnya, meski dampaknya dinilai masih minimal karena baru tahap eksplorasi.

Secara hukum, situasi ini berada di titik tarik-menarik antara regulasi konservasi dan kepentingan industri. PT GN beroperasi berdasarkan kontrak karya tahun 1998 yang masih berlaku dan terdaftar dalam sistem MODI (Mineral One Data Indonesia), mencakup 13.136 hektare dengan IPPKH seluas 603,25 hektare. 

Sementara itu, Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 memberikan pengecualian bagi beberapa perusahaan—termasuk PT GN—untuk menambang di kawasan hutan produksi hingga kontraknya berakhir. 

Namun, keberadaan tambang-tambang tersebut bertentangan dengan semangat perlindungan pulau kecil sebagaimana diatur dalam UU No. 1/2014.

Dampak ekologis dari kegiatan tambang cukup mencolok. Deforestasi telah mencapai lebih dari 500 hektare di sejumlah pulau, yang menyebabkan limpasan tanah dan pencemaran laut. 

Di Manuran, PT ASP mencemari laut dengan air limbah dari kolam endapan yang bocor, sementara PT KSM menambang tanpa izin di zona pesisir, berdampak langsung pada habitat laut yang vital. Satwa endemik seperti burung Wilson’s bird-of-paradise dan spesies laut seperti pari manta di Selat Dampier menghadapi ancaman kehilangan habitat.

Secara ekonomi, keberadaan tambang membawa dilema. Di satu sisi, perusahaan tambang memberikan lapangan kerja dan bantuan sosial kepada masyarakat sekitar. Di sisi lain, sektor ekowisata yang lebih berkelanjutan berisiko terganggu. 

Pada tahun 2020, pendapatan asli daerah dari sektor wisata alam dan bahari mencapai Rp 7,005 miliar, menyumbang sekitar 15% terhadap perekonomian daerah. Kehadiran wisatawan mendukung homestay, pemandu wisata, pajak kapal, dan retribusi kawasan konservasi.

Konflik ini memicu reaksi keras dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan organisasi lingkungan. Pada 3 Juni 2025, aksi protes bertajuk “Save Raja Ampat” digelar di Jakarta bertepatan dengan Indonesia Critical Minerals Conference. 

Aktivis Greenpeace Indonesia menyoroti kerusakan ekosistem dan mendesak penghentian tambang di kawasan tersebut. Mereka menyebut bahwa hilirisasi nikel tak seharusnya mengorbankan ekosistem unik Raja Ampat. 

Masyarakat lokal dan tokoh adat juga menyuarakan kekhawatiran, namun akses mereka terbatas karena kewenangan perizinan berada di pemerintah pusat.

Saat ini, operasi PT Gag Nikel masih dalam status dihentikan sementara hingga evaluasi tuntas dilakukan. Perusahaan-perusahaan lain yang terbukti melanggar izin menghadapi sanksi administratif dan ancaman hukum. KLHK terus meninjau izin lingkungan dan berkomitmen mempertahankan integritas ekosistem Raja Ampat.

Polemik ini mencerminkan ketegangan antara ambisi industrialisasi Indonesia melalui hilirisasi mineral dan kewajiban menjaga lingkungan hidup, terutama di wilayah-wilayah yang secara ekologis sangat sensitif. 

Masa depan tambang di Raja Ampat akan sangat ditentukan oleh hasil evaluasi pemerintah dan tekanan publik yang semakin kuat terhadap perlindungan pulau-pulau kecil dari eksploitasi sumber daya.