![]() |
| Foto: Tangkapan Layar CBS News |
Menteri Pertahanan Israel Israel Katz pada Minggu (2/11) menuntut Lebanon memenuhi kewajiban pelucutan senjata kelompok bersenjata Hezbollah di Lebanon selatan. Peringatan itu dilontarkan menyusul serangan udara Israel yang menewaskan empat anggota Hezbollah sehari sebelumnya, dalam pelanggaran terbaru terhadap gencatan senjata yang telah berlangsung sejak November 2024.
“Hezbollah sedang bermain api, dan presiden Lebanon bertindak lambat,” kata Katz dalam pernyataannya, seraya menegaskan bahwa Israel akan terus menjalankan penegakan maksimal dan bahkan akan diperkuat guna melindungi warganya di wilayah utara.
Pernyataan senada disampaikan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam rapat kabinet pada hari yang sama. Ia menegaskan, eksistensi senjata Hezbollah melanggar ketentuan gencatan senjata tahun 2024 yang mewajibkan Lebanon menjamin hanya pasukan negara membawa senjata di seluruh wilayahnya.
“Kami mengharapkan pemerintah Lebanon memenuhi komitmennya untuk melucuti senjata Hezbollah, tetapi jelas kami akan melaksanakan hak kami untuk membela diri,” ujar Netanyahu.
Tekanan AS Meningkat
Desakan Israel hadir seiring meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat terhadap Beirut. Utusan khusus AS untuk Lebanon dan Suriah, Thomas Barrack, dalam sebuah wawancara menyebut Lebanon sebagai “negara gagal” karena tidak mampu menahan dominasi Hezbollah.
Menurut Barrack, Hezbollah memiliki sekitar 40.000 pejuang serta 15.000–20.000 roket dan rudal, dengan dana operasional yang jauh lebih besar dibanding angkatan bersenjata resmi Lebanon.
“Mereka membayar anggotanya US$2.200 per bulan, sementara tentara Lebanon hanya menerima sekitar US$275,” katanya, dikutip dari Fox News.
Gencatan senjata yang ditengahi AS pada November 2024 mengakhiri lebih dari setahun konflik terbuka antara Israel dan Hezbollah. Salah satu syaratnya, Lebanon diminta memastikan hanya aparat negara yang memegang senjata yang berarti pelucutan total milisi pro-Iran tersebut.
Lambannya Implementasi Pelucutan Senjata
Meski pemerintah Lebanon telah membentuk rencana lima fase untuk melucuti senjata Hezbollah sejak Agustus lalu, implementasinya dinilai tidak efektif dan tersendat.
Sumber militer Lebanon mengatakan kepada Reuters bahwa mereka telah menghancurkan sejumlah gudang senjata kelompok itu, namun masih kekurangan bahan peledak dan logistik.
Di sisi lain, Hezbollah menolak pelucutan di luar wilayah selatan dan menyiratkan kemungkinan kembali berkonfrontasi jika pemerintah berupaya melucuti mereka secara lebih luas.
“Kami tidak menerima pelucutan senjata yang merugikan upaya perlawanan,” ujar seorang pejabat Hezbollah dalam konferensi pers pada pekan lalu, merespons rencana pemerintah Lebanon.
Saling Serang Masih Berlangsung
Sejak gencatan senjata berlaku, Israel tetap mempertahankan pasukan di lima titik strategis di Lebanon selatan dan rutin melancarkan serangan udara, dengan alasan menargetkan upaya Hezbollah membangun kembali kekuatan militer. Militer Israel mengklaim telah membunuh lebih dari 330 anggota Hezbollah sejak November tahun lalu.
Dalam laporan Al Jazeera, serangan terbaru pada Sabtu (1/11) menewaskan empat anggota unit elite Hezbollah di selatan Lebanon, memicu kecaman dari pemerintah Beirut dan mencatat pelanggaran gencatan senjata paling serius dalam dua bulan terakhir.
Israel menyebut tindakan itu sebagai upaya defensif, sementara Hezbollah menilai serangan tersebut sebagai bentuk provokasi yang dapat mengacaukan stabilitas regional.
“Israel melacak aktivitas militer Hezbollah yang tidak mematuhi ketentuan gencatan senjata. Kami tidak akan ragu melakukan tindakan lanjutan,” ujar juru bicara Israel Defense Forces (IDF) dalam pernyataan resminya.
Sampai kini belum ada respons publik dari Presiden Lebanon atau pemerintahannya terkait ultimatum Israel. Namun situasi ini dinilai membuka kembali potensi konflik bersenjata besar antara Israel dan Hezbollah, dua kekuatan regional yang telah belasan tahun berada dalam pola saling serang dan gencatan senjata berselang-seling.

0Komentar