Amerika Serikat resmi mengumumkan pembentukan Philippine Task Force atau Satuan Tugas Filipina pada Kamis (30/10), bersamaan dengan perluasan penempatan pasukan di Filipina bagian utara. Langkah ini disebut sebagai upaya memperkuat kendali atas Selat Bashi, jalur laut sempit yang memisahkan Filipina dan Taiwan, di tengah meningkatnya ketegangan dengan China di kawasan Indo-Pasifik.
Pengumuman disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dan Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro dalam pertemuan di Kuala Lumpur.
Keduanya sepakat bahwa pembentukan satuan tugas baru ini dimaksudkan untuk memperkuat efek jera di Laut China Selatan serta menyiapkan respons cepat terhadap krisis atau potensi agresi di kawasan.
“Aliansi kami tidak pernah sekuat ini,” kata Hegseth dalam pernyataannya yang dikutip dari konferensi pers bersama. “Perjanjian pertahanan bersama kami berlaku bagi setiap pasukan di mana pun di Laut China Selatan. Kami tidak mencari konfrontasi, tapi kami siap melindungi kepentingan kami secara individual dan bersama,” ujarnya menegaskan.
Kerja sama pertahanan baru itu menjadi bagian dari komitmen pemerintahan Trump yang telah menjadwalkan lebih dari 500 kegiatan militer bersama dengan Manila pada tahun 2026, jumlah terbesar dalam beberapa dekade terakhir, menurut laporan Reuters (31/10).
Latihan gabungan terbaru juga menampilkan sistem persenjataan canggih AS, termasuk rudal anti-kapal Navy-Marine Expeditionary Ship Interdiction System (NMESIS) dan sistem rudal Typhon berbasis darat. Senjata dengan jangkauan hingga 185 kilometer itu kini ditempatkan di Kepulauan Batanes, wilayah paling utara Filipina yang hanya berjarak sekitar 145 kilometer dari Taiwan.
Fokus pada Selat Bashi, “Titik Tersedak” armada China
Penempatan pasukan dan peralatan tempur AS di Batanes menegaskan fokus strategis Washington terhadap Selat Bashi, perairan sempit yang menjadi rute utama kapal perang China untuk masuk ke Pasifik Barat.
Wakil Komandan Angkatan Laut Filipina, Laksamana Muda yang tak disebutkan namanya dalam laporan Reuters, menilai penguasaan wilayah itu sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.
“Kita harus memiliki kemampuan untuk mencegah China mendominasi Selat Bashi,” ujarnya. “Dalam sebuah konflik, titik penting itu bisa menentukan hasilnya.”
Seorang mantan kepala staf militer Filipina bahkan menyebut bahwa invasi China ke Taiwan hampir mustahil dilakukan tanpa kontrol atas Filipina utara. Dalam beberapa bulan terakhir, armada kapal induk China dilaporkan menggunakan rute Selat Bashi untuk menembus Pasifik Barat sebelum melakukan latihan militer di wilayah selatan Jepang.
Kehadiran pasukan AS picu kekhawatiran lokal
Sementara itu, penumpukan militer di utara Filipina telah menimbulkan keresahan di kalangan warga Kepulauan Batanes. Kawasan yang dulunya tenang itu kini disebut warga sebagai “garis depan konflik AS–China yang baru.”
Sejak latihan gabungan Balikatan digelar pada April 2023, banyak penduduk mulai menimbun bahan pokok seperti beras, minyak, dan obat-obatan, khawatir akan kemungkinan perang.
Gubernur Batanes, Ronald “Jun” Aguto, menyebut pihaknya tengah menyiapkan rencana darurat, termasuk skenario pemulangan sekitar dua juta pekerja Filipina yang saat ini berada di Taiwan.
“Sekarang persiapan seperti perang berlangsung setiap hari di pulau ini,” ujar Aguto, dikutip dari laporan Dynamite News (31/10). “Warga bertanya-tanya, kalau konflik benar-benar terjadi, bagaimana mereka akan menyelamatkan diri.”
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. sebelumnya mengakui bahwa negaranya berada di posisi rentan jika konflik terbuka terjadi di sekitar Taiwan.
“Kami tidak ingin berperang, tapi saya percaya jika ada perang di Taiwan, kami akan terseret ke dalam kekacauan itu,” kata Marcos dalam wawancara pada Agustus lalu.
Peringatan keras dari Beijing
China merespons keras langkah Washington dan Manila. Juru bicara Kementerian Pertahanan China, Zhang Xiaogang, memperingatkan bahwa penempatan sistem rudal AS di Filipina sama saja dengan "mengikat diri pada mesin perang Amerika" dan akan membawa "kehancuran yang ditimbulkan sendiri."
“Menampung sistem rudal semacam itu hanya akan memperburuk ketegangan dan merusak stabilitas regional,” kata Zhang dalam konferensi pers yang dikutip South China Morning Post (1/11). Beijing juga menuntut Filipina untuk menghapus peluncur rudal dari wilayahnya.
Namun, Filipina menolak tuntutan itu. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Romeo Brawner Jr., menegaskan bahwa rudal AS tetap berada di negara tersebut sebagai bagian dari pelatihan bersama dan upaya pencegahan terhadap potensi ancaman.
“Kami bekerja dalam kerangka latihan gabungan dan perjanjian pertahanan yang sudah ada,” kata Brawner dikutip AP News.
Penguatan posisi AS di Utara Filipina
Penempatan sistem rudal jarak menengah di Batanes menandai babak baru strategi militer AS di Indo-Pasifik. Kawasan Selat Bashi yang selama ini relatif sepi kini berubah menjadi titik panas baru dalam rivalitas antara dua kekuatan besar dunia.
Menurut laporan USNI News, pembentukan Satuan Tugas Filipina merupakan bagian dari upaya AS untuk membangun kembali efek jera terhadap China setelah serangkaian insiden maritim di Laut China Selatan, termasuk manuver berbahaya kapal penjaga pantai Beijing terhadap kapal Filipina.
Washington menilai, kehadiran militernya di Filipina tak hanya memperkuat sekutu lamanya itu, tetapi juga berfungsi sebagai penghalang utama jika konflik seputar Taiwan pecah.
Namun bagi masyarakat Batanes dan wilayah utara Filipina lainnya, penempatan pasukan dan rudal AS membawa kekhawatiran baru bahwa pulau kecil mereka bisa menjadi titik pertama yang terkena dampak jika persaingan dua raksasa ini berubah menjadi konflik terbuka.

0Komentar