Indonesia kembali jadi sorotan dalam pengembangan infrastruktur digital dunia. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengumumkan bahwa dua raksasa teknologi, Meta dan Google, akan membangun kabel bawah laut baru di wilayah Indonesia. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan kabar ini di Jakarta.
Proyek ini merupakan lanjutan dari investasi mereka sebelumnya seperti kabel Echo dan Bifrost. Kehadiran proyek baru ini semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai pusat konektivitas digital kawasan Asia-Pasifik sekaligus mendukung target transformasi digital nasional.
Kabel bawah laut adalah tulang punggung internet global. Lebih dari 95% data internet dunia ditransmisikan lewat jalur ini, karena mampu mengalirkan data dengan kapasitas besar dan latensi rendah. Posisi geografis Indonesia yang strategis membuatnya jadi titik penting pendaratan kabel bawah laut.
Pada 2021, Meta dan Google memulai dua proyek besar: SKKL Echo dan Bifrost. Echo membentang sekitar 15.000 km dari pantai barat Amerika Serikat ke Indonesia dan Singapura.
Proyek ini digarap oleh Meta, Google, dan XL Axiata (sekarang XLSmart). Sementara Bifrost melibatkan Meta, Telin (anak perusahaan Telkom), dan Keppel dari Singapura.
Menteri Meutya menyebut proyek baru ini akan menambah kapasitas internet nasional. “Banyak yang ingin masuk ke Indonesia, termasuk Meta dan Google yang mau membangun subsea kabel tambahan,” ujarnya, dikutip dari detikINET.
Meski belum ada informasi soal panjang kabel dan spesifikasinya, proyek ini diyakini akan memperkuat infrastruktur digital dan mengurangi ketergantungan pada APBN.
Salah satu proyek yang diduga terkait adalah SKKL Apricot. Proyek ini dijalankan oleh konsorsium Meta, Google, NTT, Chunghwa Telecom, dan PLDT.
Panjangnya sekitar 12.000 km dengan kapasitas lebih dari 190 Tbps. Apricot akan menghubungkan Jepang, Taiwan, Guam, Filipina, Indonesia, dan Singapura.
Proyek ini menggunakan teknologi canggih seperti reconfigurable optical add-drop multiplexer dan wavelength selective switches, yang memungkinkan pembagian bandwidth yang lebih fleksibel dan efisien.
Menariknya, rute Apricot menghindari Laut Cina Selatan, yang dianggap sebagai langkah strategis untuk menghindari risiko geopolitik dan menjaga stabilitas koneksi.
Di Indonesia, stasiun pendaratan sedang dibangun di Tanjung Pakis dan Batam, dengan NTT sebagai pengelola utama. Namun, jadwal operasionalnya masih belum pasti.
Sumber seperti Data Center Dynamics menyebut targetnya awal 2025, tapi BusinessWorld memperkirakan bisa molor hingga 2027, mencerminkan tantangan proyek skala besar.
Pemerintah mendorong kolaborasi dengan sektor swasta untuk membangun infrastruktur digital. Menteri Meutya mengatakan, ke depan pembangunan konektivitas digital tidak bisa hanya mengandalkan APBN.
“Meski alokasi anggaran mungkin tidak sebesar sebelumnya, infrastruktur harus tetap terbangun,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Model kerja sama ini sudah terlihat dari proyek Palapa Ring yang menjangkau daerah-daerah pelosok. Sekarang, peran swasta makin besar, seperti yang dilakukan Meta dan Google.
Dampaknya pun signifikan. Menurut Foreign Policy, investasi Meta di kabel bawah laut diperkirakan menyumbang $59 miliar ke PDB Indonesia selama 2023–2025. Tambahan proyek seperti Apricot diyakini akan memperkuat sektor teknologi dan mendorong pertumbuhan UMKM digital.
Meski menjanjikan, proyek kabel bawah laut tetap menghadapi sejumlah tantangan. Selain teknis dan pembiayaan, isu geopolitik seperti konflik di Laut Cina Selatan ikut memengaruhi rute kabel.
Seperti dilaporkan CNBC Indonesia, negosiasi dengan para investor juga masih berlangsung, yang bisa memengaruhi waktu dan skala proyek.
Namun, prospeknya tetap positif. Dari sepuluh proyek kabel trans-Pasifik dan intra-Asia yang ditargetkan selesai tahun ini, empat di antaranya akan mendarat di Indonesia.
Ini memperkuat posisi Indonesia sebagai hub digital regional, sekaligus mendukung target Indonesia Emas 2045, termasuk mempercepat akses internet di daerah terpencil dan memperluas inklusi digital.
Langkah Meta dan Google membangun kabel bawah laut tambahan, termasuk proyek Apricot, menunjukkan keseriusan dalam mendukung konektivitas dan transformasi digital Indonesia.
Dengan kapasitas besar, teknologi mutakhir, dan kolaborasi pemerintah-swasta, proyek ini membawa peluang besar untuk memperkuat ekonomi digital nasional.
Meski masih ada tantangan seperti penundaan dan dinamika politik kawasan, pendekatan kolaboratif ini menjadi strategi efektif untuk membangun masa depan digital yang kuat dan inklusif.
0Komentar