Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan rencana pemotongan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta dana transfer ke daerah (TKD) jika serapan anggaran tidak menunjukkan perbaikan signifikan hingga akhir Oktober 2025. Langkah ini memicu perdebatan di antara pejabat ekonomi senior pemerintah.
Pernyataan tersebut disampaikan Purbaya di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). Ia menyebut keputusan itu bukan tanpa alasan, mengingat serapan anggaran MBG masih jauh dari target meski telah menunjukkan peningkatan.
“Kan kita melihat sampai akhir Oktober, kalau tidak menyerap ya kita akan potong juga,” ujar Purbaya dengan nada tegas.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, hingga awal Oktober 2025, realisasi anggaran MBG baru mencapai Rp21,64 triliun, atau sekitar 30,5 persen dari total pagu Rp71 triliun. Meski naik dari posisi September yang hanya 18,3 persen, angka tersebut masih dianggap belum cukup optimal.
Program MBG sendiri merupakan salah satu program prioritas pemerintah dalam bidang ketahanan pangan dan gizi anak sekolah. Pemerintah menargetkan program ini dapat menjangkau jutaan pelajar di berbagai daerah.
Namun, rendahnya penyerapan anggaran membuat Kementerian Keuangan menyoroti efisiensi pelaksanaannya di lapangan.
Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan meminta agar Kementerian Keuangan tidak tergesa-gesa melakukan pemotongan. Menurutnya, tren penyerapan sudah menunjukkan perbaikan dan perlu diberi waktu agar berjalan lebih baik.
“Kami pastikan bahwa penyerapan anggarannya sekarang kelihatan sangat membaik, sehingga Menteri Keuangan tidak perlu nanti mengambil-mengambil anggaran yang tidak terserap,” kata Luhut setelah bertemu Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana di Jakarta.
Pernyataan Luhut itu menandakan perbedaan pandangan antarpejabat pemerintah mengenai strategi pengelolaan fiskal menjelang akhir tahun anggaran.
Selain MBG, Purbaya juga mengonfirmasi rencana pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) dalam APBN 2026. Nilainya tidak kecil sekitar Rp200 triliun, dari Rp919,87 triliun menjadi Rp692,995 triliun.
Menurut Purbaya, keputusan itu diambil karena banyaknya kasus penyimpangan dalam penggunaan dana daerah.
“Alasan pemotongan itu utamanya dulu karena banyak penyelewengan, ya. Artinya enggak semua uang yang dipakai, dipakai dengan betul,” jelasnya di Surabaya, Kamis (2/10/2025).
Berdasarkan data Kemenkeu, dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan mencapai rekor Rp233,11 triliun per Agustus 2025, naik dari Rp192,57 triliun pada periode sama tahun lalu.
Pemda di Pulau Jawa tercatat paling banyak menyimpan dana, yakni Rp84,7 triliun atau 36,37 persen dari total dana mengendap.
Kondisi ini disebut sebagai salah satu faktor yang menghambat sirkulasi anggaran ke masyarakat dan dunia usaha di daerah.
Meski memangkas TKD, pemerintah pusat menyiapkan kompensasi lewat peningkatan alokasi program langsung di daerah, dari Rp900 triliun menjadi Rp1.300 triliun pada 2026.
Langkah ini disebut sebagai upaya menjaga pemerataan pembangunan dan memastikan dana tersalurkan langsung ke program produktif.
Purbaya juga membuka peluang untuk menambah kembali alokasi transfer jika pemerintah daerah dapat membuktikan penggunaan anggaran yang efisien dan transparan.
“Jadi kalau mereka bisa menunjukkan seperti itu, penyerapan yang baik dan bersih, harusnya saya bisa merayu ke pemimpin saya di atas untuk menambah dengan cepat,” ujarnya.
Polemik antara Purbaya dan Luhut menambah dinamika di sektor fiskal menjelang penyusunan APBN 2026. Pemerintah berupaya menyeimbangkan antara disiplin anggaran dan keberlanjutan program sosial seperti MBG, yang menjadi salah satu program andalan Presiden Prabowo Subianto.
Sementara itu, Kementerian Keuangan memastikan evaluasi serapan anggaran MBG dan TKD akan dilakukan kembali pada akhir Oktober 2025 sebelum keputusan final pemotongan diambil.

0Komentar