![]() |
Gelar adat “Ingatan Budi” diberikan kepada Kapolri sebagai simbol pengayoman. Di tengah sorotan publik, penghargaan ini menjadi ujian konsistensi dan akuntabilitas institusi. (Ist) |
Sabtu, 12 Juli 2025, di Balai Adat Melayu Riau, suasana terasa khidmat dan penuh takzim. Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerima Anugerah Adat “Ingatan Budi” dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
Sebuah prosesi adat lengkap dengan tanjak, keris, hingga ritual tepuk tepung tawar menandai penganugerahan tersebut—simbol tertinggi penghormatan budaya Melayu kepada seorang pemimpin nasional.
Namun, di balik kemegahan seremoni adat itu, muncul pertanyaan besar yang tak bisa diabaikan: apakah gelar “pengayom” yang diberikan kepada Kapolri benar-benar dirasakan masyarakat di level akar rumput? Ataukah ini hanya penghargaan simbolis yang belum tentu berbanding lurus dengan kenyataan lapangan?
Citra Polri Diubah, Tapi Apakah Sudah Merata?
Gubernur Riau Abdul Wahid, dalam sambutannya, menegaskan bahwa motto Polri untuk “melindungi, mengayomi, dan melayani” sudah bukan sekadar slogan.
Ia menyebut, “Ruh pengayoman itu sudah terasa dalam kebijakan dan tindakan nyata Polri.” Pujian ini bukan datang tanpa alasan.
Dalam beberapa tahun terakhir, citra institusi Polri memang mengalami pergeseran ke arah yang lebih positif.
Laporan Litbang Kompas awal 2025 mencatat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 82%, naik signifikan dari posisi stagnan di kisaran 65-70% pada medio 2019–2021.
Peningkatan ini, menurut pengamat kepolisian Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), tak lepas dari reformasi internal yang dibawa Listyo sejak menjabat sebagai Kapolri pada 2021.
“Kapolri Listyo membawa pendekatan humanis dan digital. Program seperti Dumas Presisi (Pengaduan Masyarakat Presisi) menjadikan Polri lebih responsif dan terbuka terhadap keluhan masyarakat,” ujar Bambang kepada CNBC Indonesia.
Pujian Tinggi, Tapi Masih Banyak PR
Meski apresiasi berdatangan, masyarakat belum sepenuhnya merasa puas. Beberapa kasus pelanggaran etik oleh aparat, hingga dugaan penyalahgunaan kewenangan di daerah, masih kerap mencuat ke permukaan.
Data Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menunjukkan, selama 2024 saja terdapat lebih dari 6.000 laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran oleh anggota Polri.
“Yang dirasakan masyarakat bukan seremoni, tapi tindakan nyata. Di satu sisi kita lihat pelayanan publik membaik, tapi di sisi lain masih ada oknum yang mencoreng wajah institusi,” kata Edi Hasibuan, Direktur Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia.
Edi menyebut gelar adat seperti “Ingatan Budi” seharusnya menjadi beban moral, bukan hanya kehormatan simbolik.
“Kalau Kapolri disebut pengayom oleh adat, maka seluruh jajaran harus ikut mengayomi. Jangan hanya berhenti di atas panggung seremoni,” ujarnya.
Narasi Simbolik dan Kekuasaan Budaya
Gelar adat “Ingatan Budi” bukan penghargaan sembarangan. Ketua DPH LAM Riau menyebut bahwa gelar tersebut mencerminkan “kesadaran moral dan empati,” nilai utama dalam kebudayaan Melayu.
Dalam konteks ini, budaya lokal mencoba memberi penilaian terhadap lembaga negara dari sisi nilai-nilai luhur, bukan sekadar administratif atau politis.
Namun, akademisi antropologi hukum dari Universitas Riau, Zulkarnain Ali, melihat adanya ketegangan antara simbol dan realitas.
“Simbol adat bisa menjadi kritik maupun legitimasi. Tapi ketika simbol terlalu cepat diberikan, ia bisa dianggap mendahului pembuktian sosial,” katanya.
Ia menyebut penganugerahan kepada Kapolri justru bisa menjadi semacam “utang sosial”. Artinya, Kapolri kini ditagih untuk benar-benar menjelmakan makna gelar itu dalam kebijakan nyata, bukan hanya di Riau, tapi di seluruh Indonesia.
Komunikasi Digital dan Gaya Baru Polri
Salah satu aspek yang mengubah persepsi publik terhadap Polri adalah gaya komunikasi. Sejak 2022, Polri makin aktif di media sosial dan kanal digital.
Bahkan akun resmi Humas Polri kerap menanggapi keluhan masyarakat secara real-time, mulai dari kasus tilang, pungli, hingga pelaporan kehilangan.
“Polisi sekarang lebih responsif, terutama di kota-kota besar,” kata Rika Handayani, warga Pekanbaru yang beberapa kali memanfaatkan platform digital Polri. “Saya lapor kehilangan KTP, langsung dibantu dan diarahkan lewat akun resmi. Dulu mah ribet banget.”
Namun, ini belum sepenuhnya menyentuh masyarakat pedalaman. Di beberapa daerah terpencil, akses terhadap pelayanan digital masih sangat terbatas.
Maka, reformasi pelayanan harus dibarengi dengan perluasan jangkauan infrastruktur, termasuk sinyal internet dan kehadiran pos polisi yang ramah warga.
Momentum atau Sekadar Gimik?
Penganugerahan adat seperti ini, dalam logika komunikasi publik, bisa dibaca sebagai strategi penguatan citra. Apalagi di tengah meningkatnya kebutuhan lembaga negara untuk membangun legitimasi sosial di luar ranah formal.
Menurut pakar komunikasi politik, Dinna Wisnu, simbolisasi seperti gelar adat bisa berdampak positif bila diiringi performa lapangan. “Ini bisa menjadi alat nation branding internal.
Tapi kalau terlalu sering dilakukan tanpa bukti di lapangan, masyarakat akan kebal. Ujung-ujungnya malah dianggap gimik,” ujar Dinna.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat hari ini jauh lebih kritis dan cepat bereaksi, terutama di media sosial. “Mereka bisa kagum, tapi juga cepat kecewa kalau ekspektasi tidak dipenuhi.”
Tantangan Ke Depan: Menjaga Konsistensi dan Akuntabilitas
Meski program reformasi sudah dijalankan dan indikator kepercayaan publik membaik, tantangan terbesar Polri ke depan adalah menjaga konsistensi di seluruh lini.
Kapolri sebagai simbol kepemimpinan tak bisa bekerja sendiri sistem dan budaya kerja di tubuh Polri harus mengadopsi semangat yang sama.
“Yang dibutuhkan bukan hanya pemimpin baik, tapi sistem yang baik,” kata Bambang Rukminto. Ia menekankan pentingnya evaluasi rutin, pelatihan etik, serta pembenahan sistem reward and punishment yang jelas.
Selain itu, akuntabilitas publik harus diperkuat. Pengawasan independen, transparansi data pelanggaran, hingga keterbukaan dalam kasus-kasus internal menjadi fondasi penting dalam menjaga kepercayaan jangka panjang.
Gelar adat yang diterima Kapolri bukan akhir, melainkan titik awal dari ekspektasi baru. Publik kini menginginkan bukti nyata bahwa pengayoman bukan sekadar narasi, melainkan pengalaman sehari-hari—mulai dari pelayanan SIM hingga perlindungan hukum di desa-desa.
0Komentar