![]() |
| Penelitian tentang cara kerja otak manusia kini menjadi dasar pengembangan kecerdasan buatan (AI) yang lebih adaptif dan efisien. |
Selama beberapa dekade, para ilmuwan komputer dan ahli saraf berupaya memahami satu hal yang sama yaitu bagaimana otak manusia bekerja, dan bagaimana menirunya untuk menciptakan kecerdasan buatan (AI) yang benar-benar “berpikir” seperti manusia.
Penelitian tentang hubungan antara otak dan AI kini berkembang cepat. Di banyak laboratorium, teknologi pembelajaran mesin (machine learning) mulai diintegrasikan dengan temuan neurosains untuk mengembangkan sistem yang bisa belajar lebih efisien, beradaptasi terhadap lingkungan, dan mengambil keputusan dengan konteks layaknya manusia.
Ide dasarnya sederhana tapi penerapannya rumit. Otak manusia terdiri dari sekitar 86 miliar neuron, yang saling berkomunikasi melalui sinaps.
Para peneliti mencoba meniru pola interaksi itu melalui jaringan saraf tiruan (artificial neural networks). Namun, meniru kompleksitas otak tidak sesederhana membuat salinan digitalnya.
Dari neuron ke algoritma
Model AI modern, terutama yang disebut deep learning, terinspirasi langsung dari cara kerja neuron di otak. Setiap “neuron” dalam jaringan AI menerima sinyal, memprosesnya, dan mengirimkan hasilnya ke neuron lain.
Semakin dalam dan kompleks jaringan itu, semakin banyak pola yang bisa dikenali dari gambar wajah hingga struktur bahasa.
Namun, ilmuwan kini mulai menyadari bahwa otak manusia tidak hanya mengenali pola, tapi juga memahami makna, membuat perkiraan, dan memperbaiki kesalahan berdasarkan pengalaman. Ini yang belum sepenuhnya bisa dicapai AI saat ini.
Profesor Yukiyasu Kamitani dari Universitas Kyoto, misalnya, menggunakan pemindaian otak untuk “membaca” aktivitas visual manusia dan menerjemahkannya ke dalam gambar menggunakan model AI seperti Stable Diffusion.
Proyek ini memberi petunjuk baru tentang bagaimana otak menyandikan informasi visual dan bagaimana AI bisa menirunya.
“Yang menarik bukan hanya AI bisa menebak apa yang kita lihat,” kata Kamitani dalam wawancara dengan Nature, “tapi bagaimana hasilnya membantu kita memahami cara kerja otak itu sendiri.”
Inspirasi dari neurosains
Beberapa kemajuan besar dalam AI justru muncul dari riset otak. Contohnya, konsep reinforcement learning teknologi yang memungkinkan sistem belajar dari umpan balik, mirip cara manusia belajar dari kesalahan.
Pendekatan ini digunakan dalam sistem yang mengendalikan robot, mobil otonom, hingga program seperti AlphaGo yang mengalahkan juara dunia Go pada 2016.
Selain itu, penelitian tentang memori jangka pendek manusia menginspirasi pembuatan model seperti transformer, yang kini menjadi fondasi dari chatbot modern seperti ChatGPT atau Gemini.
Model ini bekerja dengan memberi bobot lebih besar pada konteks tertentu dalam kalimat, mirip seperti otak manusia memberi perhatian pada kata-kata penting saat berbicara atau membaca.
Meski begitu, banyak ilmuwan menilai bahwa AI saat ini masih “dangkal” dalam memahami dunia. “AI sangat bagus dalam menghafal data, tapi belum punya kesadaran kontekstual,” ujar Jeff Hawkins, ahli neurosains dan pendiri Numenta, perusahaan yang meneliti kecerdasan mesin berbasis biologi.
Menurutnya, kemajuan nyata akan datang jika model AI mulai meniru struktur neokorteks bagian otak yang bertanggung jawab atas persepsi dan penalaran abstrak.
Bukan sekadar meniru, tapi memahami
Tujuan utama penelitian ini bukan hanya menciptakan mesin yang berpikir seperti manusia, tapi juga untuk memahami cara berpikir manusia itu sendiri. Setiap kali ilmuwan mencoba membuat sistem AI yang “meniru” otak, mereka sering menemukan hal-hal baru tentang cara otak sesungguhnya bekerja.
Misalnya, riset gabungan antara MIT dan Google DeepMind menunjukkan bahwa beberapa lapisan dalam jaringan saraf AI memproses informasi visual dengan pola yang mirip dengan area penglihatan di otak. Temuan ini membuka kemungkinan menggunakan AI sebagai alat bantu untuk mempelajari sistem saraf manusia yang kompleks.
Tapi di sisi lain, upaya ini juga memunculkan pertanyaan etika. Jika AI bisa memprediksi pikiran manusia dari aktivitas otak, bagaimana dengan privasi seseorang? Apakah kelak teknologi ini bisa membaca pikiran tanpa izin? Pertanyaan seperti ini mulai sering muncul di dunia akademik.
Dr. Anna Mitchell, peneliti neurosains dari Universitas Oxford, mengatakan pendekatan “neuro-AI” punya potensi besar tapi juga risiko yang nyata.
“Kita perlu memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk memahami manusia, bukan untuk mengendalikan mereka,” ujarnya dalam wawancara dengan BBC.
Masa depan kolaborasi otak dan mesin
Ke depan, para peneliti melihat arah baru: bukan hanya AI yang meniru otak, tapi integrasi langsung antara keduanya. Riset brain-computer interface (BCI), misalnya, memungkinkan komunikasi dua arah antara otak dan mesin.
Perusahaan seperti Neuralink milik Elon Musk sudah melakukan uji coba implan otak untuk membantu penderita kelumpuhan menggerakkan kursor komputer dengan pikiran.
Walaupun masih kontroversial dan dalam tahap awal, teknologi seperti ini memperlihatkan bagaimana batas antara biologi dan teknologi semakin kabur.
Di sisi akademik, ilmuwan berupaya membuat model “hybrid” di mana sistem AI belajar bukan hanya dari data digital, tapi juga dari prinsip kerja biologis.
Salah satu contohnya adalah spiking neural networks, model yang berusaha meniru cara neuron mengirimkan sinyal secara waktu nyata.
Menurut banyak ahli, masa depan AI yang benar-benar cerdas mungkin tak akan datang dari satu algoritma tunggal, tapi dari pemahaman mendalam tentang otak manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, untuk menciptakan mesin yang berpikir seperti manusia, kita harus lebih dulu memahami bagaimana manusia berpikir.
Belum ada kecerdasan yang “sebenarnya”
Meski perkembangan ini mengesankan, sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa AI saat ini belum benar-benar “cerdas” dalam arti manusiawi. AI masih bekerja berdasarkan data yang diberikan, tanpa kesadaran, intuisi, atau emosi.
Seperti yang dikatakan oleh Yann LeCun, salah satu pelopor deep learning, “AI saat ini lebih seperti bayi berumur satu tahun yang tahu banyak hal, tapi tidak tahu mengapa hal-hal itu penting.”
Penelitian tentang hubungan otak dan AI mungkin suatu hari akan mengubah hal itu. Tapi untuk saat ini, upaya meniru otak manusia masih seperti mencoba memahami cermin dari dalam refleksinya sendiri menarik, kompleks, dan belum selesai.

0Komentar