Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi mengumumkan penetapan bahan bakar campuran etanol 10 persen atau E10 sebagai standar bahan bakar minyak (BBM) nasional pada Jumat (10/10/2025). Kebijakan ini telah mendapat persetujuan langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk menekan ketergantungan terhadap impor BBM yang kini mencapai 60 persen dari total kebutuhan dalam negeri.
Langkah ini disebut Bahlil sebagai terobosan besar menuju kemandirian energi nasional sekaligus upaya mendorong transisi ke energi bersih, setelah keberhasilan program biodiesel B40 yang sebelumnya diterapkan di sektor transportasi.
“Kandungan etanol di dalam BBM akan mengurangi ketergantungan negara terhadap impor bahan bakar,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (10/10).
Menurutnya, etanol untuk campuran E10 akan diproduksi dari bahan baku lokal, seperti tebu, jagung, dan singkong.
Pemerintah juga tengah menyiapkan dua pabrik etanol utama, masing-masing untuk tebu di Merauke dan singkong di lokasi yang masih dalam tahap pemetaan.
Bahlil menegaskan, proyek ini tak hanya soal energi, tapi juga berpotensi membuka lapangan kerja baru dan menumbuhkan ekonomi di wilayah sentra pertanian.
“Ini bukan hanya soal energi bersih, tapi juga soal kesejahteraan petani. Kita ingin semua bahan baku berasal dari dalam negeri,” ucap Bahlil.
Namun, sejumlah pihak mengingatkan pemerintah soal kesiapan produksi etanol nasional yang masih terbatas. Anggota Komisi VII DPR RI Ratna Juwita Sari menyebut terdapat kesenjangan besar antara kapasitas produksi saat ini dan kebutuhan untuk program E10.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, kapasitas produksi etanol nasional baru mencapai 303 ribu kiloliter per tahun, dengan realisasi sekitar 161 ribu kiloliter. Padahal, untuk menjalankan program E10 dibutuhkan sekitar 890 ribu kiloliter per tahun.
“Pemerintah harus memastikan pasokan etanol dalam negeri cukup. Jangan sampai program ini justru membuka pintu impor baru,” kata Ratna di Jakarta.
Menanggapi hal itu, Bahlil menyebut implementasi E10 tidak akan dilakukan secara tergesa-gesa. Ia mengatakan pemerintah membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun untuk memastikan kesiapan industri, infrastruktur, dan pasokan bahan baku.
“Semua proses butuh waktu. Kita ingin berjalan realistis, bukan sekadar cepat,” ujar Bahlil.
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa Indonesia akan mengikuti jejak sejumlah negara yang telah lebih dulu menerapkan bahan bakar berbasis etanol.
“Negara-negara seperti Amerika Serikat sudah menerapkan E10 hingga E85, Brasil bahkan mencapai E27 dan E100, sementara Thailand dan India menerapkan E20. Di Eropa, E10 sudah jadi standar umum,” jelas Eniya.
Ia menambahkan, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Prabowo, pemerintah kini tengah menyusun peta jalan implementasi nasional E10, termasuk rencana insentif bagi industri bahan baku etanol serta tahapan distribusi BBM baru tersebut ke seluruh daerah.
Kebijakan E10 ini menjadi salah satu agenda strategis energi bersih dalam periode pemerintahan Prabowo-Gibran, menyusul dorongan agar Indonesia mengurangi emisi karbon dan memperkuat ketahanan energi di tengah volatilitas harga minyak global.

0Komentar