Jepang mengalami salah satu periode paling panjang dan penuh gejolak sepanjang sejarah modernnya pada era Shōwa, yang berlangsung dari tahun 1926 hingga 1989. Selama masa ini, negara tersebut melewati fase militerisme, ekspansi teritorial, kekalahan telak dalam Perang Dunia II, pendudukan Sekutu, hingga kebangkitan sebagai kekuatan ekonomi global.
Kaisar Hirohito, yang berkuasa sepanjang era Shōwa, menjadi simbol kontinuitas ketika Jepang berubah secara radikal di hampir semua aspek kehidupan.
Naiknya Kaisar Hirohito ke tahta pada 1926 bertepatan dengan kondisi ekonomi global yang tidak stabil.
Depresi Besar 1930-an memperburuk situasi di Jepang. Inflasi, pengangguran, dan kesenjangan sosial memperlemah sistem demokrasi parlementer yang baru tumbuh sejak era Taishō.
Militer kemudian mengambil peran dominan. Insiden Mukden pada 1931 yang diikuti dengan pendudukan Manchuria menandai langkah awal ekspansi luar negeri Jepang. Dua tahun kemudian, terbentuk negara boneka Manchukuo.
“Militer berhasil mengambil alih kendali politik dengan alasan melindungi kepentingan nasional. Situasi ini memicu kemunduran demokrasi di Jepang,” jelas Prof. Harumi Sasaki, sejarawan politik Asia Timur di Universitas Tokyo.
Konflik terus meluas. Pada 1937, pecah Perang Tiongkok-Jepang Kedua yang berlangsung sengit. Jepang juga membentuk aliansi dengan Jerman Nazi dan Italia Fasis dalam Pakta Tripartit 1940.
Langkah ini menegaskan posisi Jepang sebagai kekuatan Poros dalam Perang Dunia II.
Perang Dunia II dan Kekalahan
Ambisi ekspansionis Jepang mencapai puncaknya pada serangan ke Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941. Serangan itu membuat Amerika Serikat resmi terlibat dalam perang di Asia-Pasifik.
Selama empat tahun, Jepang memperluas kendali ke berbagai wilayah Asia Tenggara dan Pasifik. Namun, kekalahan demi kekalahan di medan perang mulai terlihat sejak 1943. Pertempuran Midway dan Guadalcanal menjadi titik balik.
Pada Agustus 1945, dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Kerusakan yang ditimbulkan, ditambah deklarasi perang Uni Soviet terhadap Jepang, membuat pemerintah Jepang menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945.
“Perang Dunia II tidak hanya menghancurkan militer Jepang, tetapi juga menghancurkan fondasi sosial dan ekonomi negara ini,” kata Akira Takahashi, peneliti senior di National Institute of Japanese History.
Setelah menyerah, Jepang berada di bawah pendudukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat dari 1945 hingga 1952. Masa ini menjadi titik balik penting.
Konstitusi baru 1947 disahkan, yang menandai perubahan sistem pemerintahan menjadi demokrasi parlementer. Pasal 9 konstitusi tersebut menegaskan bahwa Jepang tidak akan memiliki angkatan bersenjata ofensif.
Selain politik, reformasi agraria dilakukan dengan membagi lahan tuan tanah besar kepada petani. Perubahan ini mendorong produktivitas pertanian sekaligus meredam ketegangan sosial di pedesaan.
“Pendudukan Sekutu merombak Jepang dari akar. Reformasi konstitusi dan agraria adalah fondasi dari stabilitas pascaperang,” ujar Prof. Eiji Kawamura, pakar sejarah modern Jepang dari Universitas Kyoto.
Kebangkitan Ekonomi
Memasuki dekade 1950-an, Jepang mulai pulih dari kehancuran. Perang Korea (1950–1953) membawa keuntungan ekonomi besar karena Jepang menjadi basis logistik dan industri bagi pasukan PBB.
Industri manufaktur, khususnya baja, otomotif, dan elektronik, berkembang pesat. Perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Sony, dan Hitachi mulai menancapkan pengaruhnya.
Keberhasilan ini sering disebut sebagai “keajaiban ekonomi Jepang”. Pada dekade 1960-an, laju pertumbuhan ekonomi Jepang rata-rata mencapai 10% per tahun. Produk domestik bruto melonjak, sementara standar hidup masyarakat meningkat signifikan.
Pencapaian ini ditandai dengan terselenggaranya Olimpiade Tokyo 1964, simbol kembalinya Jepang ke panggung dunia.
Pertumbuhan ekonomi membawa urbanisasi besar-besaran. Kota-kota seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya berkembang menjadi pusat bisnis dan budaya. Kelas menengah baru lahir, membawa pola konsumsi dan gaya hidup yang lebih modern.
Budaya populer Jepang juga mulai dikenal dunia. Manga dan anime berkembang pesat sejak 1970-an, diikuti musik pop dan film. Fenomena ini kemudian menjadi salah satu bentuk soft power Jepang.
Namun, perubahan sosial juga memunculkan tantangan. Perempuan mulai menuntut kesetaraan di dunia kerja, sementara generasi muda mempertanyakan nilai-nilai tradisional yang dianggap kaku.
Krisis Ekonomi dan Akhir Era Shōwa
Pada akhir 1980-an, Jepang mencapai puncak kejayaan ekonominya. Nilai yen yang kuat dan harga aset yang melambung memicu apa yang dikenal sebagai “bubble economy”. Pasar saham dan harga properti melonjak tidak realistis.
Namun gelembung itu pecah pada awal 1990-an, sesaat setelah wafatnya Kaisar Hirohito pada 1989 yang menandai berakhirnya era Shōwa. Dampaknya adalah masa stagnasi panjang yang dikenal sebagai “dekade hilang” (lost decade).
“Era Shōwa diakhiri dengan paradoks: Jepang menjadi kekuatan ekonomi global, tetapi juga meninggalkan masalah struktural yang sulit diatasi,” jelas Takashi Yamada, ekonom di Japan Research Institute.
Zaman Shōwa adalah periode yang penuh kontradiksi dimulai dengan militerisme dan perang, lalu berakhir dengan kemakmuran ekonomi sekaligus krisis.
Kaisar Hirohito menyaksikan negaranya berubah dari kekaisaran ekspansionis menjadi negara demokrasi yang menjunjung perdamaian.
Transformasi selama lebih dari enam dekade ini membentuk wajah Jepang modern, dengan warisan keberhasilan ekonomi dan budaya, tetapi juga pelajaran pahit dari perang dan krisis.

0Komentar