Konferensi meja bundar 1949 di Den Haag menjadi titik penting perundingan Indonesia dan Belanda yang berujung pada penyerahan kedaulatan. (Wikipedia Commons)

Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi titik balik dalam perjalanan panjang Indonesia menuju pengakuan kedaulatan. Pertemuan ini mempertemukan delegasi Indonesia, Belanda, dan perwakilan dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) di Den Haag pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. 

Hasilnya adalah kesepakatan bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) paling lambat pada 27 Desember 1949, meski dengan sejumlah catatan dan syarat yang hingga kini masih diperdebatkan.


Jalan Panjang Menuju Perundingan

Sebelum KMB digelar, situasi Indonesia masih jauh dari kata stabil. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Belanda berupaya kembali menegakkan kekuasaan kolonial melalui aksi militer. 

Dua kali “Agresi Militer Belanda” dilancarkan, yakni pada 1947 dan 1948, yang menewaskan ribuan orang serta menghancurkan infrastruktur di berbagai daerah.

Tekanan internasional makin besar setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut turun tangan. Melalui resolusi-resolusi penting, PBB mendesak Belanda menghentikan kekerasan dan duduk bersama Republik Indonesia. 

Amerika Serikat, yang saat itu punya kepentingan ekonomi di Asia Tenggara, ikut menekan Belanda agar segera mengakhiri kolonialisme.

Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden yang memimpin delegasi Indonesia, menyebut KMB sebagai konsekuensi logis dari tekanan global. 

“Situasi internasional menuntut adanya pengakuan. Tanpa pengakuan, kedaulatan kita hanya sebatas deklarasi,” tuturnya dalam pidatonya kala itu.


Kronologi KMB

Perundingan KMB dibuka pada 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta, sementara Belanda menurunkan Jan Herman van Maarseveen. Di sisi lain, hadir pula perwakilan BFO yang mewakili negara-negara federal bentukan Belanda di Indonesia.

Selama lebih dari dua bulan, pembahasan berlangsung alot. Indonesia menuntut pengakuan penuh atas kedaulatan Republik, sedangkan Belanda berupaya mempertahankan kepentingannya, terutama di bidang ekonomi dan militer.

Beberapa isu krusial mencuat, seperti:

1. Status Irian Barat – Belanda menolak menyerahkan wilayah ini dan menunda penyelesaiannya setahun kemudian.

2. Bentang Republik Indonesia Serikat (RIS) – Indonesia dipaksa menerima bentuk negara federal, bukan kesatuan.

3. Uni Indonesia-Belanda – Belanda menuntut hubungan khusus pascakedaulatan dengan tetap mempertahankan pengaruhnya.

4. Hutang Hindia Belanda – Pemerintah RIS diwajibkan menanggung utang kolonial sebesar 4,3 miliar gulden.


Saksi mata yang hadir dalam perundingan, diplomat Belanda Marinus van der Goes van Naters, menggambarkan suasana sidang sebagai “ruangan penuh ketegangan di mana setiap kalimat bisa menjadi bara.”

Akhirnya, pada 2 November 1949, KMB ditutup dengan penandatanganan perjanjian. Belanda berjanji menyerahkan kedaulatan pada 27 Desember 1949.


Perspektif Dua Pihak

Bagi Indonesia, KMB adalah jalan pahit yang mesti ditempuh. Banyak kalangan menilai perundingan itu lebih menyerupai transaksi politik ketimbang penyerahan kedaulatan penuh. 

Wakil delegasi Indonesia, Sultan Hamid II, pernah menyatakan, “Kedaulatan itu lahir dari meja perundingan, tapi berlumur darah para pejuang di tanah air.”

Dari sisi Belanda, perjanjian KMB justru diklaim sebagai kompromi yang adil. Menteri Koloni Belanda saat itu, van Maarseveen, menuturkan bahwa Belanda telah menunjukkan “itikad baik” dengan memberikan kemerdekaan, meski tetap menekankan pentingnya menjaga hubungan ekonomi melalui Uni Indonesia-Belanda.

Namun, banyak pengamat internasional melihat langkah Belanda lebih sebagai strategi untuk menyelamatkan kepentingan kolonial yang terancam runtuh, ketimbang ketulusan politik.


Dampak Hasil KMB

Penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 memang menjadi tonggak resmi pengakuan Indonesia di mata dunia. Namun, hasil-hasil KMB meninggalkan sejumlah persoalan yang panjang.

Pertama, pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dianggap menguntungkan Belanda. Negara federal ini segera ditolak mayoritas rakyat Indonesia, hingga akhirnya pada 17 Agustus 1950 kembali ke bentuk negara kesatuan.

Kedua, status Irian Barat yang tetap menjadi sengketa. Wilayah itu baru bergabung dengan Indonesia pada 1963 setelah perundingan panjang dan operasi militer terbatas.

Ketiga, beban hutang kolonial yang diwariskan kepada Indonesia. Angka 4,3 miliar gulden dinilai sangat memberatkan, mengingat sebagian besar digunakan untuk membiayai perang Belanda melawan rakyat Indonesia sendiri.

Sejarawan Belanda, Wim Wertheim, bahkan menyindir bahwa KMB “lebih menyerupai penyerahan beban daripada penyerahan kedaulatan.”


Reaksi Publik di Indonesia

Di dalam negeri, sambutan atas KMB beragam. Sebagian kalangan menyambutnya sebagai kemenangan diplomasi, sementara kelompok lain menilai perjanjian itu mengandung jebakan.

Bung Karno sendiri menyebut perjanjian itu sebagai “titik awal, bukan titik akhir.” Menurutnya, perjuangan politik belum selesai meski pengakuan kedaulatan telah diberikan.

Rakyat di berbagai daerah justru lebih fokus pada kenyataan sehari-hari. Banyak yang masih menghadapi kondisi ekonomi sulit akibat perang, sementara elite politik berdebat soal bentuk negara dan hutang.

Seorang veteran pejuang di Yogyakarta, dalam wawancara tahun 1950, menuturkan, “Kami berjuang dengan senjata, tapi kemerdekaan datang lewat tanda tangan. Rasanya seperti separuh kosong, separuh penuh.”

KMB memang berhasil menempatkan Indonesia secara resmi di panggung dunia, tapi jalan yang ditempuh penuh kompromi. Belanda mengakui kedaulatan, tetapi dengan syarat yang masih menjerat. Hutang kolonial, status Irian Barat, hingga bentuk negara federal menjadi warisan yang menimbulkan konflik politik berikutnya.