Eropa terus mendorong transisi energi bersih, namun tetap mengimpor batu bara dari Indonesia. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soroti standar ganda dan tegaskan pentingnya kedaulatan energi nasional. (Foto: Bloomberg)


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan komitmen Indonesia dalam menjaga ketahanan energi nasional. Dalam pidatonya di Human Capital Summit 2025 di Jakarta International Convention Center pada 3 Juni, Bahlil menyentil negara-negara Eropa yang gencar mengampanyekan larangan energi fosil—khususnya batu bara—namun tetap mengandalkan impor batu bara dari Indonesia.

Pernyataan ini memantik diskusi luas mengenai dinamika transisi energi dan tantangan nyata yang dihadapi negara berkembang dalam menyeimbangkan kebutuhan domestik dan tekanan internasional.

Bahlil menyoroti adanya kontradiksi dalam kebijakan energi negara-negara Eropa. Di satu sisi, mereka menyerukan percepatan transisi ke energi bersih dan mengategorikan batu bara sebagai “energi kotor”. 

Namun, pada saat yang sama, mereka masih bergantung pada impor batu bara dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

“Kamu bilang kami enggak boleh pakai batu bara, tapi di saat bersamaan Eropa minta batu bara dari negara kita. Gimana coba?” ujar Bahlil dengan nada tegas.

advertisements
Ad
Ia menambahkan, negara-negara maju mendorong negara berkembang seperti Indonesia untuk beralih ke energi terbarukan—yang biaya investasinya jauh lebih tinggi—sementara mereka sendiri tetap memanfaatkan energi fosil karena lebih murah.

Data menunjukkan sejumlah negara Eropa masih memiliki kontrak jangka panjang untuk impor batu bara dari Indonesia, bahkan hingga 20 tahun ke depan. 

Ini menunjukkan bahwa meski secara retorik mendukung agenda dekarbonisasi, secara praktis negara-negara tersebut belum sepenuhnya meninggalkan batu bara sebagai sumber energi utama. Indonesia sendiri saat ini menyumbang sekitar 50% dari perdagangan batu bara global.

Menurut Bahlil, batu bara masih menjadi pilar utama dalam memastikan pasokan energi yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, pemerintah berencana menambah kapasitas PLTU berbasis batu bara sebesar 6,3 gigawatt (GW).

Meski demikian, Indonesia tetap berkomitmen untuk mempercepat transisi energi. Dalam periode yang sama, RUPTL juga mencanangkan peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 42,6 GW. Rinciannya meliputi tenaga surya (17,1 GW), tenaga air (11,7 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), bioenergi (0,9 GW), dan nuklir (0,5 GW).

“Mau kotor, mau bersih, kita harus mempertahankan kedaulatan energi nasional kita. National interest lebih tinggi,” tegas Bahlil.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kebijakan energi Indonesia akan selalu didasarkan pada kepentingan nasional, bukan tekanan dari luar.

Menanggapi kritik atas dampak lingkungan dari penggunaan batu bara, Bahlil menekankan pentingnya teknologi carbon capture and storage (CCS) atau teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. 

Teknologi ini memungkinkan emisi karbon dari PLTU untuk ditangkap dan disimpan, sehingga dapat mengurangi dampak terhadap lingkungan.

“Sekarang sudah ada teknologi. PLTU itu kan bisa ditangkap carbon capture-nya. Bisnis baru lagi itu,” ujarnya.
Pengembangan CCS tak hanya membuka peluang ekonomi baru, tapi juga memberi jalan bagi Indonesia untuk tetap memanfaatkan batu bara secara bertanggung jawab dan sejalan dengan target pengurangan emisi global.

Bahlil juga menyinggung tantangan besar yang dihadapi negara berkembang dalam upaya transisi energi. Energi terbarukan memang lebih ramah lingkungan, namun dari sisi biaya, masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil. 

Bagi negara seperti Indonesia, yang masih sangat bergantung pada energi murah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ini menjadi hambatan serius.

Tekanan dari komunitas internasional, terutama Eropa, agar negara berkembang segera beralih ke energi bersih seringkali tidak dibarengi dengan dukungan nyata, baik dalam bentuk pendanaan maupun transfer teknologi. 

Hal ini memperlebar kesenjangan antara ekspektasi global dan kemampuan riil negara-negara berkembang di lapangan.

“Jangan dikira kita enggak paham, sudah paham betul ini barang,” kata Bahlil, menegaskan bahwa Indonesia memiliki strategi yang jelas dan realistis dalam mengelola sumber daya energinya.

Pernyataan Bahlil juga mencerminkan perubahan arah kebijakan energi di tingkat global. Misalnya, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan beberapa negara untuk kembali mengandalkan energi fosil, termasuk batu bara. 

Tren ini membuka peluang bagi Indonesia untuk terus memanfaatkan potensi batu bara, sembari tetap melangkah ke arah energi bersih secara bertahap.

Permintaan batu bara dari pasar internasional, termasuk dari Eropa, tetap tinggi. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi strategis untuk menegosiasikan kontrak jangka panjang yang menguntungkan dan menjaga stabilitas sektor energi nasional.

Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan, Indonesia tetap perlu mengembangkan teknologi seperti CCS serta mendorong investasi di sektor energi terbarukan. 

Dukungan kebijakan yang mendorong akses pendanaan dan transfer teknologi akan menjadi kunci untuk mempercepat transformasi energi secara menyeluruh.

Pernyataan Bahlil Lahadalia menggarisbawahi realitas kompleks dalam transisi energi global. Sebagai negara berkembang dengan cadangan batu bara yang melimpah, Indonesia perlu mengutamakan ketahanan energi nasional tanpa mengabaikan komitmen terhadap keberlanjutan.

Melalui kombinasi antara pemanfaatan energi fosil secara efisien dan pengembangan energi terbarukan yang ambisius, Indonesia menunjukkan pendekatan yang pragmatis. 

Namun, ketimpangan dalam pendekatan global terhadap transisi energi—seperti sikap Eropa yang kontradiktif—menunjukkan perlunya kerja sama internasional yang lebih adil. 

Negara berkembang harus dilibatkan bukan hanya sebagai pemasok kebutuhan energi negara maju, tetapi juga sebagai mitra sejajar dalam menciptakan masa depan energi yang berkelanjutan.