Aliansi pertahanan Atlantik Utara (NATO) nyaris bubar pada 2018 akibat ancaman langsung Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump. Fakta ini diungkap dalam buku memoar terbaru mantan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg berjudul On My Watch, yang dirilis pekan ini.
Dalam buku setebal hampir 500 halaman itu, Stoltenberg menulis bahwa pertemuan puncak NATO di Brussels pada 12 Juli 2018 menjadi momen paling genting dalam sejarah aliansi.
Ia menggambarkan bagaimana Trump nyaris menarik Amerika Serikat keluar dari NATO setelah menuntut negara-negara Eropa menggandakan anggaran pertahanan mereka hingga 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saya akan meninggalkan pertemuan ini. Tidak ada alasan bagi saya untuk tetap di sini lagi,” kata Trump dalam pertemuan tertutup, sebagaimana dikutip Stoltenberg dalam buku tersebut.
Ancaman yang Nyaris Bongkar Aliansi
Pertemuan itu dihadiri 29 pemimpin negara anggota NATO. Menurut Stoltenberg, suasana memanas setelah Trump menuduh negara-negara Eropa “menumpang gratis” pada sistem pertahanan yang didanai Amerika Serikat.
Ketika Kanselir Jerman Angela Merkel dan beberapa pemimpin lain menolak tuntutan mendadak Trump, dengan alasan butuh persetujuan parlemen untuk menambah anggaran, Trump semakin konfrontatif.
“AS tidak membutuhkan NATO. Mengapa saya harus terus membayar untuk organisasi ini padahal saya tidak membutuhkannya?” ujar Trump, seperti ditirukan Stoltenberg.
Trump bahkan mengejek beberapa negara secara spesifik, termasuk Belgia dan Kroasia, karena pengeluaran pertahanannya yang dianggap terlalu kecil. Situasi makin tegang hingga Stoltenberg mengaku sempat berpikir “segalanya akan runtuh di depan mata.”
Krisis baru mereda setelah Perdana Menteri Belanda saat itu, Mark Rutte yang kini menjabat Sekretaris Jenderal NATO menengahi dengan mengingatkan Trump bahwa pengeluaran pertahanan negara-negara anggota telah naik sekitar US$33 miliar selama masa kepemimpinannya.
Trump kemudian menulis catatan kepada Stoltenberg, meminta agar kontribusinya diakui secara publik. Stoltenberg akhirnya memberikan pernyataan resmi yang memuji dorongan Amerika Serikat dalam memperkuat NATO, langkah yang kemudian meredam ketegangan.
Taktik Agresif dan Retakan Internal
Stoltenberg, yang memimpin NATO selama satu dekade sejak 2014, juga mengungkap bahwa Trump sempat mempertimbangkan untuk “mengecualikan” beberapa negara, termasuk Norwegia, Denmark, Jerman, dan Belanda, dari struktur aliansi karena gagal memenuhi target pengeluaran.
Menurut memoar itu, Menteri Pertahanan AS saat itu, James Mattis, bahkan sempat meminta maaf kepada Stoltenberg atas perilaku presiden dan menyarankan agar “tidak berdebat dengan Trump soal angka.”
Seorang pejabat senior NATO yang dikutip Politico menilai pengungkapan ini memberikan gambaran baru tentang seberapa rapuh solidaritas Barat pada masa itu. Namun, ia juga menambahkan bahwa krisis tersebut justru mendorong transformasi besar dalam komitmen pertahanan negara-negara anggota.
Titik Balik yang Mengubah Arah
Setelah peristiwa itu, tekanan Trump terhadap sekutu Eropa terus berlanjut. Empat tahun kemudian, pada KTT Den Haag Juni 2025, negara-negara anggota menyepakati target baru yaitu mengalokasikan 5 persen PDB untuk pertahanan pada 2035—3,5 persen untuk belanja militer langsung dan 1,5 persen untuk infrastruktur pendukung.
Kini, seluruh 32 anggota NATO telah memenuhi target awal 2 persen, meningkat pesat dari hanya tiga negara pada 2014. Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengakui bahwa peningkatan ini tidak lepas dari tekanan keras Washington.
“Kita tidak bisa memungkiri bahwa dorongan dari Amerika Serikat, khususnya di masa lalu, telah mempercepat langkah sekutu untuk berinvestasi lebih besar pada pertahanan kolektif,” kata Rutte dalam pernyataan resminya di markas NATO, Brussels, pekan lalu.
Bekas yang Tak Hilang
Meski NATO kini lebih kuat secara finansial dan politik, Stoltenberg menulis bahwa krisis 2018 meninggalkan luka permanen pada kesatuan internal aliansi. Ia menegaskan, momen itu menjadi peringatan bahwa keberlangsungan NATO sangat bergantung pada komitmen Amerika Serikat.
“Jika seorang presiden Amerika mengklaim tidak akan lagi membela sekutu lain dan keluar dari pertemuan puncak NATO sebagai protes, maka perjanjian NATO dan jaminan keamanan menjadi kurang berarti,” tulisnya.
Pengungkapan Stoltenberg datang di tengah masa jabatan kedua Trump yang kembali menekan sekutu Eropa dalam hal pembiayaan pertahanan dan sikap terhadap Rusia.
Sementara itu, analis kebijakan luar negeri di Berlin, Thomas Kleine-Brockhoff, menilai dalam wawancara dengan Deutsche Welle bahwa isi buku tersebut “membuka mata tentang bagaimana NATO bertahan bukan karena kekuatan struktur, tetapi karena diplomasi menit terakhir.”
Buku On My Watch kini menjadi perbincangan hangat di kalangan diplomat Eropa dan Washington, bukan hanya karena kisah dramanya, tetapi juga karena memberikan pandangan dari dalam tentang momen paling genting dalam sejarah 75 tahun NATO.

0Komentar