Perlambatan ekonomi di awal 2025 memunculkan persoalan besar yang selama ini seperti bom waktu: krisis pekerjaan layak. Angka pertumbuhan ekonomi yang turun ke 4,87% terendah dalam tiga tahun terakhir bukan sekadar sinyal perlambatan bisnis.
Ini adalah cermin dari masalah yang lebih dalam: fondasi ketenagakerjaan nasional yang rapuh, tidak tahan guncangan, dan semakin sulit menyerap angkatan kerja baru.
Per Februari 2025, jumlah penganggur masih berada di angka 7,28 juta orang. Dalam empat bulan pertama saja, lebih dari 24 ribu pekerja kehilangan pekerjaan. Dunia kerja Indonesia sedang terguncang hebat.
Ekonomi Tersendat, Dunia Kerja Kena Imbas Langsung
Kuartal pertama 2025 mencatat pertumbuhan hanya 4,87% secara tahunan, turun tajam dari 5,11% pada periode yang sama tahun lalu. Ini adalah titik kritis di bawah ambang psikologis 5% yang selama ini dianggap batas aman.
Menurut laporan BPS, anjloknya permintaan domestik, masuknya barang impor dalam jumlah besar, dan efisiensi industri menjadi penyebab utama. Sektor manufaktur, perdagangan, serta informasi dan komunikasi memang masih jadi penopang, tapi tak cukup kuat untuk mendorong ekonomi naik kelas.
“Permintaan dalam negeri melemah, sementara banjir impor menghantam industri lokal,” tulis Kementerian Keuangan dalam laporan kuartalannya. Di sinilah celah itu muncul, saat roda produksi melambat, pekerjaan menjadi tumbal pertama.
![]() |
Ribuan pencari kerja memadati pusat rekrutmen di Jakarta. Sebagian besar lowongan masih berada di sektor informal tanpa jaminan kesejahteraan. |
Secara statistik, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2025 turun ke 4,76% angka terendah sejak krisis moneter 1998. Tapi, secara absolut, 7,28 juta orang masih menganggur. Dan lebih penting lagi, pekerjaan yang tersedia semakin jauh dari kategori “layak”.
Sebagian besar lapangan kerja baru justru berada di sektor informal pertanian, perdagangan, jasa harian yang minim jaminan sosial, tidak punya kepastian kontrak, dan rentan gejolak.
“Pekerjaan yang tersedia saat ini banyak yang tidak memenuhi definisi pekerjaan layak,” ujar Isna Fitria Agustina, dosen administrasi publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Padahal menurut ILO, pekerjaan layak itu harus produktif, berupah adil, dan punya prospek berkembang.
Lonjakan PHK: “Pekerja Menjerit, Industri Tercekik”
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 24.036 pekerja kena PHK hanya dalam empat bulan pertama 2025. Lonjakan ini terjadi terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan manufaktur, yang selama ini dikenal paling banyak menyerap tenaga kerja.
Persaingan ketat dengan produk impor murah, tekanan biaya produksi, hingga gejolak harga bahan baku memaksa perusahaan melakukan efisiensi. Sayangnya, efisiensi itu kerap berarti satu hal: pengurangan tenaga kerja.
![]() |
Pertumbuhan lapangan kerja sepanjang setahun terakhir masih banyak bergantung pada sektor informal, jauh dari standar pekerjaan layak. (Diskominfo Kota Madiun) |
Dari 3,59 juta lapangan kerja baru yang tercipta sepanjang Februari 2024 hingga Februari 2025, mayoritas berasal dari sektor informal.
Pekerja penuh memang naik sedikit dari 65,6% menjadi 66,2%, dan setengah pengangguran menurun dari 8,5% ke 8%. Tapi peningkatan ini tidak mencerminkan kualitas, hanya kuantitas.
Masalahnya, sektor informal tidak bisa diandalkan sebagai jaring pengaman sosial jangka panjang. Tak ada BPJS Ketenagakerjaan, tak ada tunjangan, dan nyaris tidak ada perlindungan hukum.
Bappenas sendiri sudah mewanti-wanti: kesejahteraan nasional tidak akan tercapai jika pekerjaan formal tidak ditingkatkan secara signifikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Investasi Asing Datang, Tapi Manfaatnya Masih Dipertanyakan
Di tengah lesunya lapangan kerja, investasi asing langsung (FDI) justru mencetak rekor. Pada kuartal III-2024, FDI di sektor manufaktur mencapai Rp232,65 triliun, naik hampir 16% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini berlanjut pada awal 2025, yang menunjukkan bahwa Indonesia tetap menarik di mata investor global.
Namun, dampaknya pada tenaga kerja tidak selalu positif. Penelitian Universitas Airlangga menunjukkan bahwa banyak investor asing membawa sistem kerja yang menekan upah demi efisiensi, bahkan menggantikan pekerja lokal dengan teknologi otomatisasi atau tenaga kerja asing.
“Investasi masuk, tapi apakah membawa kesejahteraan atau sekadar mengejar efisiensi?” ujar salah satu peneliti dalam laporan itu. Ini jadi pertanyaan besar investasi boleh naik, tapi kualitas lapangan kerja juga harus ikut tumbuh.
Masyarakat Pesimistis, Pengangguran Sarjana Jadi Sorotan
Survei Bank Indonesia per Mei 2025 menunjukkan tren pesimisme publik soal lapangan kerja. Indeks keyakinan konsumen terhadap peluang kerja menurun. Yang lebih mencemaskan, pengangguran sarjana justru naik.
“Banyak lulusan tidak terserap karena tidak cocok dengan kebutuhan industri,” kata Togar Mangihut Simatupang, Sekjen Kementerian Pendidikan Tinggi.
Pemerintah kini tengah mendorong reformasi kurikulum perguruan tinggi agar lebih responsif terhadap pasar tenaga kerja.
Untuk merespons krisis, pemerintah menyiapkan Satuan Tugas (Satgas) PHK, memperluas pelatihan vokasi, dan memperkuat program seperti Kartu Prakerja. Fokusnya adalah menyiapkan keterampilan baru, membina wirausaha, dan memperluas akses ke pembiayaan mikro.
Program pelatihan kini diperluas ke komunitas lokal dan sektor pertanian. Pemerintah juga menggandeng dunia industri dalam menyusun kurikulum pelatihan, agar tak lagi sekadar “pelatihan formalitas”.
![]() |
Penguatan pelatihan keterampilan menjadi strategi utama pemerintah dalam merespons darurat ketenagakerjaan. (tangerangkota.go.id) |
Namun, efektivitasnya masih jadi pertanyaan. Evaluasi yang dilakukan terhadap pelatihan kerja berbasis metode Kirkpatrick menunjukkan banyak pelatihan belum sesuai kebutuhan dunia kerja, baik dari sisi materi, durasi, maupun pelatihnya.
Manufaktur Mulai Pulih, Tapi Risiko Masih Besar
Indeks PMI manufaktur per Desember 2024 sempat naik ke 51,9 level tertinggi dalam enam bulan terakhir. Kenaikan produksi, ekspor, dan penjualan listrik industri (naik 4,3% tahunan) menunjukkan geliat positif. Tapi tekanan tetap tinggi.
Depresiasi rupiah, suku bunga tinggi, dan serbuan barang impor menjadi hambatan. Rata-rata pertumbuhan PDB manufaktur 2014–2022 memang 3,44%—lebih tinggi dari rata-rata global—tapi tetap di bawah target ideal 5%.
Subsektor seperti barang logam (tumbuh 31,5%) dan alat angkut (26,5%) memimpin, tapi sektor lain seperti furnitur justru terkontraksi. Harapan masih ada, tapi jalannya terjal.
Ketua DPR Puan Maharani menyatakan akan meminta komisi terkait menindaklanjuti lonjakan pengangguran. “Statistik ini tidak bisa diabaikan,” katanya tegas.
Di sisi lain, Bappenas tengah menyusun roadmap kesejahteraan jangka panjang, dengan fokus pada peningkatan pekerjaan formal.
“Pekerjaan layak bukan sekadar jargon, tapi fondasi kesejahteraan,” kata salah satu pejabat Bappenas. Pemerintah diminta memperjelas arah kebijakan, dari regulasi investasi, insentif tenaga kerja lokal, hingga redistribusi industri ke luar Jawa.
Teknologi dan Keterampilan Jadi Kunci
Teknologi otomatisasi dan kecerdasan buatan makin menggerus kebutuhan tenaga kerja di sektor padat karya. Di sisi lain, tenaga kerja Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi industri berbasis digital dan teknologi tinggi.
Skill mismatch menjadi isu klasik yang belum tuntas. “Kita butuh pelatihan yang benar-benar aplikatif, bukan sekadar pelatihan seremonial,” ujar peneliti UGM yang meninjau pelatihan di Balai Latihan Kerja Yogyakarta.
Pemerintah tak bisa jalan sendiri. Kolaborasi lintas sektor adalah harga mati: antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil.
UMKM perlu diperkuat, pelatihan harus relevan, dan investasi asing perlu diarahkan agar tidak hanya mencari untung, tapi juga menumbuhkan lapangan kerja berkualitas.
“Kita tidak bisa kerja sendiri. Semua pihak harus terlibat untuk memastikan pekerja Indonesia mendapatkan pekerjaan yang layak,” kata Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.
Krisis ini nyata. Dan kalau tidak ditangani serius, bisa berubah menjadi krisis sosial yang lebih besar. Pertanyaannya, apakah langkah-langkah hari ini cukup untuk mencegahnya?
0Komentar