![]() |
Indonesia target jadi pusat ekonomi halal dunia lewat SGIE 2025. Tapi masih banyak tantangan yang membuat proyeksi pertumbuhan belum sepenuhnya aman. (Ist) |
Indonesia kembali mencetak sejarah dalam lanskap ekonomi syariah global. Dalam laporan The State of Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025, Indonesia sukses mempertahankan posisi ketiga dunia prestasi yang hanya bisa diraih segelintir negara dengan ekosistem halal yang matang.
Namun, di balik pencapaian itu, tantangan struktural dan tekanan krisis global masih menghantui sektor keuangan syariah nasional.
Lompatan signifikan ini bukan terjadi dalam semalam. Pada 2014, Indonesia masih berada di peringkat 10 dunia. Sepuluh tahun kemudian, loncatan ke posisi tiga besar dunia menjadi bukti kerja keras lintas sektor, mulai dari pemerintah, pelaku industri, hingga institusi keuangan.
Tahun 2023, Indonesia bahkan memimpin negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam jumlah transaksi investasi ekonomi halal: 40 transaksi senilai US$1,6 miliar.
Secara sektoral, Indonesia mencetak skor tinggi pada busana muslim (peringkat 1), wisata ramah muslim dan farmasi-kosmetik (peringkat 2), serta makanan halal (peringkat 4).
Sementara di sektor keuangan Islam, Indonesia berada di posisi keenam, menunjukkan masih adanya ruang besar untuk akselerasi.
BI Proyeksikan Pertumbuhan hingga 5,6 Persen
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan ekonomi syariah nasional akan tumbuh di kisaran 4,8%–5,6% pada tahun 2025. Angka ini mencerminkan optimisme atas perkembangan sektor halal yang semakin solid di tengah tren konsumerisme halal dan meningkatnya preferensi masyarakat terhadap produk dan layanan berbasis syariah.
Untuk mencapai target tersebut, transformasi ekonomi syariah disusun dalam tiga pilar besar: penguatan sistem produk halal, pengembangan keuangan syariah (termasuk instrumen seperti SukBI dan SUVBI), serta peningkatan literasi dan inklusi ekonomi syariah.
Salah satu target utama yang dicanangkan adalah mendorong tingkat literasi dan inklusi ekonomi syariah mencapai 50% secara nasional pada 2025. Strateginya adalah menyebar Festival Ekonomi Syariah (FESyar) ke seluruh provinsi dan memperluas kanal edukasi publik.
Krisis Global Jadi Ujian Ketahanan Ekonomi Syariah
Meski punya landasan kokoh, ekonomi syariah RI tak kebal dari tekanan eksternal. Krisis ekonomi global, perang dagang, hingga perlambatan ekonomi negara-negara besar menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga keuangan syariah nasional.
Berbeda dengan sistem keuangan konvensional, ekonomi syariah secara prinsip memiliki keunggulan ketahanan karena larangan atas riba, gharar (ketidakpastian), dan spekulasi.
Namun dalam praktiknya, lembaga keuangan syariah tetap rentan terhadap tekanan pasar yang volatil. Terutama ketika harus berhadapan dengan ekspektasi imbal hasil dan tekanan likuiditas global.
Studi dari berbagai institusi menunjukkan bahwa lembaga keuangan syariah menghadapi dilema serius: antara tetap menjaga kepatuhan syariah atau menyesuaikan diri dengan dinamika pasar agar bisa bertahan.
Salah satu tantangan besar adalah keterbatasan inovasi produk, yang membuat layanan syariah dianggap kurang fleksibel dan lambat beradaptasi.
Inovasi dan Teknologi Jadi Kunci, Tapi SDM Masih Minim
Teknologi digital menjadi game changer di tengah tekanan global. Di beberapa negara, krisis justru mendorong lahirnya produk-produk baru berbasis syariah yang lebih adaptif seperti pembiayaan mikro berbasis QRIS, wakaf digital, hingga produk investasi hijau yang sesuai prinsip Islam.
Namun di Indonesia, adopsi teknologi ini belum merata. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya sumber daya manusia yang memahami prinsip ekonomi Islam sekaligus teknologi dan dinamika pasar modern. Ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam pengembangan produk dan inovasi baru.
Tak hanya itu, lembaga keuangan syariah juga menghadapi tekanan dari sisi regulasi dan standar internasional.
Mereka harus memenuhi aturan dari badan global seperti IFSB dan AAOIFI yang menuntut tata kelola, transparansi, dan pelaporan tinggi. Gagal memenuhi hal ini berarti kehilangan akses ke pasar investasi internasional.
Persaingan juga semakin ketat, terutama dengan kehadiran lembaga keuangan konvensional yang mulai menawarkan produk berbasis syariah. Di pasar terbuka seperti ASEAN, efisiensi dan daya saing menjadi keharusan, bukan pilihan.
Menuju Pusat Ekonomi Halal Dunia, Mampukah RI?
Transformasi ekonomi syariah menjadi bagian dari prioritas nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2025–2029, Indonesia menargetkan diri sebagai pusat industri halal dunia.
Namun target ambisius ini tak bisa dicapai tanpa pembenahan mendasar—dari SDM, regulasi, hingga inovasi produk.
Kolaborasi lintas sektor dan konsistensi kebijakan menjadi kunci. Dukungan dari lembaga seperti Bank Indonesia, OJK, hingga KNEKS juga harus terus diperkuat.
Apalagi, di tengah krisis global, kebutuhan terhadap sistem ekonomi yang lebih etis dan stabil semakin tinggi.
Tak hanya umat Islam, komunitas global mulai melirik ekonomi syariah sebagai alternatif yang menjanjikan. Ini adalah peluang yang tak boleh disia-siakan.
Jika berhasil mengatasi tantangan internal dan eksternal, bukan tidak mungkin Indonesia naik ke posisi puncak sebagai kekuatan ekonomi halal dunia dalam beberapa tahun ke depan.
0Komentar