KPK tengah menggodok aturan yang melarang tersangka korupsi memakai masker saat diperlihatkan ke publik. Usulan ini ditujukan untuk menambah efek jera dan transparansi. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Wajah buram para tersangka korupsi di layar kaca mungkin sebentar lagi tinggal kenangan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menggulirkan wacana pelarangan penggunaan masker atau penutup wajah bagi tahanan korupsi saat diperlihatkan ke publik. Alasannya? Transparansi dan efek malu.

Usulan ini pertama kali mengemuka pada Juli 2025 dan kini tengah dikaji secara serius oleh internal KPK. Bahkan, rencana tersebut diusulkan untuk masuk dalam revisi besar-besaran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Hal ini sedang kami bahas di internal,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Jumat (11/7), dikutip dari Antara.

Dorongan paling vokal datang dari Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak. Ia tak hanya menyarankan kebijakan ini diterapkan di level teknis, tapi juga dimasukkan dalam draf revisi KUHAP agar punya landasan hukum yang kuat.

“Dalam KUHAP itu bisa ditambahkan, agar pelaku korupsi yang ditahan dan dipublikasikan harus terlihat jelas wajahnya,” ujarnya.

Tanak menyebut, memperlihatkan wajah tersangka ke publik bukan sekadar bentuk transparansi, tapi bagian dari strategi membangun efek malu (naming and shaming) sebagai upaya pencegahan korupsi. 

Ia bahkan meminta media ikut menggaungkan usulan ini agar mendapat tekanan publik ke DPR, khususnya Komisi III yang tengah membahas revisi KUHAP.

Tunggu KUHAP, Jangan Langgar Hak Dasar

Namun di balik semangat transparansi, sejumlah pihak mengingatkan agar KPK tidak melangkah terlalu cepat. Anggota Komisi III DPR, Soedeson Tandra, mengingatkan bahwa hak warga negara, termasuk tersangka, hanya bisa dibatasi lewat undang-undang, bukan kebijakan internal lembaga.

“Kalau ini belum masuk dalam UU, ya jangan dipaksakan. KPK harus hati-hati, jangan sampai justru melanggar HAM,” kata Tandra dalam keterangannya.

Pasalnya, dalam sistem hukum Indonesia, seorang tersangka masih dijamin haknya untuk tidak dipermalukan di ruang publik. Jika belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka asas praduga tak bersalah masih melekat kuat.

Realitas di Lapangan: Malu Sampai Tutupi Wajah

Fenomena tersangka korupsi yang menutup wajah di depan media bukan hal baru. Dari pengamatan redaksi, setidaknya 8 dari 10 tersangka KPK yang ditampilkan ke publik dalam setahun terakhir mengenakan masker, kacamata hitam, atau bahkan menutup muka dengan berkas.

Kebiasaan ini memicu kritik. Banyak yang menyebut penutup wajah jadi “perisai” agar pelaku kejahatan kerah putih tidak mendapat sanksi sosial.

Di sisi lain, menurut laporan Metro TV dan Jawa Pos, beberapa mantan penyidik menyebut penutup wajah memang kerap digunakan karena para tersangka merasa malu luar biasa—bukan karena alasan medis atau keamanan.

Ancaman Pelanggaran HAM Mengintai

Meski terlihat sepele, memaksa tahanan membuka penutup wajah menyimpan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Setidaknya ada tiga prinsip yang bisa terlanggar jika aturan ini diterapkan tanpa batasan jelas:

Hak atas privasi dan martabat Terutama bagi tersangka yang belum tentu bersalah.

Asas praduga tak bersalah – Stigma sosial bisa terbentuk bahkan sebelum pengadilan memutuskan.

Tekanan psikologis dan stigma sosial – Terutama bagi keluarga atau anak-anak pelaku.

Komnas HAM dan sejumlah akademisi hukum mengingatkan bahwa kebijakan ini harus disusun dengan hati-hati dan berlandaskan hukum, bukan sekadar keinginan institusi.

Regulasi Belum Jelas, Pedoman Masih Digodok

Hingga pertengahan Juli 2025, KPK belum memiliki peraturan teknis khusus soal penampilan tahanan ke publik. Rencana larangan masker ini baru berupa kajian internal dan belum dituangkan dalam surat keputusan atau peraturan resmi.

Namun KPK menyatakan sedang menyusun mekanisme pedoman yang nantinya akan menjadi acuan tetap bagi penyidik, humas, dan media saat menampilkan tahanan dalam konferensi pers.

Sumber Tempo dan Kompas menyebut, rancangan pedoman tersebut akan mengatur secara spesifik soal pakaian, alat pelindung wajah, waktu eksposur, hingga pendampingan hukum saat penahanan.

Transparansi vs HAM: Mana yang Lebih Urgen?

Isu ini memunculkan perdebatan mendasar Mana yang lebih penting transparansi publik atau perlindungan hak tersangka?

Di satu sisi, publik menuntut agar pelaku korupsi tak diberi kenyamanan saat menjalani proses hukum. Eksposur wajah dinilai penting untuk memberikan efek jera dan tekanan sosial.

Di sisi lain, hukum menuntut kehati-hatian agar tak terjadi pelanggaran HAM sistematis. Tanpa dasar hukum yang kuat, aturan ini rawan digugat balik.

KPK menyatakan akan terus mengkaji aturan ini hingga revisi KUHAP rampung. Bila disahkan, larangan penutup wajah bisa menjadi bagian dari sistem hukum acara pidana nasional dan berlaku bagi seluruh lembaga penegak hukum, bukan hanya KPK.

Namun selama revisi KUHAP belum final, aturan larangan masker tetap belum bisa diberlakukan secara mengikat. DPR meminta KPK tidak terburu-buru dan tetap mengedepankan prinsip keadilan.