![]() |
| Zaman Taishō (1912–1926) menandai demokrasi awal Jepang, berkembangnya budaya modern, namun juga munculnya krisis ekonomi dan militerisme. (Apluswire/Hra) |
Zaman Taishō berlangsung dari tahun 1912 hingga 1926, periode ketika Jepang mulai membuka diri pada demokrasi parlementer, budaya modern, serta perubahan sosial yang cepat. Era ini dinamai dari Kaisar Taishō, yang naik tahta menggantikan ayahnya, Kaisar Meiji.
Meski hanya berlangsung 14 tahun, masa ini menjadi penanda penting peralihan Jepang dari pemerintahan otoriter menuju sistem yang lebih demokratis. Namun, perubahan tersebut tidak lepas dari gejolak, termasuk krisis ekonomi dan awal kebangkitan militerisme.
Sejarawan Jepang, Masao Maruyama, menyebut periode ini sebagai masa “eksperimen demokrasi” yang membuka ruang baru bagi rakyat sipil, meski akhirnya menghadapi keterbatasan struktural.
Demokrasi Taishō
Zaman Taishō sering disebut sebagai era “Demokrasi Taishō” karena meningkatnya peran parlemen dan partai politik dalam menentukan arah pemerintahan.
Pada 1925, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Pemilu Umum (General Election Law) yang memperluas hak pilih bagi hampir semua pria dewasa berusia di atas 25 tahun. Langkah ini dianggap sebagai tonggak awal demokratisasi di Jepang modern.
“Undang-undang itu menjadi simbol inklusi politik, meski masih terbatas hanya untuk pria,” kata profesor sejarah Asia Timur Universitas Tokyo, Yutaka Yoshida.
Partai politik seperti Rikken Seiyūkai dan Kenseikai semakin berpengaruh dalam proses pembentukan kabinet. Namun, kekuatan militer tetap memiliki peran penting, terutama dalam kebijakan luar negeri dan keamanan.
Selain itu, muncul pula gerakan feminis awal yang menuntut hak politik dan kesetaraan gender. Beberapa organisasi perempuan, seperti New Women’s Association (Shin Fujin Kyōkai), mulai aktif menyuarakan isu pendidikan dan partisipasi publik.
Pers dan media juga berkembang pesat, menyediakan ruang bagi kritik sosial. Surat kabar menjadi alat penting dalam membangun opini publik, sesuatu yang sebelumnya terbatas pada kalangan elit.
Budaya modern dan urbanisasi
Selain perubahan politik, Zaman Taishō juga dikenal sebagai masa berkembangnya budaya urban modern. Kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Yokohama mengalami urbanisasi pesat.
Kafe, klub malam, dan bioskop bermunculan, memperkenalkan gaya hidup Barat ke masyarakat Jepang. Musik jazz, mode pakaian Barat, serta gaya hidup konsumtif mulai diterima kalangan menengah perkotaan.
Industri film Jepang mulai tumbuh dengan film bisu sebagai hiburan populer. Teater modern, yang memadukan gaya Barat dengan tradisi Jepang, muncul di samping seni Kabuki yang sudah mapan.
Dalam sastra, tokoh seperti Ryūnosuke Akutagawa menulis karya dengan tema individualisme dan kritik sosial, sementara penyair Akiko Yosano memperjuangkan kebebasan perempuan melalui puisinya.
“Taishō adalah era ketika seni, sastra, dan budaya populer menjadi sarana eksplorasi identitas baru Jepang,” kata sejarawan seni modern Jepang, Hiroshi Tanaka.
Krisis ekonomi dan gerakan buruh
Di balik dinamika politik dan budaya, Jepang menghadapi tekanan ekonomi yang serius.
Selama Perang Dunia I, Jepang sempat menikmati pertumbuhan karena meningkatnya permintaan ekspor industri tekstil dan baja. Namun setelah perang berakhir, permintaan menurun drastis, memicu resesi pada awal 1920-an.
Krisis ekonomi diperparah dengan inflasi tinggi dan menurunnya harga beras, yang memicu kerusuhan sosial seperti Kerusuhan Beras 1918 (Rice Riots). Peristiwa ini memperlihatkan kesenjangan antara kelas pekerja dan elit politik.
Petani di pedesaan mengalami kesulitan ekonomi, sementara di kota-kota, serikat pekerja mulai muncul untuk menuntut upah lebih baik dan kondisi kerja yang manusiawi.
“Periode ini menjadi titik lahirnya gerakan buruh Jepang modern, meski sering mendapat represi dari pemerintah,” ujar ekonom sosial Jepang, Kenji Takahashi.
Awal kebangkitan militerisme
Kerapuhan demokrasi Taishō membuka ruang bagi militer untuk kembali memperkuat posisinya.
Militer memiliki hak konstitusional untuk menunjuk menteri perang dan menteri angkatan laut, yang membuat kabinet sipil kerap tergantung pada dukungan mereka. Situasi ini menyebabkan sering terjadinya krisis pemerintahan.
Di tengah krisis ekonomi, kelompok militer dan nasionalis mulai mengusung ide ekspansionisme ke Asia, terutama ke Tiongkok, sebagai solusi bagi keterbatasan sumber daya domestik.
“Militer mulai melihat demokrasi sebagai hambatan bagi kebijakan luar negeri agresif,” kata ahli politik Jepang modern, Andrew Gordon.
Ketegangan antara sipil dan militer ini menjadi fondasi bagi kebangkitan nasionalisme ekstrem di era berikutnya, yaitu zaman Shōwa awal (1926–1945).
Warisan sosial dan kontradiksi Taishō
Zaman Taishō meninggalkan warisan ganda: di satu sisi, ia membuka ruang politik, kebebasan pers, dan budaya urban modern; di sisi lain, ia juga memperlihatkan keterbatasan demokrasi Jepang dan kerentanan terhadap krisis ekonomi.
Kelas menengah perkotaan tumbuh dengan gaya hidup modern, sementara pedesaan tertinggal dalam kemiskinan. Ketimpangan ini menciptakan jurang sosial yang semakin dalam.
Perubahan sosial juga memunculkan tantangan baru seperti kemiskinan urban, kriminalitas, dan pergeseran nilai tradisional.
“Era Taishō adalah cerminan kompleksitas Jepang modern: terbuka, progresif, tetapi sekaligus rentan oleh krisis internal,” ujar Yoshida.
Zaman Taishō (1912–1926) dapat dilihat sebagai masa eksperimen bagi Jepang yaitu eksperimen demokrasi, eksperimen budaya modern, sekaligus eksperimen dalam menghadapi perubahan global.
Meski demokrasi yang lahir kala itu masih rapuh, periode ini menandai babak penting dalam perjalanan Jepang menuju modernitas. Namun, kegagalan mengatasi krisis ekonomi dan dominasi militer kemudian membawa Jepang ke arah konflik besar pada dekade berikutnya.

0Komentar