![]() |
| AS menegaskan penghormatan terhadap langkah Malaysia yang semakin dekat ke BRICS, namun mengingatkan adanya potensi konsekuensi ekonomi jika melewati batas kepentingan Washington. (AFP) |
Amerika Serikat menyatakan menghormati keputusan Malaysia untuk menjajaki keanggotaan penuh dalam kelompok ekonomi BRICS, namun memberikan peringatan soal potensi konsekuensi jika Kuala Lumpur melampaui “garis merah” tertentu. Pernyataan itu disampaikan Duta Besar AS untuk Malaysia Edgard D Kagan dalam sesi media pada 1–2 November di Kuala Lumpur.
“AS sangat menghargai pandangan Malaysia terhadap kebijakan luar negerinya, dan kami akui Malaysia memiliki hak berdaulat untuk mengambil keputusan berdasarkan kepentingannya sendiri,” ujar Kagan, dikutip Bernama.
Namun, ia menegaskan bahwa Presiden AS Donald Trump telah menyampaikan secara jelas batasan dan konsekuensi jika Malaysia mengambil langkah yang dinilai berseberangan dengan kepentingan Washington.
Pernyataan Kagan muncul beberapa hari setelah Presiden Trump menandatangani US-Malaysia Reciprocal Trade Agreement dalam kunjungan resmi ke Kuala Lumpur pada akhir Oktober. Kesepakatan tersebut dianggap kontroversial karena dinilai membatasi fleksibilitas ekonomi Malaysia dalam bermitra dengan negara-negara di luar blok Barat.
Langkah Malaysia menuju keanggotaan BRICS
Malaysia resmi menjadi negara mitra BRICS sejak 1 Januari 2025, bersama Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Thailand, Uganda, dan Uzbekistan. Pemerintah kemudian mengajukan permohonan menjadi anggota penuh dengan dukungan dari China, Brasil, dan Rusia. Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengonfirmasi pengajuan tersebut seusai menghadiri KTT ASEAN bulan lalu.
Data Kementerian Investasi, Perdagangan dan Industri Malaysia (MITI) mencatat nilai perdagangan Malaysia dengan negara-negara anggota BRICS mencapai RM818 miliar atau sekitar US$193,47 miliar pada 2024, setara 35,2 persen dari total perdagangan internasionalnya. Investasi dari negara BRICS juga menembus RM104,9 miliar atau sekitar US$24,59 miliar.
Menurut Kagan, kendati nilai ekonomi BRICS cukup menjanjikan, keterhubungan ekonomi Malaysia masih bertumpu pada rantai pasokan dan pasar Barat.
“Malaysia dapat mempertimbangkan peluang ekonomi dalam menjalin hubungan dengan BRICS, namun tetap menjaga basis perdagangan kuatnya dengan AS,” katanya.
Kontroversi perjanjian dagang dengan AS
Di tingkat domestik, perjanjian dagang baru antara AS dan Malaysia menimbulkan kritik tajam dari oposisi dan sebagian pelaku usaha. Kesepakatan tersebut mempertahankan tarif 19 persen untuk sejumlah produk Malaysia yang diekspor ke AS, tetapi memberikan pengecualian untuk 1.711 produk lain, termasuk elektronik, karet, dan turunan minyak sawit.
Pasal 5.1 dalam perjanjian itu menjadi sorotan. Mantan Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Azmin Ali mengatakan isi pasal tersebut mengharuskan Malaysia menyelaraskan kebijakan perdagangan dengan sanksi ekonomi AS terhadap negara ketiga.
“Jika Washington memblokir impor dari China atau Rusia, Malaysia harus ikut, meski itu merugikan ekonomi nasional,” ujarnya dalam keterangan kepada Channel NewsAsia.
Menteri MITI Tengku Zafrul Abdul Aziz membantah anggapan tersebut. Menurutnya, Malaysia hanya diwajibkan untuk mengikuti pembatasan yang terkait keamanan nasional atau kepentingan strategis bersama.
“Ini bukan soal kepatuhan buta. Ada ruang dialog dan negosiasi,” katanya dalam wawancara bersama The Star pada 1 November. Sidang parlemen dijadwalkan digelar pada 12 November untuk membahas implikasi perjanjian tersebut.
Kagan menambahkan, hubungan dagang AS-Malaysia tidak harus bersifat zero-sum. “Kedua negara punya kepentingan strategis untuk terus memperkuat hubungan ekonomi. Kami percaya Malaysia dapat menyeimbangkan prioritasnya,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

0Komentar