Setelah tiga tahun dikebut sejak 2022, pembangunan tahap pertama Ibu Kota Nusantara (IKN) dinyatakan rampung 100 persen. Tapi belum juga roda pemerintahan resmi dipindah, negara sudah harus menyiapkan anggaran jumbo hanya untuk satu hal: pemeliharaan.
Otorita IKN (OIKN) menyebut, biaya perawatan aset negara yang telah dibangun di Kalimantan Timur ini bisa menyentuh Rp 300 miliar per tahun, dan sepenuhnya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kepala OIKN, Basuki Hadimuljono, menegaskan bahwa biaya ini tidak bisa ditawar. Semua infrastruktur dan gedung yang sudah berdiri dari jalan akses, jembatan, hingga kantor-kantor pemerintahan sudah harus dirawat agar tidak rusak sebelum digunakan.
“Aset sudah jadi, tapi kalau tidak dipelihara akan memburuk dan jadi pemborosan,” kata Basuki, dikutip dari berbagai kesempatan.
Anggaran pemeliharaan tersebut merupakan bagian dari total kebutuhan dana yang diajukan OIKN untuk tahun 2026. Dalam dokumen resmi, OIKN mengusulkan tambahan anggaran Rp 16,13 triliun, sehingga total kebutuhan dana pengelolaan dan pembangunan lanjutan di IKN mencapai Rp 21,1 triliun.
Sebagian dari angka itu dialokasikan khusus untuk menjaga kualitas infrastruktur yang sudah berdiri agar tidak menyusut nilai manfaatnya.
Aset Sudah Jadi, Tapi Masih Diserahkan Bertahap
Penyelesaian tahap pertama mencakup pembangunan berbagai infrastruktur dasar, termasuk jalan utama, sistem drainase, kantor presiden, dan sejumlah gedung pemerintahan. Semua dibangun dalam rentang 2022 hingga pertengahan 2025.
Namun hingga kini, proses serah terima aset dari Kementerian PUPR ke OIKN masih dilakukan bertahap. Artinya, sementara ini beberapa aset masih dikelola langsung oleh kontraktor pelaksana hingga mekanisme penyerahan selesai secara administratif.
Situasi ini membuat proses pemeliharaan menjadi krusial dan kompleks. Di satu sisi, negara harus menjamin seluruh bangunan dan infrastruktur tetap dalam kondisi prima.
Di sisi lain, alokasi anggaran besar ini menimbulkan pertanyaan baru soal efisiensi dan tata kelola. Tak sedikit pihak yang mempertanyakan: apakah skema pemeliharaan aset negara ini sudah cukup transparan dan berkelanjutan?
Kebutuhan Pemeliharaan Besar Karena Kualitas Tinggi
Otorita IKN berdalih, tingginya biaya pemeliharaan disebabkan karena kualitas aset yang dibangun memang berstandar tinggi.
Banyak bangunan di IKN menerapkan konsep smart building dan green design, yang tidak bisa dirawat dengan pendekatan konvensional.
Misalnya, gedung dengan sistem pendingin ramah lingkungan, pengolahan air daur ulang, serta sistem pencahayaan otomatis. Semua itu butuh teknisi khusus dan biaya yang tidak murah.
Di sisi lain, faktor lain yang ikut mendongkrak biaya adalah karakter geografis IKN. Kalimantan Timur, sebagai lokasi ibu kota baru, memiliki tantangan tersendiri dalam hal cuaca, korosi, dan logistik pemeliharaan.
Infrastruktur seperti jembatan dan jalan yang berada di wilayah hutan tropis butuh pengawasan rutin agar tidak cepat rusak.
Anggaran Bisa Membengkak di Tahun-Tahun Mendatang
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, mengingatkan bahwa biaya Rp 300 miliar itu belum tentu stagnan.
“Tahun depan bisa lebih tinggi, karena inflasi biaya bahan baku, upah teknisi, dan peralatan,” ujarnya. Ia memperkirakan, jika tidak ada efisiensi sejak awal, anggaran pemeliharaan bisa menyentuh Rp 500 miliar per tahun hanya dalam lima tahun ke depan.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan sejumlah analis kebijakan fiskal. Dengan kondisi penerimaan pajak yang belum optimal pascapandemi, belanja rutin seperti ini bisa mempersempit ruang fiskal negara.
Apalagi IKN belum menghasilkan dampak ekonomi riil secara langsung karena belum dihuni sepenuhnya.
Rakyat Bisa Jadi Korban Kalau Tak Diatur Ulang
Di tengah sorotan tajam publik soal belanja negara, sebagian pengamat menilai kebijakan pemeliharaan IKN ini berisiko menjadi beban permanen tanpa manfaat langsung ke masyarakat.
“Saat anggaran Rp 300 miliar hanya untuk merawat gedung yang belum dipakai, kita harus tanya: siapa yang paling terdampak? Ya rakyat,” ujar ekonom UGM, Fahmy Radhi, seperti dikutip dari media nasional.
Menurutnya, proyek strategis seperti IKN semestinya dilandasi kalkulasi biaya jangka panjang yang lebih matang.
Ia menilai, beberapa aspek seperti desain awal yang terlalu ambisius dan minim perencanaan teknis bisa menjadi penyebab mengapa biaya pemeliharaan sekarang jadi sangat besar.
OIKN Jadi Pengelola Tunggal Aset Negara di IKN
Untuk mengefisienkan proses pemeliharaan, pemerintah menempatkan Otorita IKN sebagai asset manager utama.
Artinya, semua aset yang dibangun statusnya menjadi Barang Milik Negara (BMN), dengan OIKN sebagai pengguna barang. Beberapa gedung memang bisa dipakai oleh kementerian/lembaga, tapi tanggung jawab pemeliharaan tetap di tangan OIKN.
Skema ini juga memungkinkan pemanfaatan BMN secara optimal melalui kerja sama sewa, pemanfaatan, bahkan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Namun tetap saja, semua kegiatan tersebut memerlukan biaya dasar pemeliharaan yang tak sedikit—dan harus dijamin oleh negara.
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) turut terlibat dalam memastikan tata kelola aset di IKN sesuai prinsip manfaat maksimal. “Jangan sampai aset hanya jadi beban, harus bisa dioptimalkan pemanfaatannya,” ujar perwakilan DJKN dalam forum resmi.
Belanja Pemeliharaan Adalah Stimulus atau Beban?
Meski menimbulkan polemik, sebagian ekonom melihat belanja pemeliharaan sebagai bagian penting dari stimulus ekonomi. Aktivitas pemeliharaan infrastruktur menciptakan permintaan terhadap tenaga kerja, barang, dan jasa. Efek berganda terhadap ekonomi lokal juga muncul dari kontrak kerja, pembelian bahan bangunan, hingga operasional teknis.
Data dari Bappenas menyebutkan, belanja pemerintah dalam infrastruktur dan pemeliharaan menyumbang sekitar 8–9 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Artinya, jika dikelola dengan benar, dana Rp 300 miliar per tahun ini bisa menjadi penggerak ekonomi, terutama di wilayah Kalimantan Timur yang kini jadi pusat perhatian.
Namun kuncinya tetap ada pada efektivitas dan transparansi penggunaan anggaran. Jika tidak, Rp 300 miliar bisa jadi hanya angka di atas kertas tanpa kontribusi nyata ke rakyat atau pembangunan jangka panjang.
Tahap I Selesai, Tapi Beban Baru Sudah Dimulai
Rampungnya pembangunan tahap I IKN Nusantara menandai babak baru dalam proyek pemindahan ibu kota negara.
Tapi bukan berarti tantangan selesai. Justru sekarang pemerintah masuk pada fase lebih krusial: menjaga agar aset tidak rusak sebelum difungsikan. Dan untuk itu, negara harus merogoh kocek dalam—bahkan sebelum satu pun PNS pindah secara permanen ke sana.
Dengan besaran Rp 300 miliar per tahun hanya untuk pemeliharaan, IKN menghadirkan tantangan baru dalam tata kelola anggaran nasional. Ini bukan soal besar-kecilnya dana, tapi seberapa siap pemerintah mengelola kota masa depan tanpa mengulang pola boros pembangunan yang kerap terjadi sebelumnya.
0Komentar