Data PPATK ungkap 571 ribu penerima bansos main judol. Transaksi tembus Rp975 miliar, bahkan sebagian dana diduga mengalir ke jaringan terorisme. (Ilustrasi: Apluswire/Robin Santoso)

Fakta mengejutkan terungkap dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebanyak 571.410 warga penerima bantuan sosial (bansos) terdeteksi ikut bermain judi online. 

Transaksinya pun tak main-main, menembus hampir Rp975 miliar sepanjang tahun 2024. Ironisnya, dana bantuan negara yang semestinya ditujukan untuk kelompok rentan justru mengalir ke aktivitas ilegal, bahkan diduga turut membiayai jaringan terorisme.

Temuan ini disampaikan Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul dalam rapat koordinasi nasional Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) pada 8 Juli lalu di Jakarta. 

Menurutnya, dugaan tersebut muncul setelah Kemensos mencocokkan 28,4 juta data Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos dengan daftar transaksi judi online yang dikantongi PPATK. 

Hasilnya, setengah juta lebih penerima bansos tercatat sebagai pemain aktif di platform judi daring.

“Ditengarai oleh PPATK sebagai pemain judol ada 571.410 KPM (keluarga penerima manfaat) yang NIK-nya sama,” ujar Gus Ipul.

Jumlah transaksi dari kelompok ini mencapai sekitar 7,5 juta kali dalam setahun. Data sementara ini baru berasal dari satu bank BUMN saja, sementara proses pencocokan dengan bank-bank lain masih berjalan. Artinya, potensi angka sesungguhnya bisa jauh lebih besar.

Tak hanya judi online, PPATK juga menemukan indikasi aliran dana bansos ke tindak pidana lain, termasuk korupsi dan pendanaan terorisme. Tercatat lebih dari 100 NIK penerima bansos diduga terlibat dalam pendanaan aksi teror. Pemerintah kini tengah mendalami keterkaitan tersebut dan mengantisipasi dampak lanjutan.

Sebagai langkah awal, PPATK telah membekukan jutaan rekening yang terindikasi digunakan tidak semestinya. Dari satu bank BUMN saja, total saldo yang diblokir mencapai lebih dari Rp2 triliun. 

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pembersihan dan verifikasi menyeluruh yang sedang dijalankan bersama Kementerian Sosial.

Di tengah situasi ini, DPR RI angkat suara. Anggota Komisi VIII, Selly Andriany, menilai sistem pendataan dan penyaluran bansos harus dievaluasi total. Ia juga mendorong agar pemerintah membangun mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat hingga tingkat akar rumput.

“Bukan hanya soal pemblokiran, tapi juga edukasi keuangan bagi penerima bansos agar mereka tahu dana itu harus digunakan untuk kebutuhan dasar, bukan judi,” ujar Selly.

Sementara itu, Kemensos belum mengambil keputusan final terkait sanksi terhadap para penerima bansos yang terindikasi bermain judi. 

Pemerintah masih menunggu hasil investigasi menyeluruh. Namun, opsi pencoretan dari daftar penerima bansos terbuka jika terbukti terjadi penyalahgunaan secara sadar.

Di sisi lain, publik mempertanyakan efektivitas verifikasi data penerima bansos. Ketidaktepatan sasaran, data ganda, hingga lemahnya kontrol digital disebut menjadi akar persoalan. 

Dampaknya bukan hanya kebocoran anggaran, tapi juga penurunan kepercayaan masyarakat terhadap program perlindungan sosial yang selama ini jadi andalan negara dalam menekan angka kemiskinan.

Jika masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin krisis kepercayaan makin dalam. Apalagi, bansos selama ini menjadi tumpuan utama bagi jutaan warga prasejahtera, terutama pasca pandemi dan tekanan ekonomi global.

Pemerintah kini dihadapkan pada dilema besar: menyelamatkan kredibilitas program bansos atau membiarkan citranya runtuh akibat ulah segelintir oknum penerima. Transparansi, kecepatan verifikasi, dan ketegasan penegakan aturan akan jadi kunci untuk keluar dari pusaran ini.