![]() |
Francesca Albanese disanksi AS usai laporkan dugaan genosida Israel di Gaza dan soroti keterlibatan puluhan korporasi global termasuk raksasa teknologi. (AFP/IDA MARRIE ODGARD) |
Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di wilayah Palestina, pada 9 Juli 2025. Langkah ini dilakukan tak lama setelah Albanese merilis laporan tegas yang menyebut Israel terlibat dalam dugaan genosida di Gaza.
Sanksi itu langsung memantik reaksi global tak hanya dari komunitas hak asasi manusia, tapi juga dari jajaran diplomatik dunia yang mempertanyakan posisi Washington dalam mendukung supremasi hukum internasional.
“Hari ini kami mengambil langkah tegas terhadap Francesca Albanese atas upayanya yang tidak sah dan bermotif politik untuk memengaruhi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) agar menargetkan pejabat dan bisnis Amerika serta Israel,” ujar Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam pernyataan resmi di platform X.
Rubio menuding Albanese menyalahgunakan posisinya dan menyebarkan “agenda politis” yang dianggap merugikan kepentingan nasional Amerika Serikat dan sekutunya.
Namun bagi sebagian kalangan, sanksi ini justru memperkuat tudingan bahwa AS menekan lembaga internasional agar tak menyentuh pelanggaran HAM oleh Israel.
Genosida, Perusahaan Global, dan “Ekonomi Pendudukan”
Laporan terbaru Albanese menjadi sorotan bukan hanya karena berani menyebut istilah genosida, tapi juga karena menyoroti keterlibatan lebih dari 60 perusahaan global termasuk Google, Amazon, dan Microsoft yang diduga ikut menopang infrastruktur militer Israel di Gaza dan pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat.
Dalam laporannya, Albanese menyebut bahwa ekonomi pendudukan telah berubah menjadi “ekonomi genosida”, merujuk pada relasi bisnis global yang mendapat keuntungan dari penderitaan warga Palestina.
Ia menyatakan bahwa “kejahatan struktural seperti ini tidak dapat berlangsung tanpa dukungan sistemik dari negara dan korporasi yang membiayai serta mendistribusikan alat kekerasan.”
Bukan hanya sektor teknologi, laporan tersebut juga menyinggung perusahaan-perusahaan pertahanan yang diduga memasok senjata untuk operasi militer di Gaza sejak Oktober 2023.
Dalam konflik ini, lebih dari 36.000 warga Palestina tewas, mayoritas merupakan perempuan dan anak-anak angka yang kemudian menjadi dasar bagi permintaan surat penangkapan oleh ICC terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Sanksi: Pembekuan Aset, Larangan Masuk, hingga Blokir Transaksi
Sebagai konsekuensi atas laporannya, pemerintah AS resmi menjatuhkan sanksi terhadap Francesca Albanese dalam bentuk pembekuan seluruh aset yang berada di yurisdiksi Amerika Serikat, larangan masuk ke wilayah AS, serta pelarangan semua bentuk transaksi finansial dengan warga negara atau entitas AS.
Ini menjadikannya pelapor PBB pertama yang dikenai sanksi sepihak oleh Washington karena pekerjaannya di lembaga internasional.
Albanese menanggapi sanksi tersebut dengan nada tajam. “Ini adalah teknik intimidasi ala mafia yang hanya akan memperkuat tekad saya untuk menegakkan keadilan,” tulisnya dalam pernyataan resmi, menyindir keras tekanan politik yang dialaminya.
Bukan Sekadar Laporan, Tapi Tekanan ke ICC dan Negara Sekutu
AS menuduh bahwa laporan Albanese mendorong ICC untuk mengambil langkah agresif terhadap tokoh dan perusahaan asal AS dan Israel.
Laporan itu juga memuat permintaan agar negara-negara Eropa mencabut akses Netanyahu ke wilayah udara mereka, termasuk saat penerbangannya ke Washington yang melewati Italia, Prancis, dan Yunani.
Netanyahu sendiri kini menjadi target surat perintah penangkapan dari ICC atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Namun, sebagian negara Barat termasuk AS tidak mengakui yurisdiksi ICC atas warga negaranya dan sekutunya, yang memperkeruh posisi hukum di tingkat internasional.
Francesca Albanese sebelumnya juga menjadi sasaran kampanye untuk dicopot dari jabatannya oleh kelompok pro-Israel di AS. Permintaan resmi bahkan sempat dilayangkan ke Sekjen PBB, meskipun belum ditanggapi secara publik oleh badan dunia tersebut.
PBB Bungkam, Tapi Komunitas HAM Bergerak
Hingga kini, PBB belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait sanksi yang dijatuhkan terhadap salah satu pelapor khususnya. Namun, sejumlah pejabat dan organisasi hak asasi manusia mengutuk langkah AS sebagai preseden buruk dalam sistem internasional.
“Ini bukan hanya soal Francesca Albanese. Ini adalah serangan terhadap independensi pelapor khusus PBB dan kredibilitas lembaga internasional dalam menghadapi pelanggaran berat,” ujar seorang pejabat senior PBB, dikutip dari laporan media internasional.
Beberapa analis menyebut, sanksi ini berpotensi memperuncing konflik antara negara-negara anggota Dewan HAM PBB.
Negara-negara Global South, termasuk Afrika Selatan dan Malaysia, terang-terangan mendukung laporan Albanese dan menilai langkah AS sebagai sabotase terhadap penegakan hukum internasional.
Dampaknya ke Diplomasi dan Tata Hukum Global
Kisruh antara AS dan Francesca Albanese bukanlah konflik personal. Ia mencerminkan ketegangan geopolitik yang lebih besar: antara kekuatan Barat yang dituding melindungi Israel, dan lembaga-lembaga internasional yang mencoba menegakkan akuntabilitas hukum di tengah tekanan politik dan ekonomi.
“Sanksi terhadap Albanese mencerminkan ketegangan sistemik antara negara-negara kuat dan badan-badan internasional. Ini bukan hanya peringatan bagi pelapor khusus PBB, tapi juga pesan keras kepada siapa pun yang mencoba menggugat status quo,” kata seorang pakar hukum internasional dari Universitas Oxford dalam analisisnya.
Lebih jauh, tindakan AS ini juga membuka perdebatan baru tentang peran Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan efektivitasnya dalam menegakkan hukum, terutama ketika negara-negara besar memilih keluar dari yurisdiksi atau menolak tunduk pada keputusan pengadilan internasional.
Dari Gaza ke Washington: Ketegangan Meningkat
Momen pengumuman sanksi ini juga bertepatan dengan kunjungan Benjamin Netanyahu ke Washington. Kunjungan itu disebut-sebut sebagai bagian dari diplomasi tingkat tinggi untuk menggalang dukungan politik dan ekonomi di tengah tekanan internasional atas agresi militer di Gaza.
Banyak pihak menilai sanksi terhadap Albanese merupakan “karpet merah” simbolis yang digelar Washington bagi Netanyahu.
Sementara di Gaza, kondisi kemanusiaan terus memburuk. PBB mencatat bahwa lebih dari 80% populasi kini bergantung pada bantuan makanan, dengan sebagian wilayah utara Gaza menghadapi risiko kelaparan massal.
Laporan Albanese menjadi salah satu dokumen penting yang membuka akses dunia terhadap kompleksitas krisis ini—dari dimensi militer, kemanusiaan, hingga ekonomi global.
Tekanan Meningkat, Tapi Albanese Tak Surut
Meski dijatuhi sanksi berat, Francesca Albanese tampaknya tidak akan surut. Dalam wawancaranya dengan media internasional, ia menyatakan bahwa sanksi ini justru mengungkapkan betapa kuatnya tekanan terhadap siapapun yang berani menyuarakan keadilan untuk Palestina.
“Saya tidak akan berhenti. Dunia perlu tahu apa yang terjadi. Jika kita menyerah pada intimidasi seperti ini, maka kita telah gagal membela nilai-nilai dasar kemanusiaan,” tegasnya.
Bagi banyak pihak, Albanese kini telah menjadi simbol perlawanan diplomatik di tengah konflik yang kian memanas. Sanksi AS mungkin dimaksudkan untuk membungkam, tapi justru memperkuat suaranya di panggung internasional.
0Komentar