![]() |
Pemerintah Denmark berencana melarang cadar dan menghapus ruang salat di sekolah serta universitas. (Foto: Dilara Senkaya/REUTERS) |
Pada 5 Juni 2025, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen mengumumkan rencana untuk memperluas larangan penggunaan cadar (niqab dan burqa) ke sekolah dan universitas. Ia juga mengusulkan penghapusan ruang salat di lingkungan pendidikan.
Kebijakan ini diumumkan lewat wawancara dengan kantor berita lokal Ritzau dan langsung memicu perdebatan panas soal kebebasan beragama, kesetaraan gender, dan nilai-nilai demokrasi sekuler di negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan NATO ini.
Frederiksen menyebut langkah ini sebagai respons terhadap “celah hukum” yang menurutnya memungkinkan adanya tekanan agama dan penindasan terhadap perempuan di institusi pendidikan.
Sejak 2018, Denmark sudah melarang cadar di ruang publik, dengan sanksi mulai dari denda 1.000 kroner (sekitar USD154) hingga 10.000 kroner untuk pelanggaran berulang. Namun, aturan ini tidak mencakup sekolah dan universitas. Frederiksen menganggap pengecualian tersebut sebagai sebuah "kesalahan."
Rencana ini juga sejalan dengan rekomendasi Komisi Perjuangan Perempuan yang Terlupakan, yang pada awal 2025 mendesak pemerintah agar larangan diperluas ke lingkungan pendidikan.
Komisi ini sebelumnya juga pernah mengusulkan pelarangan jilbab di sekolah dasar pada 2022, tetapi rencana itu dibatalkan pada 2023 karena mendapat penolakan luas dari publik.
Denmark bukan satu-satunya negara yang mengambil langkah ini. Negara-negara seperti Prancis, Austria, Belgia, Bulgaria, Belanda, dan sebagian wilayah di Jerman, Italia, dan Spanyol juga menerapkan larangan cadar secara penuh atau sebagian.
Alasan utamanya: sekularisme, keamanan, dan integrasi sosial. Namun, kebijakan seperti ini juga sering dikritik sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan Muslim.
Ada dua poin utama dalam usulan Frederiksen:
Larangan Cadar di Sekolah dan Universitas
Cadar seperti niqab dan burqa akan dilarang di lingkungan pendidikan. Frederiksen menyebut cadar sebagai simbol tekanan agama yang tidak sesuai dengan nilai demokrasi dan kesetaraan gender.
Penghapusan Ruang Salat
Frederiksen juga ingin ruang salat dihapus dari sekolah dan kampus. Menurutnya, ruang ini justru bisa menjadi tempat tumbuhnya tekanan sosial, terutama terhadap perempuan. Ia menegaskan bahwa “di sekolah, orang datang untuk belajar, bukan untuk beribadah.”
Frederiksen menekankan bahwa pendekatan yang diambil bukan lewat larangan hukum langsung, tapi melalui dialog antara Kementerian Pendidikan dan institusi pendidikan untuk memastikan ruang salat tidak lagi jadi bagian dari program sekolah atau kampus.
Menurut Frederiksen, tujuan kebijakan ini adalah memerangi "kontrol sosial Muslim" dan menolak bentuk penindasan terhadap perempuan. Ia beranggapan bahwa keberadaan cadar dan ruang salat di institusi pendidikan memperkuat norma yang membatasi kebebasan individu.
Dalam pernyataannya yang kontroversial, ia mengatakan bahwa "Tuhan harus mundur" — menandakan betapa kuatnya nilai sekularisme yang ia anut.
Para pendukung kebijakan ini, termasuk beberapa anggota parlemen dan kelompok integrasi imigran, menganggap langkah ini sebagai bentuk perlindungan terhadap kesetaraan gender dan integrasi sosial.
Namun, banyak yang mempertanyakan dasar data kebijakan ini, karena belum ada bukti kuat yang menunjukkan cadar atau ruang salat secara langsung berkaitan dengan penindasan di sekolah atau kampus.
Usulan ini mendapat kritik keras, terutama dari organisasi hak asasi manusia. Amnesty International, misalnya, sejak awal menilai larangan cadar 2018 sebagai kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. Kelompok ini kemungkinan besar akan menolak perluasan larangan ke lembaga pendidikan.
Isu utama dalam kritik ini adalah soal pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berekspresi, yang dijamin dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, kebijakan ini dianggap berpotensi semakin meminggirkan komunitas Muslim — yang hanya sekitar 5,5% dari populasi Denmark pada 2023.
Belum banyak reaksi resmi dari organisasi Muslim di Denmark terhadap rencana ini. Namun, jika melihat respons mereka terhadap kebijakan sebelumnya, kemungkinan besar penolakan akan muncul.
Pada 2018, protes besar di Kopenhagen menentang larangan cadar, dipimpin oleh kelompok seperti Kvinder i Dialog, menunjukkan bahwa isu ini menyentuh identitas dan hak perempuan secara langsung. Danish Muslim Union juga sudah pernah menyampaikan kekhawatirannya soal stigma terhadap Muslim, meskipun belum memberikan pernyataan terbaru.
Langkah Denmark mencerminkan ketegangan yang sedang berlangsung di Eropa antara sekularisme dan kebebasan beragama. Pendukung kebijakan ini percaya bahwa aturan seperti ini penting untuk menjaga nilai-nilai liberal dan mencegah munculnya tekanan sosial.
Sebaliknya, para penentang menilai ini sebagai bentuk diskriminasi yang dapat memperparah keterasingan komunitas Muslim dan justru bertolak belakang dengan semangat integrasi.
Di Denmark sendiri, komunitas Muslim tergolong kecil, namun sering menjadi topik utama dalam debat soal imigrasi dan integrasi. Data dari Statistics Denmark menunjukkan bahwa imigran dan keturunan mereka masih menghadapi tantangan besar, termasuk tingkat pengangguran yang lebih tinggi.
Kebijakan seperti larangan cadar dan ruang salat bisa memperburuk perasaan tidak diterima di kalangan komunitas ini, yang bisa berdampak negatif pada proses integrasi.
Secara internasional, langkah Denmark ini bisa dibandingkan dengan kebijakan serupa di Prancis. Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa pernah mendukung larangan cadar di Prancis pada 2014, tapi keputusan itu tetap kontroversial. Denmark mungkin akan menghadapi tantangan hukum yang sama jika kebijakan ini jadi diterapkan.
Usulan Mette Frederiksen untuk melarang cadar dan menghapus ruang salat di sekolah dan universitas memicu perdebatan luas soal batas antara sekularisme dan kebebasan beragama.
Meski dimaksudkan untuk melindungi demokrasi dan kesetaraan gender, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang diskriminasi dan eksklusi sosial. Reaksi dari komunitas Muslim, kelompok hak asasi, serta masyarakat Denmark secara luas akan sangat menentukan bagaimana kebijakan ini dijalankan ke depan.
Di tengah meningkatnya perdebatan global soal identitas dan integrasi, langkah Denmark ini mencerminkan tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pluralisme dan kohesi sosial.
0Komentar