Zaman Reiwa di Jepang menandai transisi kepemimpinan Kaisar Naruhito dengan fokus pada isu populasi menua, inovasi teknologi, serta peran global di Asia Pasifik. (Apluswire/Hra)


Zaman Reiwa dimulai pada 1 Mei 2019, ketika Kaisar Akihito secara resmi turun tahta dan digantikan oleh putranya, Kaisar Naruhito. Peristiwa itu menandai transisi bersejarah karena untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua abad, seorang kaisar Jepang memilih mengundurkan diri atas alasan kesehatan.

Era baru ini segera diwarnai oleh berbagai tantangan seperti populasi menua, inovasi teknologi, dinamika geopolitik, hingga pandemi global yang melanda setahun setelahnya.

Dalam sambutannya saat naik tahta, Kaisar Naruhito mengatakan ingin menjalankan tugasnya “dengan hati rakyat” serta mendukung “kedamaian dan kebahagiaan bangsa.”


Krisis Demografi

Masalah terbesar Jepang pada era Reiwa adalah krisis demografi. Jumlah penduduk Jepang terus menurun, sementara proporsi warga lanjut usia semakin besar.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Jepang, populasi turun menjadi sekitar 124 juta pada 2023, berkurang hampir 800 ribu jiwa dibanding tahun sebelumnya. Lebih dari 29% di antaranya berusia 65 tahun ke atas, menjadikan Jepang salah satu negara dengan populasi tertua di dunia.

“Penurunan angka kelahiran adalah tantangan paling mendesak yang dihadapi bangsa ini. Jika tren ini berlanjut, kemampuan kita mempertahankan fungsi sosial dan ekonomi akan sangat terganggu,” kata Perdana Menteri Fumio Kishida dalam pidato di parlemen pada awal 2023.

Selain faktor biaya hidup dan perumahan, perubahan nilai sosial juga memengaruhi tren pernikahan dan kelahiran. Survei lembaga pemerintah pada 2022 menunjukkan semakin banyak pria dan wanita muda yang memilih menunda atau bahkan tidak berencana menikah. Alasan yang kerap muncul adalah keinginan fokus pada karier atau kebebasan pribadi.

Akibatnya, Jepang harus mencari cara untuk menjaga tenaga kerja tetap produktif. Pemerintah mendorong keterlibatan lebih besar perempuan, lansia, dan pekerja asing. Teknologi juga menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, terutama di sektor kesehatan dan manufaktur.


Inovasi Teknologi dan Peran AI

Jepang dikenal sebagai pelopor teknologi robotika dan kecerdasan buatan (AI). Pada era Reiwa, dorongan ini semakin kuat, sejalan dengan kebutuhan menghadapi krisis tenaga kerja dan upaya mempertahankan daya saing global.

Perusahaan besar seperti Toyota, Fujitsu, Hitachi, dan NTT berinvestasi besar dalam pengembangan AI. Toyota, misalnya, mengumumkan proyek “Woven City”, sebuah kota eksperimental di kaki Gunung Fuji yang berfungsi sebagai laboratorium hidup bagi teknologi kota pintar dengan integrasi kendaraan otonom, robotika, dan AI.

Robot pendamping untuk lansia juga semakin populer. Produk-produk seperti robot perawat atau asisten rumah tangga berbasis AI diperkenalkan untuk mendukung kehidupan sehari-hari warga lanjut usia.

“AI bukan hanya soal efisiensi industri, tetapi juga tentang bagaimana teknologi bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menua,” kata Hiroaki Kitano, Presiden Sony Computer Science Laboratories, dalam sebuah forum teknologi di Tokyo.

Selain itu, Jepang juga berfokus pada pengembangan superkomputer dan big data untuk penelitian medis, perubahan iklim, serta energi terbarukan.


Geopolitik dan Posisi Jepang di Dunia

Di kancah internasional, Jepang tetap memainkan peran penting, terutama dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Timur dan Indo-Pasifik.

Hubungan dengan China dan Korea Selatan sering kali diliputi ketegangan. Sengketa wilayah di Laut China Timur dan isu sejarah Perang Dunia II masih menjadi sumber gesekan. Meski demikian, Jepang tetap menjaga saluran komunikasi dengan kedua negara tersebut, khususnya terkait perdagangan dan keamanan regional.

Jepang memperkuat aliansi strategis dengan Amerika Serikat, Australia, dan India melalui kerangka kerja sama Indo-Pasifik. Fokus utamanya adalah menjaga jalur perdagangan laut tetap aman serta menyeimbangkan pengaruh China di kawasan.

Selain itu, Jepang juga mengambil sikap tegas dalam isu global. Pada 2022, Tokyo menjatuhkan sanksi terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina, sejalan dengan negara-negara G7 lainnya. Jepang menegaskan komitmennya pada hukum internasional dan perdamaian dunia.

“Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip hukum dan demokrasi, Jepang tidak bisa tinggal diam melihat pelanggaran kedaulatan,” ujar Menteri Luar Negeri Yoshimasa Hayashi dalam konferensi pers di Tokyo.


Pandemi COVID-19: Ujian Awal Era Reiwa

Pandemi COVID-19 menjadi ujian besar di awal masa pemerintahan Kaisar Naruhito. Virus ini pertama kali terdeteksi di Jepang pada Januari 2020, dan sejak itu pemerintah harus mengambil langkah-langkah luar biasa.

Awalnya, Jepang menghindari lockdown total dan mengandalkan kebijakan yang disebut “Three Cs”: menghindari ruang tertutup, kerumunan, dan kontak dekat. Namun, dengan meningkatnya kasus, pemerintah akhirnya menetapkan status darurat nasional di beberapa wilayah.

Pelaksanaan Olimpiade Tokyo 2020 juga terdampak, diundur satu tahun dan digelar tanpa penonton asing.

Jepang kemudian mempercepat program vaksinasi massal. Pada pertengahan 2022, lebih dari 80% populasi telah menerima dua dosis vaksin. Meski begitu, gelombang baru dengan varian lebih menular terus muncul.

“Pandemi ini menunjukkan pentingnya kesiapan menghadapi krisis kesehatan global. Jepang belajar bahwa sistem medis dan rantai pasok perlu diperkuat,” kata Dr. Shigeru Omi, ketua panel penasihat COVID-19 pemerintah Jepang.

Secara ekonomi, pandemi memukul sektor pariwisata yang selama ini menjadi andalan. Jumlah wisatawan asing turun drastis, sementara bisnis kecil menghadapi kesulitan bertahan. Pemerintah menyalurkan paket stimulus triliunan yen dan mempercepat digitalisasi, termasuk promosi kerja jarak jauh.


Perubahan Sosial dan Tantangan Generasi Muda

Selain krisis demografi, Jepang menghadapi perubahan sosial yang kompleks. Urbanisasi membuat banyak daerah pedesaan kehilangan penduduk muda, sementara kota besar menghadapi biaya hidup tinggi.

Generasi muda cenderung mengutamakan gaya hidup individual, memprioritaskan pengalaman pribadi dibanding pernikahan dan membangun keluarga. Fenomena ini memicu perdebatan publik tentang masa depan masyarakat Jepang.

“Bagi saya, memiliki kebebasan dan mengembangkan diri lebih penting daripada terburu-buru menikah. Saya tidak ingin mengikuti pola hidup lama yang tidak sesuai dengan keinginan saya,” kata Yuki Tanaka, seorang pekerja kantoran berusia 29 tahun di Tokyo, kepada BBC News Indonesia.

Pemerintah mencoba merespons dengan program dukungan keluarga, seperti subsidi anak, cuti melahirkan lebih panjang, serta bantuan perumahan bagi pasangan muda. Namun efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan.


Arah dan Harapan Zaman Reiwa

Nama Reiwa berarti “harmoni yang indah.” Makna ini mencerminkan cita-cita Jepang untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, seimbang, dan berkelanjutan.

Fokus utama ke depan antara lain:

Pembangunan ramah lingkungan: Jepang menargetkan netral karbon pada 2050, dengan investasi besar pada energi terbarukan dan kendaraan listrik.

Inklusivitas sosial: Mendorong partisipasi perempuan, mendukung masyarakat multikultural, dan mengatasi kesenjangan sosial.

Inovasi berkelanjutan: Mengembangkan solusi teknologi di bidang kesehatan, pendidikan, dan energi untuk menghadapi tantangan masa depan.


Meski jalan yang ditempuh penuh hambatan, era Reiwa dipandang sebagai kesempatan bagi Jepang untuk beradaptasi dengan perubahan global sekaligus mempertahankan identitas budayanya.

“Reiwa adalah momentum untuk membangun masyarakat yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga sejahtera dan berdaya tahan,” ujar Profesor Shunpei Kumon, pakar sosiologi Universitas Waseda.

Zaman Reiwa masih relatif muda, namun sudah diwarnai oleh ujian besar seperti pandemi COVID-19 dan krisis demografi. Jepang di bawah Kaisar Naruhito berusaha menyeimbangkan tradisi dengan modernitas, serta menghadapi tantangan global dengan inovasi dan diplomasi.

Sejarah dan perjalanan panjang Jepang
8 dari 8