Zaman Heisei dimulai pada 8 Januari 1989, sehari setelah Kaisar Hirohito wafat. Putra Mahkota Akihito naik takhta dan menjadi simbol era baru di Jepang. Namun, masa ini dimulai bersamaan dengan pecahnya gelembung ekonomi yang telah berkembang sejak akhir 1980-an.
Pada puncaknya, nilai pasar saham Jepang dan harga properti naik hingga level yang tidak masuk akal.
Namun, pada 1991, gelembung itu pecah. Nilai saham jatuh drastis, harga tanah anjlok, dan bank-bank menghadapi kredit macet dalam jumlah besar.
“Runtuhnya bubble economy adalah titik balik bagi ekonomi Jepang. Dampaknya bukan hanya jangka pendek, tapi berlanjut hingga puluhan tahun,” kata Takatoshi Ito, ekonom Universitas Tokyo, dalam sebuah wawancara.
Pemerintah berupaya menstabilkan sistem keuangan, namun langkah-langkah tersebut tidak cukup untuk menghentikan spiral resesi yang panjang.
Masa ini kemudian dikenal sebagai The Lost Decade, bahkan beberapa analis menyebutnya Lost Two Decades.
Krisis Finansial dan Stagnasi Ekonomi
Selama dekade 1990-an hingga awal 2000-an, Jepang menghadapi resesi berkepanjangan. Deflasi menjadi masalah utama. Harga-harga terus turun, membuat konsumsi rumah tangga melemah dan perusahaan enggan berinvestasi.
Bank-bank besar Jepang pun mengalami guncangan. Pemerintah terpaksa mengucurkan dana untuk menyelamatkan sektor keuangan.
Program stimulus ekonomi besar-besaran dilakukan, termasuk investasi publik dalam infrastruktur, namun hasilnya terbatas.
“Masalah terbesar Jepang saat itu adalah deflasi yang membatasi ruang gerak kebijakan moneter,” jelas Haruhiko Kuroda, Gubernur Bank of Japan. “Kita mencoba menurunkan suku bunga, bahkan hingga nol persen, tapi permintaan domestik tetap lemah.”
Restrukturisasi industri besar-besaran juga dilakukan. Perusahaan-perusahaan besar merampingkan organisasi, memotong biaya, dan melakukan efisiensi ketat.
Dampaknya terasa pada dunia kerja, di mana sistem kerja seumur hidup (lifetime employment) yang menjadi ciri khas perusahaan Jepang mulai tergerus.
Bencana Alam dan Dampak Sosial
Zaman Heisei juga ditandai oleh serangkaian bencana alam besar.
Pada 17 Januari 1995, gempa besar Hanshin melanda kota Kobe dan wilayah sekitarnya. Lebih dari 6.000 orang meninggal dunia, ribuan bangunan runtuh, dan infrastruktur vital lumpuh.
Tragedi ini menjadi pelajaran penting mengenai kesiapan menghadapi bencana di negara rawan gempa seperti Jepang.
Namun, bencana terbesar terjadi pada 11 Maret 2011, ketika gempa berkekuatan 9,0 skala Richter mengguncang wilayah Tōhoku.
Gempa ini memicu tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan pesisir timur laut Jepang. Lebih dari 18.000 orang tewas atau hilang, dan ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal.
Bencana itu juga memicu krisis nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Kebocoran radiasi memaksa evakuasi massal dan menimbulkan kekhawatiran global mengenai keamanan energi nuklir.
“Peristiwa 11 Maret 2011 adalah salah satu titik terkelam dalam sejarah Jepang modern,” kata Naoto Kan, perdana menteri Jepang saat itu. “Namun dari situ juga muncul solidaritas nasional dan kesadaran baru tentang ketahanan energi.”
Perubahan Sosial dan Demografi
Selain ekonomi dan bencana, Zaman Heisei membawa transformasi besar dalam struktur sosial Jepang.
Populasi Jepang mulai menurun. Tingkat kelahiran yang rendah dan angka harapan hidup yang tinggi membuat masyarakat Jepang menua dengan cepat.
Data Kementerian Dalam Negeri Jepang mencatat bahwa pada akhir era Heisei, lebih dari 28% penduduk berusia di atas 65 tahun.
Fenomena ini menimbulkan tantangan besar, mulai dari beban sistem pensiun, kebutuhan tenaga kerja, hingga layanan kesehatan.
Urbanisasi juga semakin kuat. Penduduk muda lebih banyak pindah ke kota besar seperti Tokyo dan Osaka, meninggalkan daerah pedesaan. Hal ini mempercepat penyusutan desa-desa kecil.
Di sisi lain, peran perempuan mulai meningkat dalam dunia kerja. Lebih banyak perempuan menempuh pendidikan tinggi dan memasuki pasar tenaga kerja. Namun, kesenjangan gender masih menjadi isu utama.
“Jepang sudah berubah, tetapi masih ada hambatan besar bagi perempuan untuk benar-benar sejajar di dunia kerja,” kata Mari Miura, profesor ilmu politik di Sophia University, Tokyo.
Selain itu, gaya hidup masyarakat juga berubah. Keluarga inti menggantikan peran keluarga besar, individualisme semakin menonjol, dan nilai-nilai tradisional menghadapi tantangan dari modernisasi.
Jepang di Panggung Global
Meski menghadapi banyak kesulitan, Jepang tidak sepenuhnya tenggelam. Zaman Heisei juga memperlihatkan bagaimana negara ini beradaptasi dengan globalisasi.
Dalam bidang teknologi, Jepang tetap menjadi salah satu pemimpin dunia. Robotika, otomotif, dan elektronik menjadi sektor unggulan yang menjaga daya saing global Jepang.
Budaya populer Jepang juga menjangkau dunia. Manga, anime, musik J-Pop, dan gaya hidup khas Jepang menjadi fenomena internasional.
“Soft power” ini membantu citra Jepang di mata dunia, terutama di kalangan generasi muda global.
Dalam diplomasi, Jepang memperkuat peran di forum internasional seperti PBB, G7, dan APEC. Jepang juga meningkatkan kerjasama regional, khususnya di Asia Timur.
“Jepang di era Heisei berusaha menyeimbangkan antara menjaga identitas nasional dan berperan aktif dalam globalisasi,” kata Sheila Smith, analis Asia Timur di Council on Foreign Relations.
Zaman Heisei ditutup pada 30 April 2019, ketika Kaisar Akihito turun takhta karena alasan kesehatan. Ia menjadi kaisar pertama dalam dua abad terakhir yang melakukan abdikasi. Putranya, Naruhito, kemudian naik takhta dan memulai era Reiwa.
Heisei tercatat sebagai masa penuh kontradiksi: krisis ekonomi berkepanjangan, bencana alam besar, dan tantangan demografi.
Namun, di sisi lain, era ini juga memperlihatkan ketahanan, inovasi, dan kemampuan Jepang untuk tetap relevan di dunia global.
“Jepang di era Heisei menghadapi kesulitan luar biasa, tetapi juga menunjukkan daya tahan yang luar biasa,” ujar Jeff Kingston, profesor sejarah di Temple University Jepang.
Periode ini pada akhirnya membentuk wajah Jepang modern: sebuah negara yang lebih berhati-hati dalam ekonomi, lebih sadar akan risiko bencana, namun tetap menjadi kekuatan global dalam teknologi, budaya, dan diplomasi.

0Komentar