Tambahan anggaran Polri sebesar Rp 63,7 triliun untuk 2026 memicu kontroversi luas. Di balik lonjakan ini, publik mempertanyakan urgensi, transparansi, dan efektivitas penggunaan dana. (Ilustrasi: Apluswire/Robin Santoso)

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 63,7 triliun untuk tahun 2026, melambungkan total anggaran menjadi Rp 173,4 triliun, naik 37% dari pagu sebelumnya Rp 109,6 triliun. Kenaikan ini, yang disampaikan dalam rapat bersama Komisi III DPR, langsung memicu gelombang polemik. 

Publik, pengamat, hingga lembaga anti-korupsi mempertanyakan urgensi dan transparansi di balik lonjakan anggaran ini. 

Di tengah citra Polri yang masih terluka akibat kasus-kasus besar, seperti Ferdy Sambo dan tragedi Kanjuruhan, pertanyaan besar mengemuka: untuk apa dana raksasa ini, dan siapa yang benar-benar diuntungkan?

Anggaran Jumbo untuk Apa Saja?

Polri merinci alokasi tambahan anggaran ini dengan tiga pilar utama. Pertama, belanja pegawai sebesar Rp 4,8 triliun untuk gaji personel baru dan kenaikan tunjangan kinerja aparatur sipil negara (ASN) Polri. 

Kedua, belanja barang Rp 13,8 triliun dialokasikan untuk operasional kepolisian, pengembangan Polda baru, command center, hingga pengamanan perbatasan. 

Ketiga, belanja modal sebesar Rp 45,1 triliun untuk pengadaan kendaraan listrik, kapal pemburu cepat, peralatan penanganan kasus narkoba dan kejahatan siber, serta pembangunan markas polsek dan rumah dinas anggota.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa tambahan anggaran ini krusial untuk memperkuat tugas kepolisian di tengah tantangan keamanan yang kian kompleks. 

“Kami butuh modernisasi alat, penguatan di wilayah rawan, dan peningkatan kesejahteraan anggota untuk menjalankan tugas secara maksimal,” ujarnya dalam rapat bersama DPR, seperti dikutip Kompas.com (8 Juli 2025). 

Polri juga menyoroti kebutuhan teknologi canggih untuk menghadapi kejahatan siber dan peredaran narkoba yang semakin cerdas.

Namun, alasan ini tak serta-merta diterima publik. “Anggaran sebesar ini harus dijelaskan dengan terbuka. Untuk apa Rp 45 triliun belanja modal? Apakah benar-benar untuk publik atau ada kepentingan lain?” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, kepada Republika pada 9 Juli 2025.

Transparansi yang Tersandung Bayang-Bayang Korupsi

Salah satu pemicu utama polemik adalah isu transparansi. Polri, sebagai institusi dengan anggaran terbesar kedua di Indonesia setelah Kementerian Pertahanan, kerap dikritik karena minimnya akses publik terhadap laporan penggunaan anggaran. 

Menurut ICW, laporan tahunan Polri sulit diakses, dan detail pengadaan barang serta jasa sering kali buram. “Belanja barang dan modal, yang mencapai Rp 58,9 triliun dari total tambahan, adalah sektor yang paling rawan korupsi,” ungkap Kurnia

Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan Polri masih menghadapi tantangan, seperti ketidaksesuaian pencatatan aset dan hibah yang belum disahkan. 

Pada 2023, Polri mengelola 1.435 satuan kerja (Satker), jumlah yang sangat besar, sehingga koordinasi dan pelaporan keuangan kerap bermasalah. 

“Kompleksitas organisasi Polri membuat pengawasan internal sulit dilakukan secara menyeluruh,” jelas laporan strategis Pusat Keuangan Polri (2023).

Pengawasan eksternal oleh DPR dan BPK juga dinilai lemah. “DPR seharusnya lebih kritis mempertanyakan kebutuhan riil anggaran ini. Namun, yang terlihat justru kesan ‘main mata’ antara Polri dan Komisi III,” kritik pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Agus Supriyanto. 

Ketidakjelasan ini memicu kecurigaan bahwa anggaran besar ini rentan disalahgunakan, terutama di tengah sejarah pengadaan Polri yang pernah bermasalah, seperti kontroversi pengadaan robot polisi pada HUT Bhayangkara 2024.

Kinerja Polri di Bawah Sorotan Publik

Polemik anggaran ini tak lepas dari bayang-bayang kinerja Polri yang masih dipertanyakan. Survei Populi Center pada Oktober 2022 mencatat kepercayaan publik terhadap Polri merosot tajam ke angka 6,06 dari skala 10, menempatkan Polri di peringkat ke-10 dari 13 lembaga negara. 

Kasus Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, hingga kematian Pandu dalam pengamanan unjuk rasa menjadi pemicu utama erosi kepercayaan ini. 

“Publik merasa dikhianati. Polri seharusnya memperbaiki kinerja dan citra sebelum meminta anggaran jumbo,” kata aktivis dari Suara USU, Rudi Hartono, dalam artikelnya.

Fenomena “no viral, no justice” semakin memperburuk persepsi. Banyak kasus yang melibatkan Polri baru mendapat perhatian serius setelah viral di media sosial.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa Polri hanya responsif di bawah tekanan publik, bukan karena komitmen internal. Media sosial, dengan algoritma yang mengamplifikasi konten emosional, memperkuat narasi negatif. 

“Berita buruk tentang Polri menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Ini tantangan besar bagi Polri,” ujar pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Deddy Mulyana, dalam jurnal Similia.

Meski begitu, ada titik terang. Survei Tempo pada April 2023 menunjukkan kepercayaan publik mulai pulih, mencapai 73,2%, berkat langkah tegas Kapolri terhadap oknum bermasalah dan upaya reformasi internal. 

Namun, polemik anggaran ini berisiko menggerus kembali kepercayaan yang baru mulai dibangun.

Prioritas Anggaran: Publik atau Prestise?

Kritik lain yang mencuat adalah soal prioritas anggaran. Dari Rp 63,7 triliun tambahan, 70% dialokasikan untuk belanja modal, seperti kendaraan listrik dan kapal pemburu cepat. 

Publik mempertanyakan apakah ini benar-benar kebutuhan mendesak atau sekadar proyek prestise. Robot polisi yang diujicobakan tahun lalu jadi contoh. 

Publik melihatnya sebagai pemborosan, bukan inovasi. Sementara itu, belanja pegawai hanya mendapat porsi 7,5%, padahal kesejahteraan anggota kerap menjadi alasan utama permintaan anggaran.

“Polri harus fokus pada layanan publik langsung, seperti peningkatan pelayanan di polsek atau penanganan kasus secara cepat, bukan proyek besar yang manfaatnya belum jelas,” tegas Kurnia dari ICW. 

Data menunjukkan bahwa Polri masih menghadapi tantangan dalam layanan publik, dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kepolisian hanya 65% berdasarkan survei JLP Polri.

Pengawasan yang Masih Rapuh

Mekanisme pengawasan anggaran Polri melibatkan pengawasan internal melalui Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) dan Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda), serta eksternal oleh BPK, DPR, Kompolnas, dan Ombudsman. 

Namun, pengawasan ini dinilai belum optimal. “Itwasum dan Itwasda punya tugas berat, tapi koordinasi di 1.435 Satker sangat sulit. Belum lagi keterbatasan SDM dan teknologi,” ungkap laporan Pusat Keuangan Polri pada 2023.

BPK, sebagai auditor eksternal, sering menemukan ketidaksesuaian dalam pencatatan aset dan hibah. 

“Audit BPK efektif untuk menemukan masalah, tapi tindak lanjutnya bergantung pada kemauan Polri dan DPR. Ini yang sering lemah,” kata Agus Supriyanto. 

LSM dan media juga berperan, tapi keterbatasan akses informasi membuat pengawasan publik sulit dilakukan. “Publik butuh laporan yang jelas, bukan sekadar angka besar tanpa rincian,” tambahnya.

Media Sosial: Amplifikasi Polemik

Media sosial menjadi katalis yang memperbesar polemik ini. Algoritma platform seperti X cenderung mempromosikan konten yang memicu emosi, sehingga berita negatif tentang Polri—termasuk soal anggaran cepat viral. 

“Narasi negatif di media sosial sulit dilawan karena Polri masih lemah dalam komunikasi publik,” ujar Deddy Mulyana. 

Studi Relasi pada 2025 menunjukkan bahwa Polri belum optimal memanfaatkan media sosial untuk klarifikasi atau membangun citra positif, sehingga narasi negatif lebih dominan.

Contohnya, framing pengawalan kendaraan mewah oleh polisi sebagai “pengistimewaan orang kaya” di media sosial memperburuk persepsi publik, padahal tujuannya adalah menjaga ketertiban. 

“Polri harus belajar mengelola narasi di era digital. Kalau tidak, setiap kebijakan, termasuk anggaran, akan terus jadi bahan hujatan,” kata Deddy.

Transparansi atau Krisis Kepercayaan?

Polemik anggaran Polri mencerminkan tantangan besar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan operasional dengan kepercayaan publik. Dengan anggaran yang terus membengkak, Polri harus membuktikan bahwa dana ini benar-benar untuk kepentingan publik. 

“Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci. Polri harus buka laporan keuangan secara detail dan libatkan masyarakat dalam pengawasan,” saran Kurnia.

Langkah konkret yang bisa dilakukan termasuk memperkuat sistem digital untuk pelaporan keuangan, melatih SDM keuangan di seluruh Satker, dan membuka data pengadaan untuk publik. 

Selain itu, DPR perlu lebih kritis dalam mengevaluasi usulan anggaran, bukan sekadar menyetujui tanpa debat mendalam. 

“Jika transparansi ditingkatkan, polemik ini bisa diredam, dan kepercayaan publik bisa pulih,” tutup Agus Supriyanto.

Polemik anggaran Polri Rp 63,7 triliun bukan sekadar soal angka, melainkan cerminan kepercayaan publik yang rapuh. 

Tanpa perbaikan tata kelola dan komunikasi yang terbuka, tambahan anggaran ini berisiko menjadi bumerang yang semakin menjauhkan Polri dari rakyat yang seharusnya dilayaninya.